25.9 C
Jakarta

Melupakan Tuhan di Tengah Pandemi Virus Corona

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanMelupakan Tuhan di Tengah Pandemi Virus Corona
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pandemi Virus Corona yang menyerang manusia di belahan dunia, termasuk di Indonesia mencuri perhatian banyak orang tak terkecuali orang kampung yang jarang mengikuti perkembangan berita. Segala usaha, baik social distancing maupun lockdown, telah dilakukan. Sayang, virus ini tetap mengancam ketenangan hidup banyak orang.

Menghadapi virus yang telah merugikan banyak hal, termasuk soal perekonomian, tak sedikit terbersit di benak seseorang sikap angkuh, takabur, dan sombong yang mulai meragukan, bahkan tidak meyakini kehadiran Tuhan. Sehingga, terucap sebuah kalimat—yang tidak perlu saya sebutkan pengucapnya—kurang lebih, “Coronavirus adalah bukti paling mutakhir bahwa Tuhan tidak ada. Atau, kalau ada, Dia tidak peduli.”

Kalimat tersebut sesungguhnya memberikan kesan “keputusasaan” setelah sekian lama waktu dihabiskan di rumah saja dan sekian usaha telah dilakukan tapi tidak mendatangkan hasil alias feedback. Sikap keputusasaan ini timbul karena kekeliruan manusia sendiri, dalam sebuah istilah yang sangat populer, “human error”. Sederhananya, manusia tidak cukup mengandalkan kekuatan manusiawi, tanpa menghadirkan kekuasaan Ilahi. Karena, dalam sebuah redaksi zikir disebutkan: La mani’a lima a’thayta wa la mu’thiya lima mana’ta. Tiada satupun yang dapat mencegah bila Tuhan sudah berkehendak memberi. Sebaliknya, tiada yang dapat mengabulkan sesuatu bila Tuhan berkehendak mencegahnya.

Sikap putus asa ini sesungguhnya timbul dari kaum ateis yang tidak bertuhan. Kalau pun dia bertuhan, tuhannya adalah akalnya sendiri. Padahal, tidak cukup menghadapi sekian persoalan hidup hanya dengan kehadiran akal tanpa menyertakan kata hati. Sikap kaum ateis ini sebenarnya telah tergambar sejelas mungkin dalam Al-Qur’an: Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan seekor nyamuk atau yang lebih kecil dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, mereka tahu bahwa itu kebenaran dari Tuhan. Tetapi, mereka yang kafir berkata, “Apa maksud Allah dengan perumpamaan ini?” Dengan (perumpamaan) itu banyak orang yang dibiarkan-Nya sesat, dan dengan itu banyak (pula) orang yang diberi-Nya petunjuk. Tetapi tidak ada yang Dia sesatkan dengan (perumpamaan) itu selain orang-orang fasik. (QS. al-Baqarah/2: 26).

Sikap kaum ateis (orang yang kafir), seperti yang disebutkan pada ayat 26, tidak meyakini kehadiran Tuhan dalam setiap langkahnya. Mereka gemar berspekulasi dengan egonya sendiri, karena yang dia benarkan hanya pikirannya sendiri. Sikap ego ini tidak bakal pudar karena belum dihadapkan dengan sebuah pilihan. Bayangkan saja, seandainya kaum ateis berada di dalam pesawat yang sedang dalam bahaya, maka dia tidak punya pilihan lain selain menyandarkan diri kepada Tuhan. Sehingga, saat detik itu, kaum ateis mulai melupakan egonya dan hanya berpangku kepada kekuatan Tuhan atau lebih akrab disebut dengan “tawakal”. Masih ingatkah, kaum ateis, dengan kisah Fir’aun yang bertobat saat terhimpit gelombang air laut yang sangat besar?

BACA JUGA  Tafsir Lingkungan di Tengah Kebijakan Penguasa

Pandemi Virus Corona adalah, seperti yang tersebut dalam surah an-Nahl ayat 8, sesuatu yang Tuhan ciptakan, sedang manusia belum mengetahui hakikatnya. Melihat habitat virus ini, manusia masih berada di medan “persepsi”. Ada yang mengatakan, Corona berasal dari binatang kelelawar yang dikonsumsi oleh manusia. Ada pula yang menyebutkan, Corona adalah buatan pemerintah China, lebih tepatnya kota Wuhan, untuk mengurangi kepadatan penduduk. Ada yang lain menduga, Corona adalah serangan dari Negara Amerika yang bermaksud memorak-porandakan perekonomian Negara China. Dan masih banyak persepsi yang lain menafsirkan virus itu.

Merespons persepsi ini, mari mulai dari pesan surah al-Hadid ayat 22, yang menyebutkan: Tiada bencana apapun yang menimpa sesuatu di bumi dan tiada pula pada dirimu melainkan telah tertulis sebelum Kami menciptakannya. Secara kasat mata ayat ini seakan memberikan pesan fatalistik, berpangku langsung kepada Tuhan. Saya sering mendapat sikap fatalistik ini di kampung saya sendiri, lebih tepatnya di Madura, apalagi begitu mendengar dan dihadapkan dengan Virus Corona. Sejatinya, benarkah sikap fatalistik ini?

Sikap fatalistik adalah sesuatu yang kurang kreatif. Karena, sikap ini tidak mendorong seseorang berikhtiar untuk memperbaiki takdir. Seharusnya, sikap yang baik adalah mempertemukan dua hal: ikhtiar dan tawakal. Beginilah sikap moderat yang dikehendaki oleh Tuhan. Sikap moderat ini, seperti banyak diceritakan dalam hadis Nabi Saw., telah dipraktekkan oleh Sahabat Umar dalam perjalanan dinas menuju Syam. Begitu ia mendengar berita bahwa wabah penyakit (al-waba’) sedang menyerang negeri, maka Umar membatalkan perjalanannya. Abu Abaidah bertanya kepada Umar, “Apakah kita lari dari takdir Allah?” Lalu, Umar menjelaskan, “Benar, kita lari dari takdir Allah yang satu menuju takdir Allah yang lain.”

Maka, Pandemi Virus Corona memang banyak merugikan manusia. Sikap kita jangan sampai melupakan kehadiran Tuhan dalam menghadapi virus yang abstrak ini. Yakinlah, manusia itu adalah makhluk yang lemah. Jika begitu, pasti ada Dzat Yang Maha Kuasa. Dialah Tuhan. Lihatlah pandemi ini sebagai ujian Tuhan dan jangan lupa optimis bahwa di balik ujian ini bakal dan pasti ada hikmahnya. Tuhan Maha Tahu sesuatu yang belum manusia ketahui, termasuk hikmah di balik pandemi ini. Teruslah berusaha dan jangan lupa berdoa.[] Shallalla ala Muhammad.

*Tulisan ini terinspirasi dari buku “Teologi Wabah: Perspektif Islam tentang Pandemi” karya Dr. Syamsuddin Arif

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru