26.8 C
Jakarta

Memahami Korupsi dan Ketimpangan Hukum sebagai Faktor Radikalisme dan Terorisme

Artikel Trending

Milenial IslamMemahami Korupsi dan Ketimpangan Hukum sebagai Faktor Radikalisme dan Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dalam salah satu podcast bersama Tretan Muslim dan Coki Pardede, Brigjen. Pol. Ahmad Nur Wahid, Direktur Bidang Pencegahan BNPT, menjelaskan bahwa radikalisme bukan bagian dari agama apa pun, namun merupakan buah tafsir keliru terhadap agama tertentu. Di antara faktor radikalisme, menurutnya, adalah ketimpangan ekonomi dan perbedaan politik. BNPT, demikian ia menimpali, bergerak melawan dua hal tersebut.

Apa yang Brigjen sampaikan seluruhnya benar. Islam, Kristen, dan seluruh agama, tidak mengajari kekerasan apalagi pembunuhan dan justru menentangnya jika tanpa faktor yang jelas. Islam bertugas sebagai rahmat bagi seluruh alam dan Kristen mengajarkan kasih kepada sesama. Spirit islamisme dan kristenisme, yang sama-sama negatif, lahir dari tafsir yang fatal terhadap kedua agama tersebut. Laskar Jihad vs Laskar Kristus, Maluku, contohnya.

Brigjen juga benar ketika menyinyalir ekonomi dan politik sebagai faktor pendorong aksi radikal. Penduduk yang miskin dan terbelakang, dan mereka merasa telah dieksploitasi, maka aksi pasti terjadi baik teror maupun gerakan separatis. Papua, contohnya. Begitupun perbedaan politik. Di Timur Tengah, perseteruan politik bahkan naik ke skala perang sipil. Di Indonesia, perbedaan politik memantik narasi perombakan sistem pemerintahan yang berlaku.

Sungguh pun demikian, apa yang dituturkan Brigjen bersifat outsider, menganalisis faktor radikalisme dan terorisme dari sudut pandang ‘from object to subject’, yakni dari Brigjen dan BNPT sebagai representasi Indonesia ke para radikalis-teroris. Paradigma outsider ini paradoks, ia benar tetapi belum persis presisi. Betapa pun kontra-radikalisme dan kontra-terorisme bergerak ganda; hard & soft approach, radikalisme-terorisme akan terus berlangsung.

Bagaimana jika faktor radikalisme dan terorisme ditelisik menggunakan paradigma insider, bergerak ‘from subject to object’, yakni dari kesadaran psikologis para radikalis dan teroris melakukan aksinya? Hasilnya pasti berbeda. Dalam situasi tersebut, akan terkuak fakta bahwa para radikalis-teroris tidak ujug-ujug beraksi. Mereka punya kepercayaan, punya dorongan, punya nyali dan jaminan atasnya. Korupsi dan ketimpangan hukum, umpamanya.

Ketidakpuasan Masyarakat

Hari-hari ini, terutama, faktor ini kentara sekali. Jaksa Pinangki Sirna Malasari dengan jumlah korupsi US$500 ribu, atau sekitar 700 juta, hanya dihukum 10 tahun dan itu pun dipotong menjadi 4 tahun. Djoko Tjandra yang kasusnya masih berkaitan dengan Pinangki, mendapat remisi hukuman. Juliari Batubara, maling bansos Covid-19, dengan jumlah korupsi 32,2 miliar hanya dihukum 11 tahun penjara karena dianggap cukup menderita dari perundungan masyarakat.

Sementara itu, kasus pidana umum yang pelakunya kebanyakan “orang melarat”, hukumannya justru tajam dan tidak ada ampun. Setelah masyarakat mengkritik korupsi dan ketimpangan hukum tersebut, justru yang mengkritik dapat kasus baru. Akhirnya, tidak ada yang berani mengkritik. Tapi, di hati masing-masing ada dendam dan ketidakpuasan. Masyarakat bahkan bukan hanya tak puas, tapi juga tidak lagi percaya. Ini adalah masalah yang serius.

Lahirnya ketidakpuasan masyarakat akan membuat segala kekerasan menjadi halal bagi mereka, jika ada kesempatan. Perlu dicatat di sini, kalau ada kesempatan. Dalam teori gerakan sosial, korupsi dan ketimpangan hukum tersebut menjadi pemantik politik penentangan, yang datangnya bukan dari orang yang radikal secara ideologi, melainkan dari pihak yang tidak puas secara politik. Sementara di saat yang sama, para radikalis terus mengamati kesempatan ini.

BACA JUGA  Hilangnya Nalar Waras di Zaman yang Tidak Jelas

Jadi ini di luar faktor ideologi. Maka tidak heran jika oposan sering kali menjadi sasaran para radikalis untuk dijadikan mitra mereka. Kalau ditanya mengapa mereka terjerumus radikalisme dan terorisme, maka jawabannya bukan karena ia ikut Al-Qaeda atau ISIS, tapi murni karena benci kepada pemerintah lantaran kondisi yang dianggapnya semrawut. Pemerintah, BNPT tentu saja, mesti memperhatikan faktor radikalisme dan terorisme yang ini.

Mengapa pemerintah yang menjadi sasaran ketidakpercayaan? Jawabannya adalah: karena sistem. Sistem telah dianggap korup, dan ketimpangan hukum dianggap dibiarkan pemerintah. Masyarakat semakin tidak puas dan mereka akan melakukan apa pun untuk melawannya, bahkan jika pun itu mengharuskan mereka bersikap radikal dan melakukan aksi teror. Dalam keadaan tidak percaya, mereka mudah dipengaruhi. Masalah ini perlu segera diatasi.

Momentum Pelintiran

Adalah fakta bahwa pemerintah sama sekali tidak menolerir korupsi. Korupsi dan ketimpangan, dengan demikian, dilakukan oleh oknum jahat yang ingin memperkaya diri sendiri—sama sekali tidak punya niat dan visi-misi menciptakan kesejahteraan negara Indonesia. Idealnya, mereka adalah musuh negara, maling negara, perampok negara, tidak ada bedanya dengan para teroris yang ingin merampok negara dengan merombak sistem pemerintahannya.

Para koruptor, maling negara, bahkan lebih berbahaya dari para radikalis dan teroris itu sendiri. Jika para teroris ingin merebut negara dari sisi sistemnya, mereka ingin merebut negara dari sisi kekayaannya. Negara akan hancur di tangan teroris, sementara di tangan koruptor, negara akan miskin dan akhirnya defisit dan bisa jadi ambruk. Baik teroris maupun koruptor sama-sama berbahaya, maka pemerintah tidak boleh membiarkannya.

Pemerintah memiliki tanggung jawab moral untuk membangun kepercayaan masyarakat, agar mereka terselamatkan dari proyek para radikalis-teroris, yakni “momentum pelintiran”. Proyek ini dilakukan oleh pihak yang radikal secara ideologi, baik itu dari HTI, Ikhwanul Muslimin, Salafi, dan lainnya. Korupsi dan ketimpangan hukum akan menjadi momentum yang mereka pelintir untuk menunjukkan bahwa hanya mereka yang punya solusinya.

Solusinya tidak lain, pasti khilafah. Mereka menarasikan, sebagai contoh, kedaulatan masa lalu di bawah pemerintahan Islam, yang bebas korupsi, yang hukum ditegakkan seadil-adilnya, dan demokrasi telah menghalangi kejayaan tersebut. Semua orang pasti akan mudah terpengaruh, dan jika dibiarkan, radikalisme dan terorisme akan tumbuh subur. Dan perlu diingat bahwa semua ini bermula dari satu faktor: korupsi dan ketidakadilan.

Korupsi dan ketidakadilan merupakan faktor tidak langsung dari radikalisme dan terorisme. Faktor langsungnya adalah ideologi, yang mengafirmasi mereka melakukan tindakannya yang meresahkan. Teror bom bunuh diri misalnya. Padahal, Islam adalah agama rahmah, dan setiap Muslim harus berkasih-sayang pada sesama.

Pemerintah, terakhir, harus memperbaiki citra. Adalah buruk jika masyarakat beranggapan pemerintah bersikap inkonsisten: satu sisi memerangi radikalisme dan terorisme tetapi di sisi lain, mereka melemparkan umpan yang membuat masyarakat menjadi radikal karena umpan tersebut. Umpan yang dimaksud adalah ketidakadilan dan ketimpangan di mata hukum.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru