31.7 C
Jakarta

Membaca Efektivitas Radikalis, Menggencarkan Pemberantasan Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMembaca Efektivitas Radikalis, Menggencarkan Pemberantasan Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Survei Badan Nasional Penangggulangan Terorisme (BNPT) melaporkan bahwa Indeks Potensi Radikalisme pada 2022 lalu sebesar 10%, turun 2,2% dari yang semula 12,2% pada 2020. Menurut BNPT, penurunan tersebut berkat partisipasi aktif masyarakat dalam jaringan pentahelix untuk sama-sama mencegah eksistensi para radikalis menyebarkan radikalisme.

Namun angka 10% tersebut masih menjadi ancaman, terbukti dari 470 situs radikal yang kemudian diborgol oleh BNPT sepanjang 2022. Artinya, angka kecil tidak memastikan pergerakan radikalisme yang sedikit, mereka masih secara masif melempar jejaring provokatif di berbagai medium.

Pertanyaannya adalah mengapa para radikalis masih begitu aktif dan masif menyebarkan pemahamannya padahal ruang geraknya sudah banyak dipersempit dari berbagai sisi? Hemat saya, hal ini berdasar atas nalar fanatisme ekstrem yang mereka anut. Jika menukil pendapat Freud, fanatisme secara konsekuen akan membentuk solidaritas tanpa batas. Artinya, celah—baik itu kesalahan, blunder, dan sejenisnya—sedikit saja akan mereka manfaatkan secara sistematis dan solid.

Kaum Radikalis itu tidak buta situasi, apalagi bodoh. Mereka pandai membaca pergerakan kehidupan, khususnya trend masa kini. Jika terorisme (violent extremism) saat ini banyak diibaratkan gunung es, terlihat sedikit di permukaan padahal terhampar di dalam, radikalisme itu sebaliknya. Mereka tidak banyak, tapi sangat berisik di permukaan, khususnya di media yang saat ini populer; tiktok dan instagram.

Efektivitas Eksistensi

Sekali lagi, kini kaum radikalis sangat kecil dan sempit, tapi mereka berisik dan masif. Hemat saya, hal ini karena mereka memahami konsep penokohan, mereka paham bagaimana membangun ‘sosok’ yang dapat memengaruhi dan membangun frame.

Tokoh-tokoh utama kaum radikalis itu kuat, hingga kadernya sekalipun sama kuat dan berpengaruh. Selain itu, mereka membangun mental ‘jihad’—perspektif mereka—yang membuatnya selalu bertahan dalam situasi sempit. Pendeknya, eksistensi mereka itu efektif.

Jika menatap teori Kierkegaard, menurutnya “eksistensi berarti bertindak, tidak ada yang dapat menggantikan tempat saya untuk bereksistensi atas nama saya.”. Artinya, eksistensi kaum radikal tidak hanya dijalankan satu kali untuk selamanya, namun pada setiap saat dan situasi senantiasa menjadi pilihan baru (new choice). Barangkali itu yang mereka selalu tekankan dan acap kali kita denial terhadap eksistensi mereka.

Di media sosial, mereka ada dimana-mana dan memiliki banyak pengikut setia. Mungkin tidak semua pengikutnya sepaham dengan setiap opininya, khususnya terkait thaghut, khilafah, dan sebagainya.

Namun adanya followers tersebut membuktikan bahwa tokoh-tokoh radikalis tersebut berhasil memberikan ‘sesuatu’ yang oleh followers-nya dianggap positif. Hemat saya, fenomena ini relevan dengan ungkapan Sartre yang menyebutkan bahwa eksistensi manusia dapat mendahului esensinya.

Hal ini akan terjadi ketika manusia mampu memutuskan dan menentukan dimana posisinya. Barangkali demikian juga yang dilakukan tokoh radikal, alhasil esensi ajaran ‘radikal’ secara bias tertutup dengan wujud nyata (exsistence) yang tampak sangat ‘Islamis.

BACA JUGA  Bahaya Islam Transnasional dan Kewajiban Masyarakat untuk Memeranginya

Branding Tokoh Berpengaruh

Sejak awal kemunculannya, radikalisme selalu memiliki tokoh utama yang menjadi motor pergerakannya. Tentu bukan kaleng-kaleng, mereka membangun toko tersebut dengan branding yang kuat dan berkarakter. Selain itu, branding yang mereka lakukan juga bersifat kontinuitas. Kader-kader baru selalu bermunculan, bahkan tak jarang kepopulerannya melebihi para pendahulunya.

Lebih unik lagi, karakter tokoh-tokoh radikalisme yang populer kini cukup beragam. Mereka seolah menempati pos-nya masing-masing dan sesuai konteks fokus ajarannya sendiri atau yang dalam kacamat Foucalt disebut seni mengada (art of being). Hemat saya, kemunculan para tokoh-tokoh tersebut memang berjalan di atas skenario yang sistematis. Mereka terdidik, nalar dan model komunikasinya dituntun dan diarahkan untuk setiap segmentasi di ranah publik.

Sistematika branding tersebut cukup efektif. Mereka membangun jaringan sosial yang mencoba mendominasi. Khususnya di media sosial, mereka juga aktif membangun relasi kuasa di atas relasi kuasa yang justru sedang mencekiknya. Mereka tetap tampil dengan gagah dan berani.

Dengan demikian, strategi ini selain harus kita waspadai juga perlu kita apresiasi. Artinya, sebagai antitesis dari gerakan radikalisme, sudah sejauh mana kita melawan eksistensi mereka? Popularitas tokoh-tokoh moderat pun hemat saya masih kalah dengan tokoh radikal.

Mereka itu sedikit, tetapi sangat masif dan militan. Jika mereka menampilkan diri dengan eksistensi provokatif, kita perlu menghadirkan eksistensi progresif. Progresif berarti melihat secara teliti akan potensi dan celah dengan diikuti aktivasi aksi.

Jika melihat tesis Heidegger, eksistensi bermula dari keterbukaan yang berdasar atas befindichkeit (peka), verstechen (paham), dan rede (bicara). Barangkali itulah yang perlu kita lakukan sebagai penyokong moderasi untuk menggempur berisiknya radikalisme.

Jika kita telaah sejauh ini, eksistensi kaum radikalis memang berdasarkan kepekaan dan pemahaman mereka akan kondisi. Oleh karena itu, untuk menutup celah tersebut kontranarasi yang perlu dilakukan adalah dengan mewujudkan eksistensi pula. Mereka para radikalis itu sedikit tapi militan, sementara kita lebih banyak mengelus dada dan diam.

Branding para tokoh perlu digencarkan, apalagi di media sosial. Membangun eksistensi yang efektif dan efisien itu penting, jangan sampai program-program seperti “duta damai”, “duta harmoni”, “duta moderasi”, dan lainnya hanya sebatas pemborosan anggaran.

Duta-duta tersebut perlu dididik dan dibentuk karakternya untuk proaktif sehingga menjadi seorang tokoh. Selain itu, peran sistem di belakang layar perlu mengakomodasi branding tokoh-tokoh tersebut sehingga memiliki pengaruh yang signifikan. Mari babat habis radikalisme dari negara ini.

Ayi Yusri Ahmad Tirmidzi
Ayi Yusri Ahmad Tirmidzi
Mahasiswa Magister PAI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pemuda Berprestasi Kab. Kuningan 2020 & 2021.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru