Harakatuna.com – Terhitung hampir tiga bulan, saya banyak mempelajari peta pemikiran dan perkembangan gerakan ideologi transnasional yang ada di Indonesia. Hingga pada akhirnya, saya mengenal Muhammad Shiddiq Al-Jawi, sosok yang menjadi panutan dan tentunya adalah salah satu dari sekian banyak inspirator aktivis khilafah yang sampai hari ini tetap bersikukuh untuk mendirikan khilafah. Kalau boleh dikatakan, Shiddiq adalah orang yang barangkali akan menghabiskan masa hidupnya hanya untuk menjalankan cita-cita pendirian negara khilafah yang tak jelas arahnya.
Sebagai Founder Institut Muamalah Indonesia, Shiddiq tidak akan pernah bosan untuk mendakwahkan gagasannya seputar pendirian khilafah. Bahkan tak segan-segan, ia berani “memoles” dalil ulama-ulama yang berbicara pentingnya pengangkatan seorang pemimpin menjadi sebuah dalil yang seakan menunjukkan khilafah adalah kewajiban mutlak yang tidak boleh ditinggalkan. Ini bisa dibuktikan dari website Fissilmi Kaffah yang ia dirikan sekaligus salurkan gagasan-gagasan hitamnya tentang khilafah.
Beberapa waktu lalu, karib saya, Ghufronullah, menulis artikel yang berusaha untuk membongkar kecacatan dalil dan argumen aktivis khilafah, terkhusus yang digunakan oleh sesepuh khilafah yakni Muhammad Shiddiq Al-Jawi. Karena itu, tulisan ini berusaha untuk mengelaborasi dan mengeksplorasi lebih mendalam tentang kesalahan Shiddiq dengan berdasarkan sumber primer melalui karyanya atau slide PPT berjudul “Benarkah Upaya Menegakkan Khilafah Bertentangan Dengan Maqashid Syariah?”.
Setidaknya ada dua argumen Shiddiq yang akan menjadi fokus tulisan ini: pertama, “kemudharatan yang timbul akibat upaya penegakan kembali khilafah oleh kelompok ISIS tidak dapat digeneralisasi untuk semua gerakan Islam yang memperjuangan khilafah.” Kedua, “jika munculnya kemudharatan dapat dijadikan alasan penolakan suatu konsep, mestinya yang lebih layak ditolak adalah peradaban Barat bukan khilafah.”
Argumen Shiddiq Al-Jawi
Dalam argumen yang pertama, Shiddiq menulis:
“Memang benar bahwa dalam usahanya menegakan kembali Khilafah, ISIS banyak menimbulkan mafsadat di muka bumi, di antaranya banyak korban tewas. Tetapi, apakah semua harakah Islam yang memperjuangkan Khilafah otomatis juga menimbulkan korban jiwa dalam langkah perjuangannya seperti ISIS? Jawabannya, tidak. Terdapat 3 varian harakah Islam pro Khilafah ditinjau dari segi jalan: pertama, Khilafah dengan jalan kekerasan yang diyakini sebagai “jihad fi sabilillah” seperti ISIS, DI/TII/NII, dsb. Kedua, harakah Islam dengan jalan demokrasi seperti Al-Ikhwanul Muslimin, FIS, Masyumi, dll. Ketiga, harakah Islam tidak dengan jalan kekerasan, tidak juga dengan jalan demokrasi tetapi dengan jalan dakwah Islam.”
“Sesungguhnya generalisasi bahwa semua harakah Islam yang berjuang menegakkan Khilafah pasti menimbulkan pembunuhan, kerusakan, kekacauan, dsb. hakikatnya adalah suatu kebohongan sekaligus fitnah yang teramat keji kepada sesama muslim. Generaslisasi itu hakikatnya hanyalah bertaqlid buta kepada intelijen kafir atau lembaga think tank kafir yang menuduh sebagian harakah Islam non kekerasan sebagai conveyor belt to terrorism (ban berjalan yang akan mengantarkan kepada aksi terorisme).”
Selain itu dalam argumen yang kedua (seputar kemudharatan peradaban Barat), Shiddiq menulis:
“Melanjutkan kritikan sebelumnya, kami katakan bahwa jika munculnya kemudharatan (seperti pembunuhan atau korban jiwa) dapat dijadikan alasan menolak suatu konsep, mestinya yang lebih pantas ditolak adalah peradaban Barat, bukan Khilafah. Jadi, memang benar, ISIS telah menimbulkan korban jiwa dalam perjuangannya mengembalikan Khilafah.”
“Wahai orang-orang yang menolak Khilafah, jika kalian menolak Khilafah gara-gara ISIS membunuh 2 orang per hari, mengapa kalian tidak menolak Peradaban Barat di bawah Amerika Serikat yang membunuh 163 orang per hari? Mengapa kalian justru tergila-gila dan gandrung kepada Peradaban Barat yang sebenarnya sangat kejam dan biadab itu, dengan mendukung PBB dan merujuk Piagam PBB? Di manakah akal sehat kalian? Di manakah hati nurani kalian?”
Argumen Shiddiq di atas sebetulnya merupakan pemahaman dari apa yang dikatakan imamnya sendiri dalam pendirian Khilafah, yakni Taqiyyuddin al-Nabhani (pendiri gerakan Hizbut Tahrir). Dalam kitabnya yang berjudul Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, Taqiyyuddin berkata:
والقعود عن إقامة خليفة للمسلمين معصية من أكبر المعاصي لأنها قعود عن القيام بفرض من أهم فروض الإسلام بل يتوقف عليه وجود الإسلام في معترق الحياة
“Berpangku tangan dari usaha mendirikan seorang khalifah bagi kaum Muslimin adalah termasuk perbuatan dosa yang paling besar, karena hal tersebut berarti berpangku tangan dari melaksanakan di antara kewajiban Islam yang paling penting, dan bahkan wujudnya Islam dalam kancah kehidupan tergantung pada adanya khalifah.”
Apa Pun Gerakannya, Konsep Khilafah Salah di Indonesia
Menjawab argumen pertama Shiddiq di atas yang perlu dipahami bukanlah hanya pada soal teknis, tetapi juga pada hal inti yang diperjuangkan. Artinya, yang salah dari khilafah bukan hanya soal harakahnya, perangnya, tetapi juga konsep dan tempat lokasi di mana khilafah itu sendiri diusung. Konsep khilafah yang diusung aktivis khilafah pada kenyataannya tidak sesuai dengan pemahaman khilafah yang sebenarnya dalam Islam.
Khilafah memang menjadi bagian Islam, tegaknya khilafah Islamiyah sebagai simbol pemersatu umat Islam dan lambang kejayaan kaum Muslimin pada masa silam, memang diwajibkan dalam agama, namun dengan syarat apabila mampu mewujudkannya. Dalam kitab Ghiyatsul Umam wa Iltiyatsu al-Dhullam, Abu al-Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah al-Juwaini yang dikenal dengan gelar Imam al-Haramain berkata:
فنصب الإمام عند الإمكان واجب
“Mengangkat seorang imam adalah wajib ketika mampu melakukan.”
Inilah letak kesalahan aktivis khilafah, termasuk Shiddiq Al-Jawi sebagai sesepuh aktivis khilafah di Indonesia. Meskipun Islam mewajibkan adanya khilafah, namun bukan berarti hal itu sebagai sistem pemerintahan tertentu. Bagaimana pun itu, memahami khilafah sebagai suatu sistem pemerintahan dengan undang-undang hukum syariat Islam adalah fatal, sebab khilafah lebih umum daripada itu. Khilafah bukanlah suatu sistem pemerintahan, melainkan konsep kepemimpinan saja.
Selain itu, meskipun cara atau harakah Islam dalam mewujudkan khilafah tidak dengan kekerasan, namun juga perlu diingat bahwa perjuangan ini sangat berpotensi menimbulkan konflik yang juga berujung pada kekerasan dan perang. Indonesia dengan sejarah berdiri dan kemajemukannya, tentu saja tidak boleh untuk dilupakan, alih-alih dinafikan. Betapa banyak orang dengan latar belakang berbeda yang akan menolak jika sistem khilafah diterapkan di Indonesia.
Betapa akan banyak mafsadah yang akan ditimbulkan? Menghegemoni mereka yang menolak justru mencerminkan pelanggaran dalam syariat Islam itu sendiri, yaitu merampas hak mereka untuk berpendapat dan menentukan arah negara ini. Ini justru akan memperburuk citra Islam dengan egoismenya. Atas dasar itu, bagaimana pun model gerakannya, jika yang diperjuangkan adalah khilafah maka konflik dan kekerasan akan terjadi, baik secara langsung maupun tidak.Bersambung