Harakatuna.com – Langit medsos kembali bergetar. Netizen heboh di sejumlah platform, X hingga TikTok. Sejak Senin, 17 Februari 2025, tagar #IndonesiaGelap melesat ke puncak trending topic di X. Lebih dari 81.900 cuitan membanjiri linimasa, personifikasi gejolak hati anak-anak negeri. Di balik layar gadget, di tengah kampus yang sibuk, di jalan-jalan yang mulai dipadati langkah demonstran, gema ketidakpuasan menggelora.
“Bukan karena tak ada cahaya,” tulis salah satu netizen di TikTok, “tapi karena mereka yang berkuasa memilih menutup mata.” Postingannya diiringi lagu Bayar Bayar Bayar dan Gelap Gempita dari band Sukatani.
Tagar #IndonesiaGelap jelas tak lahir dari ruang kosong. Ia berangkat dari kecemasan, dari kepedihan melihat nasib negeri yang tak kunjung menemukan keseimbangan, ulah seseorang yang masyhur disebut “Mulyono”. Ada kebijakan-kebijakan yang terasa seperti fatwa tanpa musyawarah; ada keputusan-keputusan yang diambil seakan suara rakyat hanya angin lalu. Analis menyebut, pemerintah yang sekarang adalah rezim ‘remote control’.
Di bawah kepemimpinan Prabowo dan Gibran, Indonesia dianggap berada di persimpangan jalan. Visi besar tentang Indonesia Emas 2045 terus mereka dengungkan, tetapi di saat yang sama, kebijakan-kebijakan yang digulirkannya justru membuat anak-anak bangsa merasa tercekik. Indonesia Cemas dan Indonesia Lemas menghantui masyarakat. Mahasiswa turun ke jalan, membawa spanduk pesimisme dan pekikan suara demo keputusasaan.
Dalam aksi yang digelar pada 18 Februari di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah, Aliansi Semarang Menggugat menyerukan bahwa impian tentang Indonesia Emas tidak akan pernah menjadi kenyataan jika kebijakan negara justru mengekang kebebasan berpikir dan mengabaikan kesejahteraan rakyat. “Calon generasi emas saat ini dalam posisi dikekang,” ujar sang orator.
Pancasila Membaca #IndonesiaGelap
Terbesit di pikiran, bagaimana cara membaca semua hal yang terjadi hari-hari ini dengan kacamata Pancasila? Dengan kata lain, bagaimana mengaktualisasi Pancasila terhadap kondisi Indonesia dan huru-haranya sejak kemarin? Pancasila membaca #IndonesiaGelap dalam kerangka presisi. Tak ada tendensi. Tujuannya satu, yaitu mengembalikan Indonesia ke jalurnya, menjadikannya negeri yang berpijak teguh pada falsafah dan ideologi bangsa.
Pertama, Ketuhanan yang Maha Esa di antara idealisme dan realitas. Sila pertama ini merupakan poros yang mengajarkan penegakan keadilan dengan kesadaran moral-spiritual. Namun, apa yang terjadi hari ini? Para mahasiswa melihat ironi mencolok. Keadilan kerap terasa bak ilusi, sementara kekuasaan semakin menjelma menjadi entitas yang terpisah dari nurani. Apa buktinya? Banyak sekali.
Korupsi masih menghantui; kasus-kasus pelanggaran HAM tak pernah benar-benar menemukan terang; dan mereka yang menyoal kebijakan negara malah diberi label subversif. Kendati tak ada bukti, namun klarifikasi Sukatani baru-baru ini dinilai memuat represi terselubung. Pemerintah menggaungkan nilai ketuhanan, tetapi dalam praktiknya, keadilan ditundukkan pada kepentingan elite politik yang tak takut Tuhan.
Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab di tengah suara yang diredam. Dua hari pasca-tagar #IndonesiaGelap viral, Koordinator Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), Satria Naufal, menyatakan bahwa tema yang mereka angkat lahir dari ketakutan rakyat akan masa depan. “Bagi kami, #IndonesiaGelap sudah cukup mewakili ketakutan, kekhawatiran, serta kesejahteraan warga,” katanya.
Ketakutan semacam itu bukan tanpa alasan. Setiap kali ada kebijakan yang mencekik rakyat, setiap kali ada aturan yang membungkam suara kritis, nilai kemanusiaan yang adil dan beradab diuji. Mereka yang turun ke jalan ingin didengar; ingin pemerintah kembali menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Revisi UU TNI-Polri, misalnya, yang dikhawatirkan membuka jalan dwifungsi militer. Di mana keadilan berada?
Ketiga, Persatuan Indonesia, di antara harapan dan kecurigaan. Di satu sisi, pemerintah berbicara tentang persatuan; menggaungkan slogan kebersamaan, mengajak rakyat untuk percaya bahwa semua kebijakan yang diambil adalah demi kepentingan bangsa. Namun, di sisi lain, kebijakannya itu justru memunculkan ketegangan. Masih ingat kata-kata Prabowo tentang ndasmu dan hidup Jokowi? Itu justru antitesis persatuan.
Mahasiswa melihat, hari-hari ini, kontrol negara atas masyarakat sipil sedang diperkuat—dan jelas itu menentang Pancasila. Sebagai contoh, kritik terhadap kebijakan ditanggapi dengan represi, seakan negara takut pada warganya sendiri. Sementara itu, transparansi dalam pengambilan keputusan semakin punah. Hari ini, 24 Februari 2025, Danantara diluncurkan. Padahal, ia problematik dan telah dikritik banyak pihak.
Dengan demikian, tagar #IndonesiaGelap tak laik dipandang sebagai wujud perpecahan. Sebaliknya, ia adalah tanda kepedulian rakyat. Jika mahasiswa dan masyarakat sipil diam, jika mereka berhenti mengkritik, justru itulah pertanda bahwa persatuan telah mati. Selama masih ada suara yang menolak ketidakadilan, Indonesia masih punya harapan. Bukankah itu harapan atau idealisme sila ketiga?
Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan di tengah demokrasi yang sedang diuji. Penting dicatat, bahwa tuntutan yang dibawa Aliansi BEM SI dalam aksi mereka adalah evaluasi total pelaksanaan program pemerintah. Mereka meminta agar sistem pemerintahan transparan dan berpihak pada rakyat. Untuk tujuan itu, mereka bermusyawarah dulu, tidak ujug-ujug.
Namun, kritik mereka justru disalahartikan; mahasiswa dianggap sebagai penggoyah pemerintahan, seolah protes yang mereka suarakan adalah ancaman bagi stabilitas nasional. Padahal, dalam demokrasi yang sehat, kritik adalah elemen esensial. Pancasila mengajarkan, rakyat harus menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan. Jika kritik disingkirkan dan aksi mahasiswa dianggap musuh negara, maka jelas demokrasinya sedang sakit.
Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang ternyata masih jauh dari kenyataan. Di balik semua isu dalam tagar #IndonesiaGelap, ada satu benang merah yang tak bisa diabaikan: menukiknya ketimpangan sosial. Kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat, akses pendidikan yang semakin mahal, serta beban hidup yang semakin berat adalah realitas yang tak terbantahkan hari-hari ini.
Pada intinya, tagar #IndonesiaGelap merupakan refleksi dari ketimpangan yang kian terasa. Dan jika pemerintah sungguh berpegang teguh pada Pancasila, maka keadilan sosial bukan sekadar jargon, tetapi harus hadir dalam kebijakan yang nyata. Ini harus disampaikan sebab satu alasan penting: yang harus dijaga bersama adalah ‘ideologi bangsa’, bukan ‘penguasa’. Jika penguasanya gelap dan lupa Pancasila, maka sila-sila Pancasila berhak menegurnya.
Mari Nyalakan Cahaya!
Tagar #IndonesiaGelap bukan sekadar tren medsos sesaat. Lebih dari itu, ia adalah potret keresahan mendalam, gambaran tentang rakyat yang tak ingin tinggal diam di tengah ketidakadilan dan kesemrawutan. Di dalamnya, ada kepedulian, ada semangat perubahan, ada keinginan untuk menjadikan Indonesia lebih baik. Jika korupsi, kolusi, dan nepotisme sudah tak terbendung, suara rakyat pun perlu menjadi cahaya bersama.
Membaca gejolak #IndonesiaGelap dalam kacamata Pancasila artinya memahami bahwa protes bukanlah manifestasi perlawanan atas negara, melainkan cara mengingatkan bahwa negara harus kembali kepada falsafah dasarnya. Jika pemerintah sungguh ingin menciptakan Indonesia Emas 2045, maka langkah yang niscaya diambil adalah mendengarkan suara rakyat—bukan justru membungkamnya.
Indonesia yang terang dan menyala tak akan pernah terjadi jika masih sunyi dari kritik. Maka, mendengar, memahami, dan bertindak untuk rakyat adalah kewajiban paten bagi para pejabat negara. Jika pemerintah mengabaikan Pancasila dan memilih bertindak culas, meniru Mulyono dan para ternaknya, maka siap-siap saja negara ini menuju kehancurannya. Selamatkan negara ini dari #IndonesiaGelap. Mari nyalakan cahaya!
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…