29.7 C
Jakarta

Meluruskan Miskonsepsi Nalar Taghyir Pejuang Khilafah

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMeluruskan Miskonsepsi Nalar Taghyir Pejuang Khilafah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Upaya dan tindakan pengkhianatan terhadap negara (makar) menurut teman-teman khilafahers adalah syariat yang merupakan manifestasi dari semangat “jihad fi sabilillah”.

Misalnya mereka mengkontekstualisasikan dirinya sebagaimana hadits nabi, “akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api (HR. Tirmidzi No. 2260)”.

Artinya, mereka acapkali menganggap bahwa sesempit dan sesakit apa pun upayanya dalam mewujudkan khilafah merupakan bagian dari  jihad atas nama agama.

Demikian barangkali, nalar islamis yang melandasi konstruksi berpikir dan berlaku mereka hingga masih mencoba eksis hingga saat ini. Meski polanya masih sama dan mudah terbaca, seperti merasa ‘terdzolimi’ atau dikriminalisasi, eksistensi khilafahers ini perlu diperhatikan.

Sebab acapkali narasi-narasi yang dibangun khilafahers cenderung mengarah pada provokasi, polarisasi, hingga mobilisasi masyarakat untuk menaruh kebencian kepada pemerintah.

Berdasarkan pengamatan penulis, paradigma khilafahers tersebut terbangun karena mereka memahami bahwa upaya perbaikan (transformasi) harus dimulai dari konteks asas fundamental suatu hal, bisa jadi melalui metode perbaikan secara parsial (ishlah) atau  secara total (taghyir).

Khilafahers menganggap negara Indonesia memiliki asas ideologi yang tidak berlandaskan Islam—Al-Qur`an dan Sunah. Sebab itu, transformasi yang perlu diupayakan untuk memperbaiki segala permasalahan yang terjadi adalah dengan perbaikan dengan taghyir atau reformasi total.

Taghyir dan Alibi Syariat Islam

Mengutip ungkapan Redaksi Harakatuna, kompas narasi khilafah saat ini (2023) tidak bertolak pada upaya menyuguhkan dalil-dalil normatif urgensi negara Islam. Menurutnya, kini narasi khilafah lebih menjadi isu ‘solutif’ terhadap situasi politik nasional.

NKRI dengan segala persoalannya menjadi bahan untuk melancarkan propaganda dan memprovokasi masyarakat bahwa negara ini dan sistem pemerintahannya tidak ideal. Lagi-lagi, #khilafahadalahsolusi adalah tujuan utamanya.

Demikian karena menurut mereka titik kunci dari perbaikan bangsa adalah dengan metode taghyir, yakni mengganti asas utama negara dengan khilafah islamiyyah sampai pada segala peraturan dan kaidah serta cabang-cabangnya.

Artinya, metode ishlah atau yang mereka pahami sebagai perbaikan pada aspek-aspek tertentu yang bermasalah (parsial) saja tidak dibenarkan, sebab perlakuan ini sama saja dengan pengakuan terhadap sistem thaghut tersebut.

Maka dari itu, jika mereka dilontarkan pertanyaan, “Kenapa fokus khilafahers adalah sistem tertinggi dari sebuah institusi kenegaraan? Kenapa titik tolaknya lebih fokus pada persoalan politis bangsa daripada problematika keislaman secara khusus?”

BACA JUGA  Kontra-Radikalisme: Narasi Keislaman Mengatasi Ekstremisme

Maka jawaban mereka akan sesederhana, “sebab negara ini sudah cacat mulai dari asas fundamentalnya, produk sekuler dan liberal hasil pemikiran orang-orang kafir”. Sementara ketika mereka ditanya, “Apakah khilafah menjamin kejayaan Islam dan bangsa Indonesia?” Jawabannya tidak. Ia hanyalah romantisme histori kekhalifahan zaman lampau.

Berdasarkan paradigma tersebut, kaum khilafahers dan para demagog lainnya akan menutup mata dari apa pun pemikiran atau ijtihad ilmiah yang menyatakan bahwa Pancasila, UUD 45, demokrasi, dan lainnya juga menaruh nilai luhur Islam.

Alih-alih mewujudkan penegakan syariat Islam secara kaffah—yang selalu menjadi semboyan, mereka justru cenderung hanya menjadikan syariat Islam sebagai alibi.

Konteks Taghyir di Indonesia

Hingga kini, berbagai reportase dan penelitian menyatakan bahwa sistem NKRI dan misi Pancasila sebagai asas kebhinekaan bangsa masih sangat relevan dengan kondisi Indonesia.

Opini tajdid dan taghyir sebuah bangsa menuju daulah islamiah bersistem khilafah tertolak karena sudah atau belum memiliki relevansi sistemik dengan perkembangan zaman, bahkan bukan hanya di Indonesia tapi juga di beberapa negara lainnya.

Namun andaikata suatu saat bangsa ini perlu melakukan reformasi lagi maka upaya taghyir yang dilakukan adalah dengan tidak merubah substansi awalnya atau yang oleh Al-Ashfahani disebut al-Taghyir al-Shurah al-Sya`i duna Dzatihi. Indonesia masih dengan konsensus dan ijtihad ilmiahnya, Pancasila, pun sistem NKRI.

Metode ini adalah upaya taghyir al-ijabi (transformatif-positif), bukan taghyir al-salbi (transformatif-negatif). Demikian karena Pancasila telah membuktikan eksistensinya bertahun-tahun dalam menjaga kebhinekaan bangsa Indonesia.

Sekali lagi, hal yang perlu dipahami oleh teman-teman khilafahers adalah bahwa #khilafahadalahsolusi bukan satu-satunya solusi. Apalagi mereka juga acapkali mengatakan bahwa yang menjadi acuan adalah penerapannya bukan hanya perkataan (pengakuan).

Jika demikian, mengapa kita tidak berfokus saja pada penerapan dan pengamalan syariat Islam di tubuh masyarakat? Mari sama-sama membangun bangsa ini, bangsa besar ini.

Kritik tetaplah kritik, tapi sudahilah semua provokasi dan kebencian. Artinya, dakwah Islam dalam konteks Indonesia adalah dakwah bi al-ihsan, bi al-‘urf, dan bi al-ishlah, sehingga semuanya relatif relevan dengan kondisi bangsa Indonesia. Wallahu a’lam.

Ayi Yusri Ahmad Tirmidzi
Ayi Yusri Ahmad Tirmidzi
Mahasiswa Magister PAI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pemuda Berprestasi Kab. Kuningan 2020 & 2021.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru