26.9 C
Jakarta

Memahami Ayat-ayat Pedang dalam Perspektif Tafsir Esoterik (1)

Artikel Trending

KhazanahOpiniMemahami Ayat-ayat Pedang dalam Perspektif Tafsir Esoterik (1)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sifat masyarakat Nusantara ( Indonesia-red) sejak dahulu kala kental dengan ciri yang bersifat plural (bhinneka). Dawam Rahardjo (dalam Masduqi, 2011) lebih jauh menegaskan bahwa ciri tersebut menyebabkan masyarakat Indonesia toleran dan hal ini pula merupakan ciri Islam Indonesia. Kemudian, Zuhairi Misrawi (2010) menemukan betapa uniknya Islam Indonesia yang toleran itu dengan ciri khas, yang menjadikan Islam Indonesia berbeda dengan Islam secara global.

Tidak sebatas itu, dalam tradisi Islam Nusantara tercermin nilai-nilai plural, toleran, moderat, dan memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Inilah ciri khas dan citra Islam Indonesia sesungguhnya. Namun, gambaran Islam yang semacam itu sedikit banyak telah tercabik-cabik oleh kelompok yang “putus asa” karena cita-citanya tak kunjung tercipta, yakni menjadikan sistem pemerintahan Indonesia berbentuk khilafah.

Kelompok pengusung khilafah,–yang berkembang di Indonesia–diantara cirinya adalah memiliki pemahaman keagamaan yang bercorak fundamentalis negatif. Fundamentalisme inilah yang kemudian menjadi gerakan radikal dan puncaknya menjadi teroris.

Dan parahnya lagi, terorisme saat ini bukan lagi ditujukan kepada kelompok agama-agama yang berbeda aqidah (non-Islam), melainkan juga ditujukan kepada kelompok Muslim itu sendiri.

Harus diakui dan disadari bahwa setiap agama di dunia ini memiliki kubu garis keras (ekstrimis). Namun, fenomena itu hanyalah sebagian kecil tetapi tetap berbahaya. Belakangan ini, citra Islam sebagai agama damai kembali tercoreng oleh kelompok-kelompok radikal. Secara “serampangan” mereka menafsirkan ayat-ayat pedang guna melegalkan perang.

Perlu diketahui bahwa di dalam Alquran terdapat 176 ayat yang dapat ditafsirkan sebagai pendorong toleransi, seperti peperangan. Namun, secara kuantitas, ayat yang mengajarkan toleransi jauh lebih banyak, yakni 300 ayat (dalam Zuhairi Misrawi, 2007).

Dalam kondisi yang demikian, bahkan ada juga ulama (ulama sekte tertentu) memaknai jihad sebagai mengerahkan seluruh kemampuan untuk berjuang di jalan Allah dengan jalan mengangkat senjata. Dalam konteks Indonesia, kelompok ini biasanya menukil sejarah Bung Tomo, dimana ia menggelorakan takbir dan kemudian ia reduksi untuk dilakukan dalam konteks kekinian. Tentu yang demikian ini tidak tepat. Sebab, konteks Bung Tomo kala itu adalah Indonesia dijajah dan diserang, maka Bung Tomo, sebagaimana diperintahkan oleh Alquran, wajib berjihad melawan penjajah. Namun, sekali lagi, dalam konteks Indonesia yang masih aman, jihad semacam ini (mengangkat pedang, dll) tidaklah tepat.

BACA JUGA  Manifesto Perbedaan Hari Raya Idulfitri, Masih Perlukah Penetapan?

Perspektif Tafsir Esoterik

Imam Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan bahwa Alquran merupakan kitab yang “bisu”, sehingga memerlukan seorang pembaca yang akan membuatnya berbicara (wa hadza Alquran innama huwa khatun masturun baina al-dafatain la yantiqu bi lisan, walabudda lahu min tarjuman, wa innama yantiqu ‘anhu al-rijal).

Hal diatas menjelaskan bahwa ketika Alquran dipahami secara demokratis dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, maka Alquran akan menjadi kitab yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme dan menjadi kitab yang mendamaikan serta ajaran Islam rahmatan lil ‘alamin benar-benar terwujud dan menjadikan dunia ini indah.

Sebaliknya, ketika Alquran dipahami dengan kacamata kuda dan diintepretasikan sesuai dengan misi kelompok bersangkutan (radikal), maka Alquran pun akan melahirkan nilai-nilai kebencian, permusuhan dan intoleransi lainnya. Maka, pemahaman yang komprehensif terkait ayat-ayat Alquran, terutama ayat pedang, dengan menggunakan perangkat yang tepat sesuai dengan kondisi atau spirit kekinian dan kedisinian menjadi sesuatu yang mutlak atau wajib dilakukan oleh siapapun, terutama tokoh atau ulama.

Nah, dalam posisi seperti inilah, penulis hendak menghadirkan sebuah uraian singkat terkait bagaimana memahami ayat-ayat suci Alquran, utamanya yang berkaitan dengan auat-ayat pedang seperti berkewajiban jihad dan perang dalam konteks ke-Indonesiaan. Harapannya, dapat menyadarkan kelompok yang ngotot dan menutup diri terhadap kebaikan bersama.

Terhadap kelompok ini, saya ingin memberikan tonjokan dengan menugutip pernyataan Nasarudin Umar (2014), bahwa pemahaman terhadap teks dengan pendekatan literal, tekstual, dan leterlek pada gilirannya dapat melahirkan tindakan destruktif dan anarkis. (Bersambung).

(NJ).

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru