Memaafkan Kekhilafah Hizbut Tahrir di Hari Yang Fitri
Oleh: Ainur Rofiq Al Amin*
“The best deed of a great man is to forgive and forget” (Imam Ali bin Abi Thalib).
Judul di atas bukan terinspirasi dari berita di media sosial tentang adanya keinginan rekonsiliasi antara tokoh masyarakat dengan pemerintah. Apalagi hingga saat tulisan ini dibuat, masih kabur ujung pangkalnya, belum jelas kasus kesalahan apa yang mau direkonsiliasikan.
Adapun ide memaafkan Hizbut Tahrir ini berangkat dari terdeteksi dan teridentifikasinya gagasan HTI yang keliru, sehingga perlu diluruskan dan akhirnya dimaafkan. Tentu dengan syarat ketika para aktifis HTI mau menyadari kekeliruannya.
Hizbut Tahrir yang kalau di Indonesia disebut HTI mempunyai gagasan-gagasan yang pada titik tertentu adalah menyalahi terhadap NKRI, Pancasila, dan UUD 45. Gagasan-gagasan tersebut antara lain.
Pertama, harakah atau gerakan politik ini mempunyai doktrin sistem politik yang disebut khilafah (tentu khilafah versi mereka). Khilafah ini disiapkan untuk mengganti sistem politik yang ada di dunia sekarang ini, termasuk NKRI. Karena bagi mereka, NKRI adalah sistem yang tidak sesuai dengan Islam. Republik adalah sistem yang jauh dari ajaran Islam. Jangankan republik, republik yang ada embel-embel Islam pun (Republik Islam) dianggap non Islami. Untuk itu, bagi mereka, republik harus diganti dengan khilafah. Republik Indonesia adalah sasaran penting untuk didirikan negara khilafah setelah Timur Tengah. Terlebih lagi adanya upaya gagal kudeta Hizbut Tahrir dengan berbagai faksi yang ada di Suriah untuk menjadikannya negara Khilafah, maka Indonesia adalah alternatif pilihan.
Kedua, partai politik yang juga ormas Islam ini mempunyai UUD Negara Khilafah yang menyalahi UUD 45. Terlebih lagi UUD negara khilafah tersebut disiapkan untuk mengganti konstitusi negara non-khilafah yang nantinya bisa direbut dan dikuasai oleh Hizbut Tahrir, termasuk disiapkan untuk mengganti UUD 45. Tentu hal itu melanggar hukum dan bisa dikatagorikan makar. Perlu diketahui, mengganti UUD 45 tidak bisa sembarang dikerjakan. Melakukan amandemen UUD 45 ada mekanismenya. Yakni dengan masuk sistem politik yang ada di Indonesia dengan menjadi anggota parlemen. Naifnya, anggota harakah ini tidak mau menjadi anggota parlemen. Bagi mereka, nampaknya cara mengganti konstitusi lebih ditempuh melalui jalur ekstra parlemen. Lebih dari itu, konstitusi HTI yang tertulis saat ini tidak mencantumkan Pancasila sebagai dasar negara.
Baca: Mempertimbangkan Konsep Negara Khilafah di Indonesia
Ketiga, bagi HTI, perubahan sistem politik dari non-khilafah menjadi khilafah adalah dengan cara revolusi atau inqilabi, bukan tadriji atau evolusi. Padahal, perubahan yang sifatnya revolusioner hampir dipastikan berujung pada kekerasan. Bisa dibayangkan apabila sasaran perubahan yang revolusif tersebut adalah Indonesia. Apakah Suriah bukan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia?
Keempat, partai politik ini menyerukan kepada para pengikut dan simpatisannya supaya mengkritik penguasa dan membongkar serta menguliti sistem politiknya dengan tajam. Karena para penguasa (termasuk Indonesia) telah menerapkan aturan kufur, maka wajib dicabut dan diganti dengan aturan Islam (tentu versi HTI).
Kelima, media HTI, Al-Wa’ie memandang para politisi partai politik yang ada sekarang ini lebih sebagai politisi semu, bukan politisi sejati. Salah satu ciri politisi sejati adalah memperjuangkan syariah dan khilafah. Kalau anda politisi tidak memperjuangkan hal tersebut di bumi Indonesia, maka anda adalah politisi semu. Hal ini tentu menafikan para politisi sekarang ini maupun pada masa lampau seperti KH. Wahab Chasbulloh, KH. Agus Salim, KH. Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, Ki Bagus Hadikusumo dan-lain lain.
Keenam, gerakan ini menganggap ormas atau jamiyyah yang ada saat ini tidak bermanfaat untuk kebangkitan umat. Walau jamiyyah tersebut membangun sekolah, madrasah, rumah sakit, menyebarkan buku dan lain lain. Justru jamiyyah tersebut berbahaya, dan bahayanya tersamar. Bagi HTI, Para penjajah memang meninabobokan jamiyyah agar seperti itu. Itulah pendapat HTI yang memandang sebelah mata atas aktifitas jamiyyah Islam. Padahal dalam bingkai NKRI dan Pancasila, ormas atau jamiyyah Islam diharapkan turut berkontribusi dalam pembangunan.
Poin poin di atas adalah kekeliruan yang perlu dipahami oleh HTI. Sehingga kalau HTI mau mengkoreksi hal tersebut, maka tiada salah dan sungguh mulia bila kita memaafkan kekhilafan gagasannya. Kata Imam Ali, perbuatan terbaik dari orang besar adalah dia yang mau memaafkan dan melupakan kesalahan. Apalagi saat ini adalah bulan syawal, yang dalam tradisi Islam Nusantara giat anjangsana ke tetangga, masyarakat, dan teman teman untuk menjalin silaturahmi dan meminta maaf. Demikian pula hendaknya kita pun juga akan tambah baik bila memaafkan kekeliruan HTI.
Akhirnya kepada anggota Hizbut Tahrir yang ada di Indonesia, mari kita isi NKRI dengan amal kebaikan. Gantilah pandangan dan pendapat tentang poin di atas. Akan tetapi kalau anda tetap tidak mau berubah, maka sudah tepat bila partai politik HTI dilarang oleh pemerintah agar pelarangan ini bisa menjadi bahan introspeksi bagi para aktifis HTI agar kembali ke pangkuan ibu pertiwi. []
*Mantan Hizbiyyin (Anggota Hizbut Tahrir Indonesia)