26.1 C
Jakarta

Membabat Habis Bibit Radikalisme di Era Digital

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMembabat Habis Bibit Radikalisme di Era Digital
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Fenomena radikalisme di Indonesia hingga saat ini merupakan PR kita bersama yang harus terus dilakukan pencegahannya. Radikalisme merupakan pola pikir atau ideologi yang ekstrem atau berlebihan dan bertolak belakang dengan ideologi bangsa Indonesia, agama dan norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat.

Dinilai bertentangan mengingat paham yang mereka anut sering kali menimbulkan konflik baik konflik sosial, politik, etnis maupun agama sehingga mengakibatkan kegaduhan, ketentraman dan ketertiban masyarakat dan tindakan ekstrim yang membahayakan.

Pola pikir atau gerakan radikalisme di Indonesia telah melahirkan hal-hal yang cukup membahayakan diantaranya melahirkan perpecahan kesatuan bangsa Indonesia, dan menimbulkan aksi-aksi teror yang membahayakan kehidupan masyarakat yang mana hal ini tidak sejalan dengan ideologi bangsa kita karena dalam menjaga ketertiban dan keamanan bukan hanya tugas Negara namun juga tugas kita bersama tanpa terkecuali.

Berbicara mengenai radikalisme hal tersebut terus mengintai setiap orang terlebih di Era digitalisasi yang mana setelah pandemi Covid-19 banyak aktivitas yang dialihkan menjadi serba digital baik itu kegiatan pendidikan, kuliah, bekerja, transaksi jual beli, berobat bahkan kegiatan keagamaan pun ikut beralih ke media online. Dengan peralihan tersebut tentunya terdapat resiko yang sulit kita hindari, salah satunya penyebaran bibit radikalisme melalui media online.

Radikalisme tumbuh dalam setiap pikiran manusia disebabkan oleh banyak factor. Baik faktor internal maupun faktor eksternal. Pertama,bibit radikalisme tumbuh disebabkan oleh pola asuh yang tidak adil gender cenderung mengistimewakan salah satu anak sehingga munculnya perasaan ketidakadilan dan kecemburuan, misalnya orang tua yang begitu perhatian dan care pada anak laki-lakinya dan didukung setiap keinginan, namun anak perempuan dibatasi ruang geraknya dan kurang dukungan orang tuanya.

Kedua, pendidikan agama yang disalah pahami atau tidak moderat bisa menjadi pemicu tumbuhnya bibit radikalisme, misalnya seorang anak yang belajar tentang agama Islam yang mengajarkannya tentang pentingnya membela Islam, ketika terdapat fenomena yang mengkritik atau mengkritisi ajaran agama tersebut bukan tidak mungkin anak tersebut merasa tidak terima dan bisa berpotensi pada tindakan ekstrim.

Ketiga, kurangnya jiwa nasionalisme dan rasa cinta terhadap Negara kesatuan Republik Indonesia. Nasionalisme merupakan wujud nyata setiap individu dalam mencintai Negara dan bangsanya, sehingga hal tersebut sangat diperlukan untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia agar dapat meminimalisir intoleransi dan konflik baik konflik individu, sosial maupun konflik agama atau yang mengatasnamakan agama.

BACA JUGA  Golput Bukan Solusi untuk Demokrasi NKRI, Hindari!

Keempat,  belum terpenuhinya cita-cita mereka untuk menegakkan “Negara Islam”, padahal jika mempunyai kecintaan terhadap tanah air cita-cita tersebut tidak akan hadir, mengingat penduduk Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan hanya umat Islam, namun juga beberapa agama lain seperti Kristen, Hindu, Katolik, Budha, Konghucu dan penghayat kepercayaan lain yang mana mereka juga berhak tinggal di Indonesia dan mendapatkan keamanan dan kenyamanan.

Kelima, bibit radikalisme bisa hadi diakibatkan oleh minimnya literasi digital sehingga saat berselancar menggunakan perangkat digital dan koneksi internet mudah terpancing berita palsu, mudah emosi dan terprovokasi dan hasutan sehingga ketika mendapatkan suatu broadcast atau melihat suatu informasi tidak mengkritisinya dahulu namun langsung menyebarluaskannya dan menghasut orang lain untuk sepaham dengan apa yang kita lakukan yang tentunya tindakan ini sangat tidak dibenarkan dalam sudut pandang manapun.

Lalu langkah apa yang bisa kita tempuh untuk mencegah bibit radikalisme? Pertama, tanamkan dalam keluarga pola asuh yang adil gender sehingga setiap anak mendapatkan perlakuan yang sama dan tidak dibeda-bedakan, pola asuh adil gender juga membantu menstimulasi anak dalam menumbuh kembangkan rasa empatinya terhadap orang lain yang mana hal tersebut merupakan bibit dari toleransi.

Kedua, pendidikan agama yang moderat sangat diperlukan agar menghindari pola pikir dan perilaku yang menyimpang dan berlebihan. Tidak merasa diri paling benar, agama yang paling benar dan mudah menyalahkan bahkan mengkafirkan orang lain dan tentunya hal tersebut bukan perbuatan yang dibenarkan secara sosial maupun agama, karena sejatinya setiap agama mengajarkan perdamaian dan cinta kasih bukan mengajarkan pertikaian dan kebencian.

Ketiga, pendidikan cinta tanah air atau nasionalisme harus terus ditingkatkan mengingat hal tersebut merupakan pondasi dalam membentuk dan menjaga kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia yang kita cintai. Dengan rasa cinta terhadap tanah air maka tidak akan mudah tergoyahkan untuk menghancurkan Negara Indonesia dan bercita-cita mendirikan Negara Islam.

Keempat, upgrade skill dan terus belajar mengenai literasi digital dengan literasi digital yang baik maka saat teknologi terus berubah kita tetap bisa mengontrol dan mengendalikannya sehingga tidak mudah terpapar hoaks dan tidak mudah terprovokasi. Mari sama-sama cegah bibit radikalisme mulai dari kita, oleh kita dan untuk kita semua.

Siti Rohmah
Siti Rohmah
Mahasiswi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, anggota Puan Menulis.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru