Harakatuna.com – Dalam kerja kepenulisan selama ini, saya kerap mendapat pertanyaan yang kira-kira begini bunyinya, “Apa langkah awal yang mesti disiapkan untuk menjadi seorang penulis? Dan saya, jujur saja masih kurang nyaman menyandang label “penulis” dalam diri saya, akan mencoba menjawabnya dengan, “membaca.”
Mengapa membaca harus didahulukan? Untuk menjawabnya, mula-mula saya mengajak mereka untuk mengingat beberapa tokoh yang sangat mencandui kegiatan membaca. Di dalam negeri, tentu kita tahu tokoh pencetus Reformasi kita, Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta. Selain jadi pemimpin negeri, dua tokoh ini juga punya sejarah yang panjang dalam cengkerama dengan bacaan.
Bahkan, pernah Bapak Hatta mengaku kalau dia rela dipenjara asal bersama buku-buku. Dan hasil dari kegandrungan dua tokoh ini pun tidak main-main, terhitung banyak judul buku yang dihasikan oleh mereka. Misalnya, buku “Di Bawah Bendara Revolusi karangan Ir. Soekarno, masih dibaca dan dikaji oleh banyak orang sampai sekarang.
Penulis seperti Eka Kurniawan atau Avianti Armand pun dikenal sebagai pembaca yang giat. Eka, yang sejak kecil memang dekat dengan ragam bacaan, terutama cerita-cerita silat Kho Ping Hoo, sebelum kemudian kita kenal sebagai penulis yang punya cakrawala sastra dunia yang luas. Dari beberapa wawancara, Eka mengaku keinginan untuk menjadi penulis sangat menggebu-gebu setelah menamatkan karya salah satu novelis Norwegia, Knut Hamsun yang berjudul “Hunger” (diterjemahkan jadi “Lapar”), sebuah novel yang mengisahkan tentang perjuangan seorang penulis melarat tapi terus mencari alasan untuk terus menulis.
Pun, seorang Avianti Armand yang punya latar belakang arsitek, juga sejak kecil memang sudah menjadi pecandu buku yang lahap. Dari daftar dari masa kecilnya, majalah Bobo adalah salah satu yang rajin dia baca. Kebiasaan ini lantas terus berlanjut hingga dia dewasa, sampai kemudian kita kenal sebagai penyair dan cerpenis, di samping pekerjaannya di bidang arsitektur.
Sementara itu, dari kesustraan global, kita bisa menyebut nama Haruki Murakami. Di buku “Semesta Murakami”, yang memuat wawancara soal proses kepenulisannya, beliau mengaku kalau baru mulai menekuni dunia kepenulisan di usia menjelang kepala tiga. Meski begitu, Murakami sejak kecil punya sejarah yang panjang dengan buku-buku. Dia berangkat dari pribadi yang mengakrabi bacaan, sebelum kenal sebagai penulis kondang dari Jepang. Kebiasaan itu pun tidak ia hentikan, sebab kegiatan membaca buku dan mendengarkan musik jadi agenda rutin Murakami selain kegiatan olahraga lari.
Nama-nama ini baru sekelumit nama di antara para penulis yang gandrung bacaan, tapi poin yang bisa diambil adalah, bagi siapa pun yang ingin menggeluti dunia kepenulisan, bekal yang perlu dikantongi adalah semangat melahap bacaan yang beragam.
Mengapa itu penting sekali? Setidaknya, ada beberapa manfaat yang bisa kita peroleh dari beragamnya bacaan yang kita lahap, ini beberapa di antaranya:
Menajamkan Insting atas Hal-hal di Sekitar Kita
Dengan banyaknya ragam bacaan yang kita lahap, itu jelas memengaruhi pikiran kita untuk dapat peka, peduli, dan tergugah atas beragam hal di sekitar kita. Hasilnya, kita bisa menangkap banyak ide yang bisa jadi cikal-bakal dari tulisan kita.
Di samping itu, kemungkinan untuk mengelola kesadaran atas suatu hal atau masalah, untuk kemudian jadi motivasi atau tujuan dari tulisan kita pun jadi lebih besar. Sebagai contoh, penulis seperti Intan Paramadhita atau Raisa Kamila yang bercerita soal isu-isu perempuan dan punya misi perjuangan gender, turut membawa hal tersebut dalam karya-karya mereka.
Menambah Pengetahuan Kosakata, Tata Bahasa, dan Kekhasan Bahasa
Manfaat kedua ini saya rasa sudah sering kita dengar. Tapi, secara khusus, saya ingin menekankan bahwa dari beragamnya bacaan dari penulis yang berbeda, kita bisa menyadari bahwa tiap penulis punya kekhasan bahasanya masing-masing. Kita bisa merunutnya dari penulis mana mereka mendapatkannya. Hal ini, walaupun membutuhkan kepekaan yang tinggi, tapi bila kita bisa menyadarinya, itu bakal jadi bekal yang penting sekali bagi proses kepenulisan kita.
Misalnya, kebanyakan karya dari penulis berbahasa Jerman, cenderung punya kekhasan kalimat yang panjang-panjang. Sebagai contoh penulis seperti Franz Kafka atau Elfriede Jelinek. Dalam karya-karyanya, mereka suka sekali membuat satu kalimat yang beranak-pinak. Jadi untuk satu paragraf, itu bisa memakan sampai enam halaman lebih.
Contoh lain, dari pengetahuan bacaannya yang luas, Eka Kurniawan dalam salah satu bukunya, Cinta Tak Ada Mati (2018), melakukan eksperiman pengisahan dan penggunaan bahasa yang berbeda-beda. Di dalamnya, ada cerpen yang hanya terdiri dari satu kalimat (dengan halaman panjang), ada juga cerpen yang seluruhnya memakai ejaan lama. Atau Van Ophuijsen, sampai sebuah cerpen panjang yang bertumpu pada kekuatan narasi saja.
Mula dari Penemuan Kekhasan
Manfaat ini sebenarnya masih satu poin dengan sebelumnya. Tapi, saya ingin mengupas sendiri. Anggap saja begini, cakupan dari bahasan kita adalah untuk menulis karya fiksi. Untuk itu, saya menyebut poin ini penting untuk proses kepenulisan kita dan, sangat bisa dipengaruhi dari ragam bacaan yang dikonsumsi.
Seperti poin dua, dari banyaknya karya atau buku yang dibaca, kita jadi tahu bahwa tiap penulis punya kekhasan bahasa yang beragam. Misalnya, ada yang gemar bernarasi panjang, padat dengan dialog, menonjolkan Telling ketimbang Showing, dan lain sebagainya.
Untuk itu, saya orang yang termasuk tidak peduli dengan aturan bahwa fiksi yang bagus harus seimbang antara dialog dan narasinya, atau, mesti menguatkan Showing alih-alih Telling. Itu semua tidak salah, dan itu saya akui, berpengaruh terhadap hasil dari karya kita nanti (tergantung genre cerita apa yang kita tulis).
Tapi, tetap saja, semua itu bisa jadi sebuah kekhasan dari tiap-tiap penulis. Misalnya, novel Lelaki Harimau dan Cantik Itu Luka punya Eka Kurniawan, punya kencenderungan narasi panjang dan, mengedepankan Telling yang kuat. Hasilnya, novel itu tetap bisa dinikmati, diganjar banyak apresiasi dan penghargaan, serta diakui mencitrakan kekhasan cara bercerita Eka.
Dari situ, dengan mengetahui kekhasan-kekhasan tadi, kita pun bisa menjadikan semua itu landasan dari gaya bercerita kita dan, lama-kelamaan, seiring latihan dan banyak ragam bacaan yang dilahap, itu bisa menciptakan kekhasan dari tulisan kita sendiri.
Apakah sudah semua? Sebenarnya, masih banyak lagi manfaat lainnya, sebab kegiatan membaca juga memberi kita kesempatan untuk menganalisis elemen-elemen yang ditonjolkan atau kekhasan penulisnya. Dari kumpulan cerpen Orang-Orang Bloomington, kita bisa mendapat pengetahuan soal betapa hebatnya Budi Darma dalam membangun karakter yang berkesan, sekalipun dari sebuah cerita yang sederhana. Pun, kekuatan karya yang sederhana tapi sarat akan makna dan meninggalkan kesan yang dalam, ada juga di karya-karya Jhumpa Lahiri seperti “Interpreter of Malladies”.
Selain itu, dari cerpen-cerpenya O. Henry, kita bisa mendapati betapa menjebaknya cerita beliau, dan kita dibuat menganga di hampir tiap cerpennya. Tak lupa, kita juga punya Sabda Armandio dengan 24 Jam Bersama Gaspar-nya yang kurang ajar sekali sebab dia mengawinkan kisah detektif dan humor satir hingga jadi novel yang membuat kita ingin membuang novel itu begitu menamatkannya. Dan ya, jangan lupakan juga Yusi Avianto Pareanom dengan Raden Mandasia-nya yang piawai mengisahkan cerita petualangan ala kerajaan, tapi berbobot sebab mengandung diksi yang aneh-aneh.
Mengapa saya menyebut mereka semua? Sebab, mereka punya kekhasannya masing-masing. Dengan mengetahui dan menganalisis kekhasan tersebut, kita bisa mengambilnya sebagai inspirasi dan pertimbangan dalam meracik karya kita sendiri. Untuk sampai di tahap analisis ini, apakah ada cara lain selain melakukannya dengan membaca karya-karya tersebut?