31.7 C
Jakarta

Meluruskan Islah Bahrawi: Pembunuh Utsman bin Affan adalah Putra Abu Bakar? (3/3)

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMeluruskan Islah Bahrawi: Pembunuh Utsman bin Affan adalah Putra Abu Bakar? (3/3)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kematian Utsman dan Posisi Muhammad bin Abu Bakar

Sebenarnya inilah bagian paling penting untuk membantah pernyataan Islah Bahrawi sebagaimana sudah dikutip di bagian awal tulisan ini. Namun karena pembahasan ini menyangkut persoalan sejarah yang hanya bisa dipahami dengan utuh berdasarkan rentetan peristiwa secara kronologis, maka peristiwa terkait yang menjadi satu kesatuan harus juga dipaparkan, meski tak mungkin secara detail karena keterbatasan ruang.

Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, bahwa ada banyak daftar tuntutan dari pemberontak kepada Utsman. Salah satunya soal tuntutan pergantian gubernur Mesir, Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah kepada Muhammad bin Abu Bakar. Di sinilah awal mula nama Muhammad bin Abu Bakar terseret ke dalam pusara ketegangan politik di tengah situasi yang sudah tidak lagi kondusif dan sarat intrik.

Al-Suyuthi menyebutkan bahwa para pemberontak dari Mesir tidak suka pada kebijakan gubernur mereka. Oleh karena itu, mereka meminta Utsman untuk segera mencopotnya. Baru setelah Thalhah bin Ubaidillah, Aisyah dan Ali bin Abi Thalib mendesak Utsman agar sebaiknya memenuhi tuntutan mereka, akhirnya Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah dicopot dari jabatannya.

Utsman langsung meminta para pemberontak menyebut sosok yang pantas untuk diangkat sebagai gubernur baru. Mereka serentak menunjuk Muhammad bin Abu Bakar. Utsman memenuhi aspirasi mereka, lalu menerbitkan SK dan dilantiklah Muhammad bin Abu Bakar saat itu juga sebagai gubernur baru Mesir. Para pemberontak itu lalu pulang bersama Muhammad bin Abu Bakar hendak menuju Mesir.

Namun di tengah perjalanan tak jauh dari Madinah, mereka berjumpa dengan seorang lelaki hitam menunggangi unta yang mencurigakan. Setelah diintrogasi, ia menjawab bahwa dia diutus oleh khalifah Utsman (kadang ia tak sengaja menyebut dirinya diutus oleh Marwan) untuk menyampaikan pesan kepada gubernur Mesir, Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah.

Mereka semakin curiga karena gubernur Mesir baru diangkat dan sedang berada di tengah-tengah mereka. Akhirnya lelaki hitam itu diperiksa dan ditemukan sepucuk surat berisi pesan untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar dan orang-orang yang bersamanya. Ini keterangan yang ditulis oleh al-Suyuthi, berbeda dengan cerita sebelumnya yang ditulis oleh al-Thabari.

Akhirnya Muhammad bin Abu Bakar bersama orang-orangnya kembali lagi ke Madinah dan mengadukannya kepada para sahabat senior. Ali langsung meminta klarifikasi kepada Utsman perihal surat yang berstempel khalifah itu. Utsman menjawab dengan tegas dan bersumpah bahwa ia tidak memerintah dan tidak tahu surat itu. Tulisan dalam surat tersebut sangat identik dengan tulisan Marwan. Mereka menuntut Utsman menyerahkan Marwan dengan penuh amarah.

Berhari-hari mereka terus mengepung kediaman Utsman, bahkan tanpa diberi pasokan air minum dan makanan. Tapi Utsman tetap enggan menyerahkan Marwan karena khawatir dibunuh oleh orang-orang yang sudah terbakar amarah. Bahkan muncul teriakan para pemberontak yang sudah kalap, “Sebelum menyerahkan Marwan, Utsman tak akan bisa selamat!”. Memang sejumlah riwayat berbeda-beda, terutama yang menyangkut peristiwa detail pada saat detik-detik para pemberontak hendak menerobos kediaman Utsman.

Muhammad bin Abu Bakar bersama dua orang lainnya berhasil merangsek ke dalam kediaman Utsman. Lalu ia menarik jenggot Utsman. Utsman berkata, “Andai ayahmu melihat ini, dia pasti akan sangat marah padamu”. Seketika tangannya bergetar lalu ia mundur dan keluar. Jadi kalau dalam Tarikh al-Suyuthi, pembunuh Utsman bukan Muhammad bin Abu Bakar, melainkan dua orang rekannya yang tak disebutkan namanya.

Sementara dalam Tarikh al-Thabari disebutkan bahwa setelah Muhammad bin Abu Bakar keluar dari kediaman Utsman, masuklah Sudan bin Humran al-Sukuni, Qutairah bin Fulan al-Sukuni dan al-Ghafiqi bin Harb al-Akki. Yang pertama mendaratkan pukulan pada Utsman adalah al-Ghafiqi. Ia memukulnya dengan besi hingga darah mengucur dari kepala Utsman.

BACA JUGA  Kontra-Radikalisme dan Disinformasi di Tengah Hiruk Pikuk Pemilu 2024

Belum puas dengan tindakannya, al-Ghafiqi menendang mushaf di tangan Utsman. Giliran Qutarah dan Sudan hendak menebas kepala Utsman, tapi sang istri, Nailah binti al-Farafishah mencoba melindungi khalifah hingga jemarinya terkena tebasan. Lalu dengan brutal mereka menghabisi nyawa sang khalifah dengan cara yang sangat tragis. Versi yang berbeda juga disebutkan oleh Ibnu ‘Asakir yang menyatakan bahwa pembunuh Utsman adalah orang Mesir berambut pirang bernama Hammar.

Sampai di sini bisa terbaca dengan jelas bagaimana posisi Muhammad bin Abu Bakar dalam tragedi pembunuhan Utsman. Ia memang sempat tersulut amarah dan sangat emosi, namun kelembutan Utsman mampu melunakkan hatinya sehingga ia hengkang dan tak terlibat dalam pembunuhan. Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah bahkan ikut membersihkan tuduhan buruk atas Muhammad bin Abu Bakar dengan mengatakan bahwa riwayat yang sahih bukan dia pelaku pembunuhan Utsman:

ويروى أن محمد بن أبي بكر طعنه بمشاقص في أذنه حتى دخلت في حلقه. والصحيح أن الذي فعل ذلك غيره، وأنه استحى ورجع حين قال له عثمان: لقد أخذت بلحية كان أبوك يكرمها. فتذمم من ذلك وغطى وجهه ورجع.

Diriwayatkan bahwa Muhammad bin Abu Bakar menikam telinga Utsman dengan belati hingga tembus ke bagian tenggorokannya. Ibnu Katsir mengomentari riwayat ini dengan mengatakan: (Riwayat) yang sahih menyebutkan pembunuh Utsman adalah orang lain, (bukan Muhammad bin Abu Bakar). Ia merasa malu lantas beranjak pergi saat Utsman berkata: kau menarik jenggotku ini yang ayahmu menghormatinya. Ia tertunduk malu sambil menutup wajahnya dan pergi.

Lantas dari mana dasar argumentasi Islah Bahrawi yang mengatakan bahwa pembunuh Utsman adalah Muhammad bin Abu Bakar? Bukankah ia seringkali mengutip sumber-sumber klasik dari Ibnu Katsir, al-Thabari, al-Suyuthi, al-Dinawari dll. setiap kali membahas persoalan radikalisme dan politik identitas?

Saya menduga Islah Bahrawi mencoba memahami peristiwa terseretnya Muhammad bin Abu Bakar dalam intrik pemberontakan di atas dari perspektif yang sangat politis. Artinya, Muhammad bin Abu Bakar dilihat sebagai orang yang sakit hati karena merasa gagal menjadi gubernur Mesir (meski di era Ali nanti ia diangkat menjadi gubernur Mesir). Sehingga tak heran jika ia sangat marah dan nyaris membunuh sahabat ayahnya sendiri.

Apakah model pembacaan semacam itu salah? Tentu saja tidak. Karena bagaimanapun, para sahabat juga penting dilihat dan dibaca sebagai manusia-manusia politik. Sebab mereka berjuang, berinteraksi dan saling berdialektika antar satu sama lain secara sangat terbuka justru saat di panggung politik. Dengan demikian kita akan menyadari sahabat Nabi tetaplah manusia biasa.

Hanya saja, Islah Bahrawi sudah terlalu offside melampaui sumber-sumber yang ia kutip sendiri. Bisa jadi Islah Bahrawi hanya membaca riwayat sepotong-sepotong, tanpa melihat bagaimana komentar para penulis sejarah atas riwayat yang dimaksud. Seperti halnya Ibnu Katsir, ia memang mengutip riwayat yang menyebut putra Abu Bakar pembunuh Utsman, namun ia membantah kebenaran riwayat tersebut.

Apakah yang saya lakukan ini semacam pembelaan kepada sosok Muhammad bin Abu Bakar yang merupakan putra dari sahabat terbaik Nabi? Tidak juga. Karena kalau mau mengambil pendapat Ibnu Taimiyah dalam Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah, Muhammad bin Abu Bakar bukan termasuk sahabat, bukan termasuk generasi awal (Islam) dan tak punya keutamaan. Hal ini diungkapkan saat ia mengkritik Syi’ah Rafidhah yang mendiskreditkan Abu Bakar namun justru menjunjung tinggi putranya, Muhammad bin Abu Bakar hanya karena ia merupakan salah satu loyalis Ali dalam pemerintahannya.

Wallahua’lam.

Sumber bacaan:
  1. Tarikh al-Rusul wa al-Muluk karya al-Thabari
  2. Tarikh al-Khulafa’ karya al-Suyuthi
  3. Al-Bidayah wa al-Nihayah karya Ibnu Katsir
  4. Tarikh Dimasyq karya Ibnu ‘Asakir
  5. Al-Kamil fi al-Tarikh karya Ibnu al-Atsir
  6. Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah karya Ibnu Taimiyah
  7. Siyar A’lam al-Nubala’ karya al-Dzahabi
Musyfiqur Rahman
Musyfiqur Rahman
Mahasiswa Pascasarjana Kosentrasi Kajian Timur Tengah, UIN Sunan Kalijaga. Redaktur sastraarab.com

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru