28.2 C
Jakarta
Array

Memahami Hadis Sabʻatu Ahruf dalam Penurunan Al-Quran (Bagian I)

Artikel Trending

Memahami Hadis Sabʻatu Ahruf dalam Penurunan Al-Quran (Bagian I)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sabʻatu Ahruf merupakan susunan idhafah dari dua kata yakni sabʻah dan ahruf. Kedua kata ini juga bisa dirangkaikan menjadi susunan naʻtmanʻût. Sehingga sabʻah menjadi sifat dari ahruf yang merupakan bentuk plural dari harf.

Sabʻah dalam bahasa mempunyai dua arti; a. bilangan antara enam dan delapan sebagaimana QS al-Baqarah [2]: 196; b. berjumlah banyak (tidak terbatas) seperti dalam QS al-Taubah [9]: 80. Sehingga dalam ayat terakhir ini arti tujuh, tujuh puluh, tujuh ratus dst. tidak dikehendaki bilangan setelah enam, namun menunjukkan banyak tidak terhingga.

Secara etimologi ahruf berarti sisi, wajah, dan cara. Oleh karenanya orang yang hanya taat kepada Allah swt di saat duka namun maksiat dikala bahagia maka menyembah Allah swt dengan satu sisi saja.

Istilah sabʻatu ahruf lahir langsung dari lisan mulia baginda Nabi Muhammad saw. Banyak sekali riwayat yang menuturkan ungkapan tersebut. Tentu kesemuanya berbeda redaksi dan sanadnya. Setidaknya konteks penuturannya berkaitan dengan turunnya al-Quran dan pembacaannya. Berikut sebagian riwayat yang menuturkan tentang turunnya al-Quran dengan sabʻatu ahruf:

عن عمر بن الخطاب قال: سمعت هشام بن حكيم بن حزام يَقْرَأُ سُوْرَةَ الفُرْقَانِ عَلَى غَيْرِ مَا أَقْرَأُهَا وَقَدْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ أَقْرَأَنِيْهَا قَالَ فَأَخَذْتُ بِثَوْبِهِ فَذَهَبْتُ بِهِ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ ﷺ فَأَخْبَرْتُهُ فَقُلْتُ إِنِّي سَمِعْتُ هذَا يَقْرَأُ سُوْرَةَ الفُرْقَانِ عَلَى غَيْرِ مَا أَقْرَأْتَنِيْ فَقَالَ ((اقْرَأْ)) فَقَرَأَ القِرَاءَةَ الَّتِي سَمِعْتُ مِنْهُ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ ((هكَذَا أُنْزِلَتْ)) ثُمَّ قَالَ لِيْ ((اقْرَأْ)) فَقَرَأْتُ فَقَالَ ((هكَذَا أُنْزِلَتْ إِنَّ هذَا القُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَأُوْا مِنْهُ عَلَى َما تَيَسَّرَ)) أخرجه البخاري ومسلم وأبو داود والنسائي والترمذي ومالك

Berawal dari perbedaan bacaan QS al-Furqan yang disuarakan oleh Hisyam, Umar bin al-Khaththab berselisih dengannya hingga mengadukannya di depan Nabi saw. Keduanya memiliki bacaan berbeda meskipun kedua-duanya diterima dari Rasulullah saw. Sebab demikian adanya turun al-Quran dengan sabʻatu ahruf.

عن ابن عباس أن رسول الله ﷺ قال (( أَقْرَأَنِيْ جِبْرِيْلُ عَلَى حَرْفٍ فَرَاجَعْتُهُ فَزَادَنِيْ فَلَمْ أَزَلْ أَسْتَزِيْدُهُ وَيَزِيْدُنِيْ حَتَّى انْتَهَى إِلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ)) أخرجه البخاري

Hadis riwayat al-Bukhari dari Ibnu Abbas dalam kitab Fadhail al-Quran, menceritakan bagaimana pada mulanya Jibril membacakan al-Quran di hadapan Nabi saw dengan satu harf. Kemudian Nabi saw meminta tambahan lagi hingga sabʻatu ahruf.

عن أبي بن كعب قال ((أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ عِنْدَ أَضَاةِ بَنِي غَفَّارٍ فَأَتَاهُ جِبْرِيْلُ عليه السلام فَقَالَ إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ القُرْآنَ عَلَى حَرْفٍ فَقَالَ أَسْأَلُ اللهَ مُعَافَاتِهِ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِيْ لَا تُطِيْقُ ذلِكَ ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَةُ فَقَالَ إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ القُرْآنَ عَلَى حَرْفَيْنِ فَقَالَ أَسْأَلُ اللهَ مُعَافَاتِهِ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِيْ لَا تُطِيْقُ ذلِكَ ثُمَّ جَاءَهُ الثَّالِثَةُ فَقَالَ إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ القُرْآنَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَحْرُفٍ فَقَالَ أَسْأَلُ اللهَ مُعَافَاتِهِ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِي َلا تُطِيْقُ ذلِكَ ثُمَّ جَاءَهُ الرَّابِعَةُ فَقَالَ إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ القُرْآنَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَأَيُّمَا حَرْفٍ قَرَأُوْا عَلَيْهِ فَقَدْ أَصَابُوا)) أخرجه مسلم بلفظه والترمذي وأبو داود والنسائي

Hadis yang berasal dari Ubay bin Kaʻb mempunyai banyak riwayat. Inti dari kesemua riwayat tersebut adalah perintah Nabi saw bagi Ubay untuk mengajarkan baca al-Quran menggunakan sabʻatu ahruf.

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله ﷺ قال: ((أُنْزِلَ القُرْآنُ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ, فَالمِرَاءُ فِي القُرْآنِ كُفْرٌ –ثَلَاثَ مَرَّاتٍ- فَمَا عَرَفْتُمْ مِنْهُ فَاعْمَلُوْا بِهِ, وَمَا جَهِلْتُمْ بِهِ فَرَدُّوْهُ إِلَى عَالِمِهِ))

Riwayat Abu Hurairah di atas senada dengan riwayat Amr bin Ash yang intinya menyatakan larangan untuk saling berbantah mengenai bacaan al-Quran. Sebab al-Quran diturunkan dengan sabʻatu ahruf.

عن حذيفة بن اليمان عن النبي ﷺ قال (( لَقِيْتُ جِبْرِيْلَ فِي أَحْجَارِ المِرَاءِ فَقُلْتُ يَا جِبْرِيْلُ إِنِّي أُرْسِلْتُ إِلَى أُمَّةٍ أُمِّيَّةٍ الرَّجُلِ وَالمَرْأَةِ وَالغُلَامِ وَالجَارِيَةِ وَالشَّيْخِ الفَانِي الَّذِي لَمْ يَقْرَأْ كِتَابًا قَطُّ)) قَالَ إِنَّ القُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ

Informasi yang berasal Hudzaifah bin al-Yaman merupakan ‘curhatan’ Nabi saw kepada Jibril tentang umatnya yang ummiyy (buta baca). Sehingga al-Quran diturunkan dengan sabʻatu ahruf.

Selanjutnya riwayat Abu Bakrah menceritakan pertemuan Rasulullah saw dengan Jibril dan Mikail dalam rangka ber-talaqqî al-Quran mulai membaca satu harf hingga berakhir pada sabʻatu ahruf.

Sementara riwayat Abdullah bin Mas’ud memberikan contoh sabʻatu ahruf dengan هلم – أقبل – تعال.

Jika ditilik dari ilmu takhrîj al-Hadîts, salah satu cara men-takhrîj adalah mengetahui perawi hadis dari kalangan sahabat. Riwayat yang menyatakan al-Qur’an diturunkan berdasar atas sabʻatu ahruf ini merupakan riwayat yang dinukil oleh sekitar 21 sahabat. Al-Suyuthi dalam Tadrîb al-Râwî-nya menyebutkan hingga 27 sahabat yang meriwayatkan. Bahkan dalam Syarh Alfiyyah al-Iraqi terhitung 30 sahabat. Sebut saja di antaranya Ubay bin Ka’b, Anas bin Malik, Hudzaifah bin al-Yaman, Zaid bin Arqam Samurah bin Jundub, Sulaiman bin Shurad, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Abdurrahman bin Auf, Ustman bin Affan, Umar bin al-Khaththab, Umar bin Abu Salamah, Amr bin al-Ash, Muadz bin Jabal, Hisyam bin Hakim, Abu Bakrah Nufai’ bin al-Harits, Abu Jahm, Abu Said al-Khudri, Abu Thalhah al-Anshari, Abu Hurairah, dan Ummu Ayyub binti Qais.

Dalam Musnad Abu Yaʻla diriwayatkan bahwa ketika kepemimpinan Utsman bin Affan, ia berdiri di atas mimbar bertanya siapa saja yang telah mendengar hadis unzil al-Qur’ân ʻalâ sabʻah ahruf. Para hadirin baik dari kalangan sahabat maupun tabiin semua berdiri hingga tidak bisa terhitung lagi berapa banyak orang yang telah mendengar hadis tersebut. Banyaknya jumlah sahabat dan tabiin yang hadir saat itu dan menyaksikan keberadaan hadis sabʻatu ahruf merupakan bukti tidak ditemukannya keraguan sedikitpun dalam hadis tersebut.

Sebuah hadis yang diterima oleh orang-orang yang tidak sedikit jumlahnya bisa digolongkan dalam riwayat mutawatir. Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (w. 224 H) dalam Fadhâil al-Quran menyatakan ke-mutawâtir-an hadis sabʻatu ahruf.

Mengenai kualitas hadis sabʻatu ahruf ini, bisa dipastikan kesahihannya. Ini bisa dilihat dalam berbagai kitab hadis mainstream, antara lain: Shahîh al-Bukhârî, kitab Shahîh Muslim, Sunan Abî Dâwud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasâ’i, Musnad Ahmad, Al-Mustadrak li al- Shahîhain, Shahîh Ibnu Hibbân, Al-Thabari,

Al-Thabrâni, Majma’ al-Zawaid, dll.

Sebagaimana dalam ilmu hadis, jika suatu riwayat mencapai tingkat ke-mutawâtir-an maka dapat dipastikan dan diyakini kebenaran informasi tersebut.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru