28.2 C
Jakarta

Memaknai Ulang Isra’-Mi’raj dalam Bingkai Kontra-Khilafah

Artikel Trending

Milenial IslamMemaknai Ulang Isra’-Mi’raj dalam Bingkai Kontra-Khilafah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sudah memasuki pertengahan bulan Rajab, kita sebagai umat akan segera berjumpa dengan momentum Isra’ Mi’raj. Ada beberapa versi tentang kapan peristiwa Isra Miraj terjadi. Namun, mayoritas ulama sepakat, Isra’ Mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun 621 Masehi. Artinya, berdasarkan Kalender Hijriah Indonesia Tahun 2023 atau 1444 H, Peringatan Isra Miraj 2023 M/ 1444 H jatuh pada 27 Rajab 1444 H atau tanggal 18 Februari 2023 Masehi—lima hari lagi.

Banyak sekali uraian ulama tentang keistimewaan peristiwa luar biasa tersebut. Tidak hanya karena ia merupakan momentum disyariatkannya salat, setelah Nabi menerima perintah di Sidratul Muntaha, Isra’ Mi’raj juga menyimpan banyak keistimewaan yang bisa menjadi bahan refleksi bersama. Misalnya, tentang naiknya Nabi alias Mi’raj. Kitab Dardir Mi’raj menguraikan banyak pelajaran justru pada saat Nabi naik ke langit. Lalu, apa saja pelajarannya?

Secara harfiah, Mi’raj adalah artinya memanjat. Ia juga semakna dengan menaik. Istilah “naik” biasanya selalu positif. Naik kelas, naik tingkat, naik jabatan, dan lainnya. Naiknya Nabi saat Mi’raj juga menjadi titik tolak risalah tertingginya, yaitu shalat lima waktu. Status Nabi sebagai rasul Allah, melalui peristiwa Isra’ Mi’raj, diuji sekaligus diberi bukti. Sejak itu, yang beriman akan beriman dan yang hatinya penuh keburukan akan mengingkari bahkan mencacinya.

Namun, apakah kenaikan selalu positif? Ternyata tidak. Tergantung subjeknya. Jika yang naik adalah keburukan, maka buruk. Misalnya, di Indonesia, indeks toleransi dan inklusivisme beragama mengalami penurunan signifikan. Maka yang baik adalah intoleransi dan eksklusivisme, dan tentu saja itu sinyal buuruk untuk negara. Contoh lain, misal yang naik adalah propaganda khilafah: sangat bahaya. Jadi, bagaimana kalau Isra’ dan Mi’raj kita refleksi ulang dalam konteks kontra-khilafah?

Ambil contoh di Madura. Tadi malam, Hanan Attaki mengisi pengajian di Pamekasan. Beberapa waktu lalu, juga di Pamekasan, seorang dai Wahabi bikin onar dengan mencederai identitas Madura itu sendiri. Jadi, di Pamekasan saja, sangat bisa disimpulkan bahwa perkembangan dakwah Salafi-Wahabi menaik tajam. Itu di Pamekasan, padahal. Bagaimana dengan Madura secara umum, atau bagaimana dengan Indonesia secara keseluruhan, apakah juga mengalami kenaikan?

Refleksi Isra’-Mi’raj untuk Kontra-Khilafah

Tulisan ini tidak dalam rangka menarik refleksi Isra’-Mi’raj ke arah negatif. Katakanlah wacana khilafah negatif, karena memang faktanya demikian. Ini semua dalam rangka mengambil ‘ibrah, memantik kesadaran, bahwa kata isra’ (berjalan malam) dan mi’raj (naik) itu akan positif jika subjeknya positif. Rasulullah melakukan Isra’-Mi’raj dan menghasilkan banyak hal, termasuk pensyariatan salat. Tetapi kalau yang isra’ dan yang mi’raj adalah hal negatif bagaimana? Justru bahaya.

Misalnya, para radikalis yang suka mengusik kedamaian melalui propaganda khilafah  dan narasi thaghut terus masif melakukan agenda terselubung. Mereka melakukan indoktrinasi tanpa banyak orang tahu bahwa mereka tengah melakukan agendanya. Ibarat isra’ yang tidak terlihat orang karena malam dan aksi khilafahisasi yang tidak terdeteksi karena senyap. Itu tentu buruk akibatnya. Begitupun jika aksi para khilafahers semakin hari terus naik, mi’raj, itu sangat bahaya untuk tanah air.

BACA JUGA  Persatuan Melampaui Kepentingan: Telaah Rekonsiliasi Politik Kebangsaan

Karenanya, refleksi Isra’-Mi’raj untuk kontra-khilafah menjadi upaya membuat masyarakat menyadari bahwa kaum pejuang khilafah itu tetap suka main belakang dalam gelap. Seolah mereka menjadikan fenomena kenabian sebagai aksinya merebut kekuasaan. Isra’-nya Rasulullah belajar banyak hal-ihwal kehidupan, sebagaimana tertuangkan dalam kisah bersama Jibril dalam kitab Dardir Mi’raj. Sementara isra’ kaum radikalis justru memperburuk kehidupan.

Kaum khilafahers seperti HTI atau pun Wahabi harus kita bongkar agenda terselubungnya. Umat Islam yang bisa kita lihat melalui emosi netizen di media sosial akan terus terprovokasi dengan mereka, karena mereka beraksi melalui penyamaran identitas. Tiba-tiba ada provokasi Wahabisme, tiba-tiba ada narasi khilafah ke publik. Sejatinya tidak ada yang terjadi spontan. Para khilafahers telah tersistem, tetapi mereka seperti isra’-mi’raj, tidak terlihat dan terus naik.

Wacana khilafah memiliki efek buruk. Bagi Islam, ia akan mewariskan perpecahan umat dan naiknya kebrutalan mereka karena menuduh yang berbeda sebagai thaghut. Bagi negara, ia bahkan mengancam konflik sipil. Sama juga dengan Wahabi. Semuanya tidak ramah lokalitas dan selalu mengutamakan kekerasan daripada kedamaian. Padahal, Rasulullah mengajarkan kedamaian. Maka, untuk meneladani Rasul, wacana khilafah itu sendiri harus dibuang jauh-jauh.

Meneladani Rasulullah

Rasulullah merupakan teladan yang sempurna, uswah hasanah, baik urusan dunia maupun akhirat. Sekali lagi perlu ditegaskan, isra’ dan mi’raj beliau mengandung banyak kebaikan dan pelajaran, menuju kehidupan kita yang lebih baik dan memantik perdamaian. Meski demikian, isra’ dan mi’raj kaum pegiat khilafahisme seperti HTI cs harus dilawan karena mencederai kerukunan dan kedamaian itu sendiri. Dua kontras ini tidak boleh disalahpahami. Akan fatal akibatnya.

Rasulullah mendamaikan masyarakat Makkah saat peletakan Hajar Aswad, dan mendamaikan masyarakat Madinah saat suku Aus dan Khazraj berseteru. Rasulullah juga mendamaikan hati Abu Bakar sepulang Isra’-Mi’raj, hingga ia mencapai puncak keimanan kepada Allah dan Rasul, lalu mendapat gelar Ash-Shiddiq. Sementara itu apa yang para khilafahers perbuat? Mereka menghancurkan Suriah, memorak-perandakan banyak negara, dan Indonesia jadi target berikutnya.

Kalau “aksi gelap” dan “eskalasi” mereka dibiarkan, maka yang terkena dampaknya adalah kita sendiri. Dengan alasan itu, patut bagi kita untuk mengetahui segala intrik mereka kemudian menghindarinya. Itu dalam rangka kedamaian umat, sebagaimana yang Rasulullah teladankan. Apakah kita mau berperang terus? Menjadi umat yang suka berseteru sesama? Menjadi kaum yang suka mengganggu kedaulatan negara? Sangat kontras dengan yang Rasulullah ajarkan.

Kita harus mengambil banyak ‘ibrah dari Isra’-Mi’raj Rasulullah. Tetapi, kita harus takut jika sampai kaum pejuang khilafah juga isra’ dan mi’raj, dalam arti terus beraksi dan terus meningkat. Refleksi Isra’-Mi’raj kita dalam rangka menumbuhkan kesadaran akan bahwa kontra-khilafah adalah untuk meneladani Rasulullah: menebarkan dan menjaga kedamaian. Itu amanat untuk setiap kita semua, umatnya. Kontra-khilafah artinya melawan para manipulator Islam, Al-Qur’an, dan Nabi. Hukumnya fardu ain.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru