27.6 C
Jakarta

Meluruskan Islah Bahrawi: Pembunuh Utsman bin Affan adalah Putra Abu Bakar? (2/3)

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMeluruskan Islah Bahrawi: Pembunuh Utsman bin Affan adalah Putra Abu Bakar? (2/3)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Respons Istana

Api kebencian yang disulut oleh Abdullah bin Saba’ dengan cepat menyebar dan terus meluas di kalangan penduduk Mesir dan beberapa kawasan lainnya. Akhirnya narasi-narasi penuh fitnah itu sampai juga ke Madinah. Setelah meminta saran dari sejumlah sahabat, khalifah Utsman mengambil tindakan preventif agar isu yang berkembang tidak semakin liar.

Diutuslah empat orang kepercayaan khalifah untuk meredam kekacauan akibat fitnah dan narasi kebencian yang sudah meluas di Mesir dan sejumlah daerah lainnya. Keempat orang tersebut adalah Muhammad bin Maslamah diutus ke Kufah, Usamah bin Zaid diutus ke Basrah, Ammar bin Yasir diutus ke Mesir dan Abdullah bin Umar diutus ke Syam.

Dari keempat utusan khalifah Utsman, hanya Ammar bin Yasir yang tidak kembali ke Madinah. Sebagian kalangan mengira Ammar ditangkap atau dibunuh oleh penduduk Mesir. Namun hal mengejutkan justru datang dari gubernur Mesir, Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah yang mengabarkan dalam suratnya kepada khalifah Utsman bahwa Ammar sudah terpengaruh oleh provokasi penduduk Mesir, terutama para pentolan utamanya, Abdullah bin al-Sauda’, Khalid bin Muljam, Sudan bin Humran dan Kinanah bin Bisyr.

Dalam surat Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah yang dilansir Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq-nya, dijelaskan bahwa para pentolan itu berusaha meyakinkan Ammar untuk sepaham dengan mereka soal kebangkitan Nabi Muhammad dan upaya pemakzulan Utsman dari jabatannya. Mereka bahkan membohongi Ammar dengan mengatakan penduduk Madinah sudah setuju dengan rencana-rencana mereka itu, untuk menegaskan seolah kepemimpinan Utsman sudah diujung tanduk dan juga sebagai klaim legitimasi politik dari publik yang seolah mulai simpatik.

Sebagai gubernur yang bertanggungjawab penuh atas stabilitas Mesir, Abdullah bin Sa’ad meminta izin kepada khalifah Utsman untuk membunuh Ammar bin Yasir beserta para pentolan provokator yang menciptakan instabilitas. Tetapi Utsman yang berhati lembut itu menolak permohonan Abdullah bin Sa’ad. Ia tak sampai hati melakukan pembunuhan pada orang-orang itu, terutama Ammar.

Dalam surat balasannya kepada Abdullah bin Sa’ad, Utsman mengatakan dengan tegas bahwa ia tak akan membunuh mereka. Biarlah Allah yang membalas atas semua perbuatan mereka. Utsman juga memperingati gubernur Mesirnya agar ia tak mengambil tindakan apapun selama mereka tak mencabut baiat atas dirinya sebagai khalifah. Meski sudah dicaci maki dan difitnah secara keji, khalifah Utsman enggan melakukan pembalasan.

Adapun tindakan Utsman selanjutnya pada Ammar bin Yasir adalah dengan menyuratinya dan mengingatkan agar ia jangan sampai keluar dari baiat padanya. Di Mesir, sejumlah masyarakat loyalis khalifah merasa marah kepada Ammar karena tindakannya yang kurang elok pada khalifah Utsman.

Mereka bermaksud membunuh Ammar, namun Abdullah bin Sa’ad berhasil mengamankannya dan memulangkannya ke Madinah atas perintah khalifah. Sesampai di Madinah, Ammar meminta maaf kepada khalifah. Dikabarkan Ammar begitu sangat menyesali tindakannya sampai-sampai ia menundukkan kepala karena malu setiap berjumpa dengan orang-orang di sekitarnya.

Memang dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa hubungan Utsman dan Ammar pernah mengalami “panas-dingin”. Tetapi hubungan “panas-dingin” itu terjadi sebatas dalam persoalan-persoalan politik yang tentunya sangat kompleks dan penuh intrik. Ammar memang terbilang sahabat yang berani melakukan kritik secara terbuka kepada khalifah Utsman. Namun keduanya sama-sama saling mengakui keutamaan satu sama lain. Perihal hubungan “panas-dingin” antara dua sahabat mulia ini, pernah disinggung oleh Aisyah sebagaimana dikutip oleh al-Dzahabi dalam A’lam al-Nubala’:

رواه عبد الله بن حبيب بن أبي ثابت، عن أبيه، قال: قالت عائشة: وقد كان عمار ينكر على عثمان أمورا، لو كف عنها لأحسن فرضي الله عنهما.

Aisyah berkata: Dalam beberapa persoalan, Ammar memang tidak sejalan dengan Utsman. Andai saja Ammar bisa menahan diri (untuk tidak mengungkapkannya), tentu akan lebih baik dan semoga mereka berdua diridai Allah.

Intinya, perbedaan dalam politik adalah hal yang wajar. Utsman sebagai khalifah telah memberi teladan yang baik bagaimana cara ia merespons segala macam kritikan, bahkan dari para sahabat terdekatnya.

Pergerakan Para Demonstran

Upaya aksi massa yang dimobilisasi secara terstruktur, sistematis dan masif oleh Abdullah bin Saba’ dan para pentolan lainnya pada akhirnya membuahkan hasil. Fitnah keji dan caci maki yang dimainkan mereka untuk terus mendiskreditkan khalifah Utsman dan untuk mendelegitimasi kekuasaannya, terbukti menjadi strategi paling ampuh mengaduk emosi masyarakat yang lemah iman dan berwatak “sumbu pendek”.

BACA JUGA  Puasa: Momentum Menahan Diri dari Nafsu Ekstremisme-Terorisme

Para demonstran dari berbagai penjuru di bawah komando Abdullah bin Saba’ mulai dikerahkan. Agar para demonstran yang hendak melakukan aksi makar itu tidak mencolok, maka mereka diberangkatkan menjelang momentum ibadah haji, tepatnya pada bulan Syawwal tahun 35 H. Semua persiapan dan perhitungan mereka benar-benar detail dan rinci. Setidaknya, itu yang digambarkan oleh al-Thabari dalam kitabnya.

Dari Mesir ada sekitar 600-1000 orang yang dikerahkan untuk menumbangkan khalifah Utsman. Mereka terbagi dalam beberapa divisi kecil yang dipimpin oleh Abdurrahman bin Udais al-Balwi, Kinanah bin Bisyr al-Tujaibi, Urwah bin Syim al-Laitsi, Abu ‘Amr bin Budail bin Warqa’ al-Khuza’i, Sawad bin Ruman al-Asbahi, Zara’ bin Yasykur al-Yafi’i, Sudan bin Humran al-Sukuni dan Qutairah bin Fulan al-Sukuni. Mereka semua di bawah pemimpin utama bernama al-Ghafiqi bin Harb al-Akki.

Dalam jumlah yang hampir sama, para pemberontak juga datang dari Kufah. Mereka terbagi dalam 4 divisi kecil yang dipimpin oleh Zaid bin Shuhan al-Abdi, al-Asytar al-Nakh’i, Ziyad bin al-Nadhar al-Haritsi dan Abdullah bin al-Asham. Pemimpin utama mereka adalah Amr bin al-Asham.

Para pemberontak dari Basrah juga tak ketinggalan. Dalam jumlah yang tak jauh berbeda dari pemberontak Mesir dan Kufah, mereka berbondong-bondong menuju Madinah. Mereka terbagi dalam 4 divisi kecil yang dipimpin oleh Hakim bin Jabalah al-Abdi, Dzuraih bin Ibad al-Abdi, Bisyr bin Syuraih al-Hatham dan Ibn al-Mahrasy al-Hanafi. Pemimpin utama mereka bernama Hurqush bin Zuhair al-Sa’di.

Para pemberontak dari Mesir datang lebih awal menemui khalifah Utsman. Mereka menyampaikan tuntutannya. Khalifah Utsman pun berhasil menjawab dan menenangkan mereka. Mereka mempersoalkan Utsman yang dianggap tidak adil dengan mengangkat sejumlah kerabatnya dalam jabatan struktural di pemerintahan. Selain itu, Utsman juga dituduh sering memberikan hadiah pada kerabat dekatnya. Utsman pun menjawab bahwa ia bertindak secara adil dan harta yang diberikan kepada kerabatnya adalah harta pribadi, bukan diambil dari baitul mal.

Dalam Tarikh al-Khulafa’­-nya al-Suyuthi bahkan disebutkan bahwa salah satu tuntutan para pemberontak itu adalah meminta khalifah mencopot gubernur lama dan menggantinya dengan Muhammad bin Abu Bakar sebagai gubernur Mesir. Daftar panjang tuntutan para pemberontak dari berbagai riwayat bisa menjadi bahasan tersendiri di luar pembahasan ini. Namun yang paling disorot oleh para sejarawan adalah isu perihal nepotisme dan pembagian harta yang dituduhkan kepada khalifah. Dan khalifah Utsman berhasil membantah tuduhan itu.

Setelah mendengar penjelasan Utsman, atau dalam sebagian riwayat disebutkan Utsman berorasi di hadapan para pemberontak dengan sangat rendah hati—yang oleh Marwan dianggap terlalu menghinakan diri, akhirnya mereka pulang dengan penuh haru. Namun titik balik peristiwa mengerikan itu terjadi ketika mereka sudah membubarkan diri dan hendak kembali ke Mesir. Di tengah perjalanan pulang, mereka menyergap seorang lelaki mencurigakan yang tampak dengan sengaja memancing perhatian mereka.

Lelaki itu kadang mendekati rombongan mereka, namun tiba-tiba menjauh, lalu mendekat dan menjauh lagi, dan seterusnya. Setelah mereka menggeledahnya, ditemukan sepucuk surat dengan stempel atas nama khalifah Utsman kepada gubernur Mesir yang berisi perintah untuk membunuh mereka setibanya di Mesir.

Mereka geram, amarah pun pecah. Dengan wajah beringas, mereka putar balik menuju Madinah. Satu-satunya yang mereka bayangkan adalah mengalirkan darah Utsman! Keberingasan orang-orang ini kian tak terbendung setelah muncul surat-surat palsu yang disebar luas dengan mencatut nama sejumlah sahabat di Madinah. Salah satu contoh surat provokatif berkedok jihad untuk membela agama dikutip oleh Ibnu al-Atsir dalam al-Kamil-nya:

كتب جمع من أهل المدينة من الصحابة وغيرهم إلى من بالآفاق منهم: إن أردتم الجهاد فهلموا إليه فإن دين محمد – صلى الله عليه وسلم – قد أفسده خليفتكم فأقيموه

Sejumlah sahabat di Madinah dan yang lainnya menulis edaran yang disebar ke berbagai penjuru. Isinya: jika kalian ingin berjihad, maka bangkitlah sekarang. Sebab agama Nabi Muhammad SAW telah dirusak oleh khalifah kalian. Tegakkanlah agama kalian! Ibnu al-Atsir mengomentari surat edaran yang mencatut nama sahabat senior sebagai bentuk kebohongan dan manipulasi. Karena menurutnya, para sahabat senior sudah bersumpah tak melakukan hal keji semacam itu.

Lanjut ke Bagian III

Musyfiqur Rahman
Musyfiqur Rahman
Mahasiswa Pascasarjana Kosentrasi Kajian Timur Tengah, UIN Sunan Kalijaga. Redaktur sastraarab.com

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru