31.4 C
Jakarta

Meluruskan Kembali Makna Moderasi yang Disalahpahami

Artikel Trending

KhazanahOpiniMeluruskan Kembali Makna Moderasi yang Disalahpahami
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sejauh ini promosi konsep moderasi atau Islam Wasathiyah selalu dilakukan ke beberapa kalangan dan instansi yang ada. Hal ini dilakukan untuk menangkal berbagai paham radikalisme yang selalu saja menyelinap, sekaligus sebagai upaya deradikalisasi dari radiasi kelompok-kelompok transnasional, sebut saja ISIS dan kawan-kawannya. Mengingat tindakan-tindakan anarkis yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tersebut seringkali bersifat fatal.

Nah, sehingga promosi moderasi beragama menjadi pilihan yang dianggap tepat untuk menghadapi realitas demikian. Sosialisasi yang dilakukan pun beragam, ada yang dilakukan langsung secara tatap muka ke sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, melalui promosi media, dan lain-lain. Menyesuaikan dengan indoktrinasi keompok-kelompok radikal yang rajin melebarkan sayap ke berbagai lembaga juga, termasuk pesantren.

Namun, sampai saat ini, moderasi yang ditawarkan dan disosialisasikan sepertinya masih membahas isu-isu yang begitu-begitu saja. Konsep moderasi yang maknanya luas seolah dipersempit. Moderasi yang digalakkan akhir-akhir ini tak lebih menyangkut moderasi untuk menangkal radikalisme agama, terorisme, dan lainnya. Padahal, lebih dari itu ada isu yang tak kalah krusial untuk juga turut dimasukkan dalam term moderasi tersebut.

Sebagaimana pembahasan mengenai nasionalisme, moderasi beragama—saat ini—juga ikut digunakan oleh segelintir kelompok dengan kepentingannya untuk melancarkan aksinya. Pembahasan mengenai moderasi sengaja dipersempit untuk tujuan-tujuan politis. Naifnya, masyarakat juga terjebak dalam konsep sempit tersebut dan akhirnya gagal memaknai penuh arti moderasi itu sendiri.

Islam Wasathiyah sendiri diartikan sebagai pandangan untuk mengambil jalan tengah-tengah dari dua sikap yang kontradiktif (kanan dan kiri). Wasathiyah atau moderat hadir sebagai solusi untuk menyikapi dua sisi tersebut. Tidak selalu bermakna di tengah, wasathiyah atau moderat terkadang cenderung kanan, kadang juga cenderung kiri, tidak yang pas 50-50. Islam Washatiyah hadir untuk mencari jalan damai, adil, dan tentunya solutif.

Dalam konsep moderat, sebagaimana dipraktekkan Gus Dur tidak melulu tentang agama. Ada kalanya wasathiyah atau moderat yang dimaksud adalah dalam aspek lain; misal politik, ekonomi, dan lainnya. Gus Dur tidak hanya berlaku moderat ketika dihadapkan dengan persoalan agama, namun dia juga akan menggunakan sikap tersebut ketika dihadapkan dengan persoalan ekonomi, seperti contoh kasus Freeport dan keberpihakan Gus Dur kepada rakyat Papua saat itu yang berujung dilengserkannya dia dari jabatannya (salah satunya).

Konflik Gus Dur dengan Freeport karena pembelaannya terhadap nasib rakyat Papua adalah bukti bahwa dalam diri Gus Dur Islam Wasathiyah itu dimaknai secara utuh. Tidak hanya dalam konsep agama (misal ketika membela kaum agama minoritas), Gus Dur juga membela segelintir minoritas yang tidak diberi keadilan dalam aspek ekonomi, dalam kasus Freeport ini contohnya.

BACA JUGA  Memahami Toleransi Beragama dalam Kerangka Filsafat Politik Abad Pertengahan

Namun apa yang terjadi sekarang, Islam Wasathiyah rupanya tidak diperkenalkan secara utuh oleh para promotornya sendiri. Pemerintah selalu mengajak untuk hidup dalam moderasi beragama, namun dalam aspek lain yang tak kalah penting justru diacuhkan. A. Dardiri Zubairi, aktifis lingkungan Sumenep juga mengeluhkan tentang itu, beberapa perampasan tanah di wilayah pesisir Sumenep adalah indikasi dari kurangnya pemakanaan terhadap moderasi tersebut.

Beberapa kebijakan dan konstitusi yang ditetapkan, sejak UU Minerba, UU Ciptaker, hingga yang paling anyar UU KUHP adalah segelintir Undang-undang yang sama sekali tidak menjunjung Islam Wasathiyah. Undang-undang tersebut—dalam aspek ekonomi—sangat kontras cenderung kapitalistik dan liberal. Bisa dilihat sendiri bagaimana investor dan kaum pemodal diberi karpet merah. Sedangkan kaum bawah, nasibnya semakin naif.

Sebagai contoh, di Sumenep sendiri, realitas perebutan tanah antara investor dengan warga masih marak terjadi. namun dengan segala kekuatan yang dimiliki (dengan dukungan pemerintah salah satunya) investor dengan mudah merebut dan membuat warga-warga melepas tanahnya. Bahkan beberapa tanah milik warga—sebagaimana ditulis dalam buku ‘Rebutan Lahan di Pesisir Pantai Sumenep’—direbut secara paksa untuk keperluan investasi.

Tentu sistem ekonomi demikian bisa dikatakan sebagai konsep ekonomi sekuler, yang pada praksisnya sangat bertentangan dengan konsep tawassuth atau moderat yang ada dalam agama. Tak ayal, dalam konsep sekuler, antara ekonomi dengan agama memang sengaja dilepas atau dalam kata lain, tidak ada hubungannya.

Dalam sistem ekonomi tersebut—sebagaimana dijelaskan M. Zikwan dalam jurnalnya bertajuk Wasathiyah al-Iqtisadiyah—hanya bertumpu pada kepentingan materialistik, dan mengenyampingkan nilai-nilai lainnya, termasuk sosial dan agama. Dalam paham sekuler ini yang menjadi pelopornya adalah paham kapitalis dan sosialis.

Sekali lagi, konsep Islam Washatiyah memiliki makna yang sangat luas dan selalu menentukan jalan tengah sebagai solusi dari dua sisi yang bertentangan. Tak hanya dalam hal keagamaan, dalam aspek sosial, ekonomi, bahkan politik juga perlu dilakukan. Sementara, saat ini, konsep dan makna moderasi tersebut kian sempit, hanya berputar-putar dalam pembahasan radikalisme dan liberalisme agama.

Gus Dur sebagai tokoh pluralisme sejatinya telah memberikan gagasan Islam Wasathiyah yang utuh melalui sikapnya, baik selama menjabat menjadi presiden atau dalam kedudukannya sebagai ulama. Wallahu a’lam.

Aqil Husein Almanuri
Aqil Husein Almanuri
Penulis lepas tentang keislaman dan keindonesiaan.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru