29 C
Jakarta
Array

Membaca Esai Gus Dur dalam “Islam Tanpa Kekerasan”

Artikel Trending

Membaca Esai Gus Dur dalam "Islam Tanpa Kekerasan"
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Buku berjudulkan Islam Tanpa Kekerasan diterbitkan untuk pertama kalinya oleh LKIS Yogyakarta pada bulan Agustus 1998. Di dalamnya termaktub beberapa esai yang mengetengahkan bagaimana seharusnya Islam memperjuangkan keadilan tanpa menggunakan kekerasan. Selain Esai Gus Dur, ada tujuh penyumbang tulisan lainnya. Masing-masing adalah: Razi Ahmad, Chaiwat Satha-Anand, Sarah Gilliatt, M. Mazzahim Mohideen, Glenn D. Paige, Mahmoon-al-Rasheed serta Khalijah Mohd. Salleh.

Kita ketahui, pada saat itu, secara karier organisasi, Gus Dur merupakan ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Tulisan Gus Dur dalam buku tersebut berjudul Islam, Anti-Kekerasan, dan Transformasi Nasional. Gus Dur membuka tulisannya dengan menyebutkan pendekatan historis dalam membaca konsep umat. Ia menuliskan—untuk mengaitkan Islam dan anti-kekerasan dalam sorotan transformasi nasional memerlukan pemahaman yang tepat terhadap bentuk sosial yang digunakan oleh umat Islam untuk tujuan tersebut sepanjang sejarah mereka.

Gus Dur dan Perjuangan Pluralisme

Salah satu sisi penting dari sosok Gus Dur memang adalah terkait mengenai perjuangan akan pluralisme. Benyamin F. Intan, Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion and Society dalam buku Nasionalisme dan Islam Nusantara (Buku Kompas, 2015) menuliskan sebuah esai berjudul Gus Dur Pejuang Pluralisme Sejati. Ia menelisik beberapa perjuangan Gus Dur yang berkaitan mengenai pluralisme. Seperti diantaranya adalah saat Gus Dur mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang kegiatan warga Tionghoa dan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional.

Selain itu, tatkala pada tahun 1995-1997, banyak daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur mengalami kerusuhan etnoreligius. Ratusan gereja dan beberapa toko milik orang Tionghoa dibakar dan dihancurkan. Pada saat itu, Gus Dur punya cara yang jitu. Untuk merespon kekerasan tersebut, Gus Dur menciptakan aktivis muda NU dengan tujuan mencegah teror lebih lanjut serta mengorganisasikan patroli keamanan di gereja dan toko Tionghoa.

Konsep umat dalam pembuka tulisan Gus Dur menyebutkan bahwa—“..selama periode kolonial, istilah umat memiliki makna yang lebih sempit: ia merupakan bagian dari unit rasial, kelompok etnis, atau entitas kultural, dan digunakan dalam frase-frase seperti umat Arab (‘ummah ‘arabiyah), sebagaimana dicirikan dengan munculnya kampung Arab (Arab town) di kota-kota Asia Tenggara. Setelah kemerdekaan, makna umat menjadi terbatas lagi. Ia menunjuk keanggotaan dalam gerakan Islam formal, seperti yang biasa digunakan di negeri ini, umat Islam Indonesia” (hlm. 70).

Dalam tulisan tersebut, Gus Dur menggarisbawahi—bahwa konsep umat yang dimaksudkan dalam arti geografis untuk menunjukkan pada konsep negara-bangsa (nationstate) di abad ke-20. Lebih lanjut, papar Gus Dur, diskursus pada tulisan tersebut tidak semata-mata terbatas pada konsep umat sebagai objek. Melainkan dari itu, ada pengembangan yang lebih, yakni berupa—bagaimana konsep tersebut dapat melakukan transformasi bangsa-bangsa. Dalam bahasa lain, Gus Dur menggunakan istilah transformasi nasional.

Transformasi Nasional

Bagi Gus Dur, pada saat itu, transformasi nasional merupakan tantangan besar “negara bangsa” di negara-negara Muslim. Terlebih dalam beberapa aspek persoalan, banyak negara yang sedang menghadapi ekspresi komunalisme yang kian membesar serta upaya untuk memelihara integrasi nasional yang mana baru bisa dicapai setelah perjuangan yang panjang, pahit dan penuh dengan kesulitan-kesulitan. Varian respon pemerintah hadir dalam beberapa macam; rekayasa sosio-politik yang teknokratis, konsolidasi ideologi nasional, serta penekanan pada aspek politik.

Dua aspek yang diketengahkan oleh Gus Dur dari transformasi nasional tersebut masing-masing adalah: pertama, terdapat perubahan pembagian kerja yang lebih jelas antara sektor-sektor masyarakat yang berbeda. Lebih lanjut, dalam Esai  Gus Dur ini menjelaskan bahwasannya perubahan dalam struktur sosial itu mengandung perubahan fundamental pada hubungan institusional antara negara dan warga negara individual.

Kedua, perubahan itu diperlukan dalam hubungan-hubungan sosial antara tingkatan sosial yang berbeda. Perubahan-perubahan itu bisa jadi merupakan transformasi yang damai atau bahkan suatu pergolakan yang keras. Nah, kemudian dari pada itu, untuk menghindari kemungkinan situasi lahirnya kekerasan, Gus Dur mewanti-wanti dengan pesan berupa; gerakan-gerakan Islam harus mengabdikan diri mereka pada anti-kekerasan sebagai jalan untuk mencapai tujuan mereka.

Sejarah

Menilik pada histori atas hal maupun upaya yang dilakukan oleh Gus Dur tentu saja tak salah ketika membaca ulang esai Mitsuo Nakamura dalam bunga rampai berjudul NU dan Keindonesiaaan (Gramedia Pustaka Utama, 2010). Profesor emeritus Chiba University Jepang tersebut mengisahkannya dalam tulisan yang berjudul Harapan Terhadap NU Pasca-Gus Dur. Gus Dur melakukan banyak hal dalam peran serta upaya untuk mewujudkan konsep Islam tanpa kekerasan.

Seperti diantaranya adalah rehabilitasi eks PKI/ tapol, pengakuan kultur dan agama keturunan Tionghoa dan suku etnis Papua, dialog langsung dengan masyarakat luas hingga usaha-usaha menanamkan hubungan akarab dan kepercayaan pribadi dengan para pemimpin dunia.

Nakamura kemudian juga menyampaikan bahwa sosok Gus Dur merupakan sosok seorang pemikir, guru, dan negarawan yang luar biasa. Dia telah memformulasikan garis besar untuk menuju Indonesia yang demokratis dan sejahtera. Dia tidak hanya menunjukkan pemikirannya, tetapi juga telah berhasil merealisasikan hal-hal yang dicita-citakan dengan keberanian pribadi. Upaya ini tentu saja merupakan salah satu hal yang luar biasa dari sosok Gus Dur.

Gagasan-gagasannya menjadi api semangat untuk perjuangan dalam konteks bernegara, berbangsa hingga beragama yang tidak akan lekang oleh waktu. Sudah menjadi keharusan bagi kita yang masih hidup untuk meneruskan perjuangan.[]

*Oleh: Joko Priyono. Menempuh Studi di Jurusan Fisika Universitas Sebelas Maret sejak 2014. Menulis Buku Manifesto Cinta (2017) dan Bola Fisika (2018).

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru