26.2 C
Jakarta

Melindungi Anak dari Bahaya Ekstremisme

Artikel Trending

KhazanahTelaahMelindungi Anak dari Bahaya Ekstremisme
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com-Orang tua perlu tahu cara merespon ketika anak menggugat orang tuanya yang sedang berkunjung ke gereja menghadiri sebuah pertemuan. Orang tua juga perlu tahu kebijakan sekolah tentang iuran di luar pembiayaan sekolah seperti dana Jum’at surga, atau iuran yang berkaitan dengan agama. Dana tersebut apakah disalurkan kepada orang yang layak atau justru digunakan untuk mendanai gerakan teroris?” ucap salah satu peserta dalam forum diskusi dan peluncuran buku berjudul “Teroris, Korban, Pejuang Damai (Perempuan dalam Pusaran Ekstremisme Kekerasan di Indonesia” yang dilaksanakan oleh The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia dengan WGWC.

Mengetahui kegiatan anak di luar pengawasan keluarga, adalah salah satu upaya penting yang perlu disadari orang tua agar terus memantau kegiatan yang dilakukan. Sikap fobia yang dimiliki oleh seorang anak, salah satunya kepada orang yang berbeda agama, adalah salah satu dari wujud ekstremisme dini karena anak tidak akan merajut hubungan yang berbeda agama.

Lingkungan sekolah bisa menjadi ladang bibit tumbuhnya sikap ekstremisme bagi anak, apabila sikap yang terpatri dalam diri anak adalah cara beragama yang cenderung eksklusif dan tidak mau melihat keberagaman agama yang dimiliki oleh Indonesia. Dengan demikian, kehadiran orang tua untuk terus melakukan dialog kepada anak, dalam rangka menggali informasi yang didapatkan di sekolah, perlu untuk terus dilakukan supaya bisa mendeteksi secara dini sikap-sikap intoleransi dalam diri anak.

Tahapan Menjadi Teroris

Ada empat tahapan seseorang menjadi teroris, di antaranya: pertama, pra-radikalisasi. Periode ini adalah periode awal proses radikalisai yang menggambarkan seseorang menjadi garis keras. Sikap garis keras itu bisa ditandai dengan fobia kepada pemeluk agama lain karena menganggap kafir yang tidak boleh dirangkul. Kedua, identifikasi diri. Pada tahap ini, seseorang akan menafsirkan kembali ajaran agama dan kehidupan yang sedang dijalani. Proses identifikasi diri ini artinya seseorang sudah mulai terpapar ajaran radikalisme yang dibawa oleh lingkungannya. Ketiga, setelah melewati proses identifikasi diri, seseorang akan masuk ke tahap indoktrinasi. Proses ini merupakan momentum di mana yang bersangkutan mulai meyakini bahwa tindakan jihad dibenarkan untuk mewujudkan visi besar yang sudah diyakini dalam proses identifikasi diri. Keempat, jihadisasi yang merupakan tahapan di mana individu sudah masuk dalam eksekusi teror.

BACA JUGA  Perempuan dan Politik: Mendorong Kebijakan Ramah Gender dalam Pemerintahan

Tahapan ini setidaknya bisa diketahui sebagai proses kehidupan seseorang. Kita bisa menganalisis dan melakukan refleksi dalam diri, ada di manakah kita? Apakah sedang berada di fase garis keras yang tidak bisa menerima perbedaan yang alamiah, bahkan menjadi keunikan yang dimiliki oleh Indonesia. Jika mendengar cerita seorang perempuan dalam forum bedah buku di atas, setidaknya kita mengetahui bahwa di sekolah, anak-anak dibekali pengetahuan tentang penolakan terhadap agama lain yang berujung sikap intoleransi ataupun melakukan diskriminasi kepada kelompok agama lain. Lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi ruang untuk belajar menghargai perbedaan, justru sebaliknya.

Artinya, orang tua perlu terus melakukan pengawasan terhadap ajaran agama yang disampaikan oleh sekolah karena akan berdampak terhadap sikap anak dalam berperilaku terhadap agama lain. Padahal sejatinya, anak-anak perlu dibekali pengetahuan tentang toleransi sejak dini supaya tidak anti terhadap perbedaan agama yang sudah jelas-jelas dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kebencian anak terhadap kelompok agama lain, ke depan semakin parah dengan pengaruh berbagai faktor, seperti: politik internasional dalam wujud ketidakadilan global, politik luar negeri yang arogan dan penjajahan. Narasi tentang kekejaman negara asing kepada Indonesia, khususnya umat Muslim akan melanggengkan kebencian seorang anak kepada kelompok agama lain.

Apabila anak tidak memiliki ruang belajar agama yang ramah serta tidak ada pengawasan orang tua terhadap keyakinan yang sudah melekat dalam dirinya, maka ia akan mencari circle agama yang mampu memvalidasi keyakinan dalam dirinya. apabila itu terjadi, maka anak-anak akan menuju tahap kehidupan selanjutnya, hingga menjadi teroris.

Kesadaran Orang Tua Sangat Penting

Dengan kondisi demikian, kesadaran dan pengetahuan orang tua tentang kelompok-kelompok ekstremis sangat penting dimiliki. Orang tua perlu upgrade diri terhadap fenomena sosial keagamaan yang berkembang di masyarakat. Apabila orang tua memiliki pengetahuan hal itu, maka akan lebih mudah mendeteksi anak. Pengawasan orang tua di luar lingkungan keluarga, harus terus dilakukan untuk melindungi anak dari bahaya ekstremisme.  Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru