31 C
Jakarta

Meluruskan Hakikat Hijrah yang Kerap Disalahgunakan

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMeluruskan Hakikat Hijrah yang Kerap Disalahgunakan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul: Masak Hijrah Begitu?, Penulis: Edi AH Iyubenu, Penerbit: Diva Press, Cetakan: I, Januari 2020, Tebal: 264 Halaman, ISBN: 978-602-391-837-9, Peresensi: Fathorrozi, M.Pd.

Harakatuna.com – Istilah hijrah kini menjadi sangat populer. Ia menjadi istilah spiritual, religius, Islami yang mengarah kepada tujuan paripurna kehidupan seseorang. Dalam istilah lain, hijrah dimaknai serupa husnul khatimah.

Sementara mereka yang belum sampai ke maqam hijrah, dianggap hidupnya belum paripurna, belum usai dengan ingar-bingar duniawi, bahkan cenderung diidentikkan dengan orang yang rendah iman, lemah takwa, dan lalai dengan kehidupan ukhrawi yang hakiki.

Jika menilik ke sejarah awal hijrah, yakni berpindahnya Rasulullah dan sejumlah sahabat dari Makkah yang dikuasai kaum kafir Quraisy ke Madinah, maka makna hijrah yang yang dewasa ini disalahartikan oleh sebagian orang tersebut, berarti telah mengalami reduksi, pengikisan dan pendangkalan dari makna historis.

Sebelum ke Madinah, sebenarnya Rasulullah pernah hijrah ke Thaif, namun mendapat sambutan yang kurang baik. Akhirnya, demi tujuan keamanan, keselamatan dan keberlangsungan dakwah Islam, Rasulullah memutuskan hijrah ke Madinah, sebab umat Islam yang waktu itu hanya segelintir semakin diintimidasi oleh kaum kafir Quraisy.

Lalu, pertanyaannya: apakah hari ini kita menghadapi situasi gawat seperti itu? Jika tidak, kenapa mesti hijrah?

Dalam buku Masak Hijrah Begitu? ini, penulis menyayangkan sejumlah praktik hijrah hari ini yang justru menyeret berbagai problem baru kehidupan berislam. Jika hijrah hendak dimaknai harakah al-jauhariyah (transformasi pencerahan lahir dan batin) sebagaimana dalam istilah Mulla Sadra, maka harusnya terus diiringi dengan pergerakan, perpindahan menuju maqam yang lebih bersih, lebih taat, lebih aman, dan lebih mulia (hlm. 146).

Sungguh disayangkan bila gerakan perpindahan dari keburukan menuju kebaikan, min az-zulumati ila an-nur, justru rawan menyeret kepada kemudataran-kemudataran baru, kezaliman-kezaliman baru, yang harusnya tidak dilakukan oleh orang yang benar-benar memahami dan menjalankan nilai-nilai al-Quran dan Sunah Rasul dengan baik.

Lebih lanjut, Edi AH Iyubenu mencontohkan celetukan yang menjadi kekecewaan publik terhadap sejumlah praktik hijrah hari ini. Celetukan miris itu seperti: “Dulu, sebelum hijrah, ia berlumur dosa, setelah hijrah, orang lainlah yang berlumur dosa.”, “Dulu, sebelum hijrah, ia patuh pada orangtuanya, setelah hijrah, orangtuanyalah yang harus patuh padanya.”

Bahkan, penulis juga mendeskripsikan fenomena hijrah yang menjadi gaya mutakhir masa kini. Di antaranya: tujuan hakiki dari salat adalah untuk mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Lantas bagaimana kita memahami kenyataan makin taat salat, plus salah sunah juga, malah makin senang merendahkan orang lain yang tak sepertinya?

Kita tahu bahwa tujuan hakiki berjilbab dengan baik adalah untuk menjaga diri dari risiko pergaulan yang membawa kemaksiatan. Lantas bagaimana kita memahami kenyataan makin panjang jilbabnya malah makin sering menista-nistakan perempan lain yang belum berjilbab? (hlm. 149).

BACA JUGA  Trik Pintar Berdebat Dengan Wahabi

Allah Dzat yang Maha Rahman dan Rahim, jangankan kepada yang beriman dan bertakwa, kepada yang kufur saja, Dia pun mengasihinya dengan cara tetap memberinya rezeki dan segala kebutuhan hidup. Sementara kenyataan yang menimpa kita, kok berani-beraninya kita menghina, melecehkan, menista, mengasingkan, membuang hingga memutus tali persaudaraan dan persahabatan hanya karena mereka tak ikut gerakan hijrah?

Jika hanya karena kita telah berjilbab, berjubah, rajin ke masjid, gemar ikut kajian agama, fasih menukil ayat dan hadis, terus merasa diri sudah selesai dan baik-baik saja, maka ini bukan semata berarti hijrah. Bila perspektif ini kurang dipahami, dikhawatirkan hanya akan berpindah dari satu kezaliman lama ke kezaliman baru yang tak kita sadari sebagai kezaliman karena lahiriahnya telah berubah religius.

Hijrah hakikatnya adalah pertaubatan, tiada lain adalah harakah al-jauhariyah, ekspresinya adalah semata memperdalam iman, meneguhkan takwa, dan memperkuat akhlak karimah. Oleh karena itu, mari jangan pernah melampaui batas. Tetaplah tenang dalam ekspresi-ekspresi akhlak karimah di hadapan perbedaan dan keragaman apa pun.

Inilah cermin bagi kedalaman dan kejernihan rohani kita. Berhijrahlah dengan jalan demikian, jangan berhijrah gerakan-gerakan yang memicu keretakan di atas kemajemukan dan kemanusiaan.

Agar hijrah kita lurus dengan taubat, penulis menyarankan dua hal sebagai ikhtiar. Pertama, berjuang terus menerus menambah ilmu, amal, pemikiran, dan permenungan. Kedua, tak putus-putus memohon kepada Allah agar diberikan taufik, hidayah, bimbingan, rahmat, karunia, dan pertolongan agar kita bisa terus menetap dalam jalan-Nya, agama-Nya, dan teladan Rasul-Nya (hlm. 221).

Kita memang perlu terus menambah ilmu agar cara berislam, beriman, dan bertakwa kita semakin sempurna. Dan dalam mencari ilmu, butuh kehadiran guru untuk meminta bimbingan, pengawasan, pelurusan, dan meminta didoakan. Maka, carilah guru yang bijaksana, yang meneduhkan, mendamaikan, dan menenangkan.

Sebab, kita akan menjadi seperti apa guru kita. Jika kita berguru kepada orang yang bijaksana, maka tutur kata dan tingkah laku kita akan ikut bijaksana. Namun, bila kita berguru kepada orang yang keras tanpa pertimbangan-pertimbangan yang bijak, besar kemungkinan kita pun akan berislam dengan cara demikian.

Akhirnya, sekali lagi, segala bentuk istilah yang kita pakai kini, baik hijrah saja atau ditambah hijrahnya hijrah, jika praktik sosialnya tetap bersimpangan dengan hakikat akhlak karimah, etika kemanusiaan, dan harakah al-jauhariyah, maka dapat dikatakan bahwa itu bukan taubat, itu bukan hijrah. Sebab, taubat tidak begitu, dan hijrah mestinya tak begitu.

Fathorrozi, M.Pd
Fathorrozi, M.Pd
Pegiat literasi dan pengasuh Qarnul Islam Ledokombo Jember

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru