30 C
Jakarta

Mematahkan Argumentasi Suteki tentang Khilafah di Indonesia

Artikel Trending

Milenial IslamMematahkan Argumentasi Suteki tentang Khilafah di Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Eks-Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Suteki membuat seminar daring yang tayang di YouTube menanggapi Rekomendasi Muktamar Fikih Peradaban Nahdlatul Ulama (NU) tentang khilafah. Seminar tersebut dimoderatori oleh Aab Elkarimi, influencer muda HTI yang kerap bikin konten kontra-NKRI di TikTok. Bersama Aab, Suteki memberi judul seminarnya dengan “Khilafah Ajaran Islam, Mengapa NU Menolak?” yang telah ditonton lebih dari lima ribu kali.

Untuk diketahui, Suteki merupakan salah satu akademisi yang biasa dipakai para aktivis HTI untuk kegiatan mereka, terutama untuk menanggapi persoalan hukum—sesuai bidang keahliannya. Aab sendiri merupakan kader muda HTI yang cemerlang. Pengikutnya di TikTok hampir setengah juta. Aab, dengan public speaking-nya yang vokal, sering membuat konten kritik terhadap pemerintah, aparat, dan organisasi kemasyarakatan. Keduanya, secara kultural, adalah “pejuang khilafah”.

Ada tiga pertanyaan utama yang Suteki bahas pekan lalu di kanal YouTube miliknya, Prof Suteki. Pertama, bagaimana tanggapan Suteki terkait pernyataan PBNU. Ketika menjawab ini, Suteki mengatakan bahwa PBNU seharusnya tidak alergi dengan khilafah. Baginya, khilafah sudah disepakati para ulama sehingga aneh bila ormas Islam justru menentangnya. Pernyataan PBNU, menurut Suteki, tidak semestinya ada karena dianggapnya menyalahi syariat Islam.

Kedua, bagaimana Suteki melihat inkonsistensi NU antara di Sidang Konstituante—yang mempersoalkan dasar negara—dengan fatwa Fikih Peradaban yang mempersoalkan khilafah. Sekalipun Sidang Konstituante pada akhir tahun 1950-an merupakan bagian dari dinamika politik NU, pada bagian ini, Suteki berusaha menegaskan bahwa NU sudah keluar dari khitahnya sendiri. Sebab, dalam pandangan Suteki, para ulama NU hari ini tidak konsisten dengan para pendahulunya.

Ketiga, bagaimana pandangan Suteki ketika NU menolak khilafah dan mendukung PBB. Pada masalah ini, Suteki menyorot PBB sebagai produk Barat yang tidak pantas jadi dasar hukum—apalagi dengan terang-terangan menjadikannya dalil menolak khilafah. Bersama dua masalah sebelumnya, Suteki kemudian merekomendasikan agar umat Islam di Indonesia tidak anti-khilafah. Menurutnya, khilafah dan republik bisa berdiri barengan. Apa iya begitu?

Suteki Sang Propagandis

Sejujurnya, apa yang Suteki dan Aab bahas merupakan wacana lama. Sama halnya juga, apa yang menjadi Rekomendasi Muktamah Fikih Peradaban bukanlah sesuatu yang baru, apalagi harus ditanggapi berlebihan. Soal sederhananya adalah pro-kontra khilafah; isu yang tidak akan pernah habis sampai kapan pun. Bahkan sekalipun kontra-khilafah sudah dilakukan dengan berbagai cara, narasi-narasi seperti yang Suteki bangun akan terus ada.

Sebagian orang akan beranggapan bahwa ketika sesuatu tidak bisa dikonter meski telah melibatkan banyak cara, itu merupakan tanda kebenaran—sesuatu yang sengaja Allah lestarikan. Artinya, bagi Suteki dan rombongannya, yang meyakini khilafah sebagai syariat, khilafahisasi merupakan cita-cita tanpa akhir. Semua narasi akan diarahkan pada proyek mengkhilafahkan Indonesia. Aturan propaganda HTI adalah usaha yang persisten. Suteki tengah melakukannya.

BACA JUGA  Beragamalah dengan Rasional di Tahun Politik

Suteki sedang melakukan taktik pemanfaatan statusnya sebagai guru besar. Ia merasa punya identitas dan otoritas, yang bisa dilihat melalui arah narasi yang ia bangun—merasa lebih berhak untuk berbicara khilafah bahkan daripada ulama-ulama NU secara keseluruhan. Ia melupakan satu fakta bahwa rekomendasi NU tentang khilafah telah melalui konsensus. Di YouTube, akibatnya, banyak yang memujinya sebagai sosok yang lebih kiai daripada kiai.

Bayangkan, seorang profesor di bidang hukum berbicara khilafah, dan merasa lebih benar daripada para kiai di NU ihwal khilafah? Ini tidak beres. Suteki merupakan propagandis ulung yang berusaha menggiring opini tentang khilafah di Indonesia. Ia mengatakan, umpamanya, bahwa NU anti-khilafah. Padahal, NU tidak anti-khilafah. Yang NU rekomendasikan dan yang memang harus dilawan bersama demi Indonesia adalah khilafah ala HTI. Khilafah mereka itu palsu, tapi Suteki berusaha mengelaknya.

Perdebatan khilafah tidak pernah kelar, padahal narasinya itu-itu saja. Gara-gara Suteki dan kroco-kroconya, debat tentang khilafah bak berputar di lumpur yang sama. Khilafah seperti apa? Khalifahnya siapa? Mana negara Islam yang pernah menegakkan khilafah seperti yang mereka propagandakan? Semuanya tidak pernah terjawab. Dalil mereka hanya mentok di “pokoknya”. Pokoknya khilafah harus tegak. Pokoknya Indonesia harus jadi khilafah. Pokoknya, pokoknya, pokoknya.

Indonesia Anti-Suteki cs

Melihat kebebalan intelektual alias ketidakcerdasan para aktivis khilafah itu bukan perkara sulit. Perlawanan terhadap mereka juga sudah masif. Namun, mengapa mereka masih lestari, itu terletak pada pengulangan propaganda secara terus-menerus. Teorinya, sesuatu yang terus diulang-ulang, meskipun salah, akhirnya akan tampak benar. Demikian halnya wacana khilafah di Indonesia. Sekadar wacana, dan itu pun wacananya tidak punya basis argumentasi yang kokoh.

Intinya, tidak ada yang anti-khilafah. Khilafah itu artinya pemerintahan. Di Indonesia jelas pemerintahan sudah terbentuk; republik dengan sistem demokrasi. Yang harus dilawan bersama adalah khilafah ala HTI, khilafah ala Suteki cs, yang memalsukan sejarah Islam demi kepentingan kekuasaan. Ketika ia ber-statement bahwa khilafah dan republik bisa berdiri berbarengan, itu sudah jelas bahwa Suteki sama sekali tidak paham apa itu khilafah kecuali yang dipelajarinya dari buku-buku an-Nabhani.

Sekali lagi, Indonesia tidak anti-khilafah. Khilafah di Indonesia sudah tegak. Yang benar, Indonesia anti-Suteki cs, anti-Felix Siauw cs, anti-Aab Elkarimi cs, dan anti-HTI secara umum yang memanipulasi khilafah demi kepentingan politik kekuasaan. Jika Suteki mengatakan bahwa umat Islam harus membaca literatur tentang konsensus khilafah, ia dan para kroconya harus ambil cermin besar, lalu berkaca, untuk menyadari diri bahwa selama ini mereka memperjuangkan kepalsuan dan memanipulasi Islam.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru