27.2 C
Jakarta

Mematahkan Argumen Khilafahers: Madinah Itu Negara Bangsa, Bukan Negara Agama

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMematahkan Argumen Khilafahers: Madinah Itu Negara Bangsa, Bukan Negara Agama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Salah satu fase penting dalam dakwah Islam Rasulullah adalah ketika ia mentransformasikan Yatsrib yang sebelumnya kerap dilanda konflik antar-suku menjadi negara kota yang beradab bernama Madinah. Dinamakan negara kota (polis) karena Madinah memiliki cakupan wilayah yang sebenarnya tidak terlalu luas dengan sistem birokrasi yang sederhana. Berbeda dengan negara modern yang umumnya memiliki struktur birokrasi dan pemerintahan yang kompleks.

Meski demikian, bagaimana pun juga negara kota Madinah tetaplah menjadi model ideal bagi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya bagi dunia Islam. Madinah adalah percontohan ideal bagaimana masyarakat yang terdiri atas kelompok yang berbeda latar belakang suku dan agama dikelola dengan mengedepankan tiga prinsip pokok. Yaitu keadilan, kesetaraan, dan perdamaian.

Sayangnya, di kalangan umat Islam sendiri masih sering terjadi silang pendapat dalam memahami subtansi Madinah sebagai negara kota. Di satu sisi, sebagian umat Islam menganggap bahwa Madinah adalah negara Islam. Yakni negara yang berdasar pada hukum Islam dan menjalankan pemerintahan berdasar pada hukum syariah yang kaku.

Di sisi lain, sebagian umat Islam menganggap Madinah sebagai negara bangsa yang mendasarkan konstitusi hukumnya pada kesepakatan bersama. Dua pandangan inilah yang selama ini menjadi polemik perdebatan yang nyaris tidak ada ujungnya. Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu kita membutuhkan telaah sejarah kritis yang berbasis pada sumber-sumber otoritatif.

Dan, jika kita melihat fakta-fakta sejarah tentang negara kota Madinah, kita akan dengan mudah menyimpulkan bahwa Madinah adalah negara bangsa, bukan negara agama (Islam). Ada setidaknya tiga fakta sejarah yang kiranya bisa mendukung klaim ini.

Fakta Sejarah Negara Madinah

Pertama, negara Madinah berdiri di atas konsensus bersama yang bernama Piagam Madinah. Piagam Madinah ini adalah perjanjian tertulis antar-kelompok masyarakat di Madinah yang berisi komitmen untuk saling menjaga keamanan dan perdamaian serta menjaga Madinah dari ancaman musuh eksternal.

Piagam Madinah yang terdiri atas 47 pasal itu dibuka dengan pasal pertama yang berbunyi “sesungguhnya mereka satu umat, lain dari manusia (komunitas) lain”. Pasal pembuka ini menjadi penanda bahwa negara Madinah mengakui kesetaraan hak semua manusia.

Kedua, negara Madinah memberikan perlindungan hukum terhadap kelompok minoritas (non-muslim). Dalam pasal ke-16 disebutkan dengan jelas bahwa “Orang Yahudi yang mengikuti kita berhak mendapatkan santunan dan pertolongan, sepanjang tidak menentang kaum mukmin”. Pasal ini memberikan penekanan bahwa di negara Madinah, golongan non-muslim pun mendapatkan perlindungan sebagai warganegara.

Ketiga, fakta bahwa Piagam Madiah sama sekali tidak mencantumkan kutipan dari ayat suci Alquran melainkan disusun atas kesepakatan bersama masing-masing golongan. Nabi Muhammad juga tidak pernah secara eksplisit menyebut Madinah sebagai negara Islam (dar al Islam).

BACA JUGA  Neo-HTI: Spirit Propaganda Khilafah yang Mesti Dilawan

Ini menandakan bahwa Madinah memang tidak didesain sebagai negara Islam yang menerapkan model pemerintahan secara kaku, apalagi berbasis pada sistem monarki sebagaimana dipraktikkan di zaman kekhalifahan.

Madinah Adalah Negara Bangsa

Sekarang mari kita pahami apa saja yang menjadi ciri negara bangsa. Ratno Lukito dalam kolomnya berjudul “Negara Bangsa” menjabarkan sejumlah ciri negara bangsa (nation-state). Pertama, negara berkarakter plural baik dalam konteks suku, ras, etnis, warna kulit, dan agama namun mengikat warganya dengan spirit persatuan dan perdamaian. Kedua, adanya kemandirian masyarakat (warga) yakni sikap tidak bergantung sepenuhnya pada pemimpin atau pemerintah yang berwatak absolut.

Ketiga, adanya sistem hukum yang dihasilkan bukan dari keputusan pemimpin yang otoriter, namun dihasilkan dari proses negosiasi dan konsensus bersama antar-warga masyarakat. Keempat, negara bangsa biasanya menganut sistem demokrasi, dimana sirkulasi jabatan publik seperti pemimpin dilakukan dengan melibatkan partisipasi publik. Ini artinya, negara bangsa menolak gagasan monarki dan imperium.

Lebih lanjut menurut Lukito, konsepsi negara bangsa ini muncul pasca berakhirnya kolonialisme dan imperialism di abad ke-19. Pasca berakhirnya kolonialisme sejumlah bangsa bekas jajahan memerdekaan diri dan membentuk negara-negara yang berbasis pada kesamaan nasib masa lalu (korban kolonialisme) dan kesamaan akan cita-cita di masa depan.

Meski istilah negara bangsa baru dikenal pada abad ke-19, namun prinsip-prinsipnya sudah dipraktikkan oleh masyarakat Madinah di abad ke-7. Jika dilihat, Madinah memiliki unsur-unsur yang sama dengan apa yang dicita-citakan oleh negara bangsa. Madinah dikenal sebagai wilayah yang dihuni oleh masyarakat yang plural.

Ada golongan muslim Mekkah (Muhajirin), ada golongan muslim pribumi (Anshar), ada komunitas Yahudi, dan berbagai golongan kabilah (Bani) yang sebelumnya kerap terlibat pertikaian. Pluralitas itu diikat dengan Piagam Madinah.

Selain itu, konsep kepemimpinan Nabi Muhammad di Madinah juga bukan bercorak kaku apalagi otoriter. Sebagai pemimpin politik, Nabi dikenal demokratis, terbuka dan mengakomodasi kepentingan semua kelompok. Rasulullah senantiasa mengedepankan musyawarah dalam menyelesaikan sebuah persoalan.

Ini artinya, masyarakat memiliki otonomi dan independensinya sendiri. Maka, kata Madinah pun menjadi inspirasi bagi lahirnya konsep masyarakat madani yang dalam pemikiran politik Barat disebut sebagai civil society atau masyarakat sipil yang kritis dan independen.

Terakhir, Madinah tidak menerapkan hukum Islam secara kaku. Pemberlakuan aturan pembayaran pajak bagi warganegara dan denda bagi pelaku kriminal mengacu sebenarya lebih banyak mengacu pada hukum sosial yang sebelumnya sudah berlaku di kalangan masyarakat Arab.

Fakta-fakta di atas cukup menjadi bukti bahwa Madinah lebih cocok disebut sebagai negara bangsa (nation state) ketimbang negara agama (religion state). Maka, keyakinan sebagian kalangan umat Islam yang mengklaim Madinah sebagai negara Islam sebenarnya gugur dengan sendirinya.

Sivana Khamdi Syukria
Sivana Khamdi Syukria
Pemerhati isu sosial dan keagamaan, alumnus Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru