26.3 C
Jakarta

Melihat Perempuan Indonesia: dari Relasi Gender hingga Domestikasi Radikal

Artikel Trending

Milenial IslamMelihat Perempuan Indonesia: dari Relasi Gender hingga Domestikasi Radikal
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sebagai tokoh yang tidak sentral dalam masyarakat patriarki Madura, Nyai-nyai Madura sangat memberikan pengaruh besar bagi masyarakat Madura bahkan di pulau luar Madura. Baik dari segi keagamaan, sosial, budaya, dan pendidikan. Disitu, nyai Madura berhasil melakukan negoisasi-kultural tanpa harus melakukan konfrontasi (kepada kiai), sehingga pengaruhnya melampaui segala asumsi yang mengecilkan eksistensinya.

Nyai Madura di pandang ajeg dalam menjaga tradisi kemaduraan. Bahkan dalam kontruksi sosial, budaya dan keagamaan, nyai Madura ditempatkan sebagai sosok yang karismatik nan istimewa dalam merekatkan kehidupan sosial. Mereka mampu melepaskan atau melampaui ruang formal (domestiknya) dan eksklusivismenya sehigga menjadi juru selamat bagi lembaga keagamaan serta kehidupan budaya-keberagamaan perempuan Madura.

Kepiawaian dalam membangun hubungan harmoni dengan lapisan struktur kehidupan masyarakat, keluarga, juga santri, nyai-nyai ini dapat mensejajarkan atau memantaskan diri untuk mengambil bagian dalam mengangkat derajat kaum perempuan di Madura. Berbekal ilmu keagamaan yang mumpuni dan relasi sosial, perempuan menjadi agensi merepresentasikan ulama atau pemimpin kultural di masyarakat Madura.

Maka, bila ada asumsi bahwa jati diri dan kehidupan perempuan Madura dianggap sebagai subjek yang terpecah (fragmented), yaitu berjalan di antara nilai-nilai maskulin dan feminim, berada di antara jalur kesadaran dan ketidaksadaran, di antara batas normatif dan konstruktif, secara langsung atau tidak langsung tertolak dengan sendirinya. Sebab, kepemilikan tubuh, kehidupan, tingkahlaku hanyalah milik-kehendak diri perempuan (nyai). Dan, itu bisa dibuktikan dari segala aktivitas sosial keagamaan nyai Madura dengan komponen masyarakat luas dari hari ke hari.

 

 

Bukti-bukti itu terlihat dan terjelmakan dari kiprah dan signifikansi peran empat nyai perempuan Madura di buku ini: nyai Aqidah Usymuni (Sumenep), nyai Khairiyyah (Pamekasan), nyai Syifak Thabroni (Sampang), nyai Muthmainnah (Bangkalan). Masing-masing mempunyai peran juang untuk kehidupan dan kultur keperempuanan Madura di dalam dominasi patriarki yang mengakar. Mereka menumbuhkan pemahaman relasi geder yang berimbang tanpa harus melakukan persinggungan dengan laki-laki atau otoritas kiai.

Misalnya, nyai Aqidah Usymuni. Misi perjuangannya pemberdayaan perempuan Madura. Dengan cara mendirikan pondok pesantren yang diberi nama dirinya sendiri, “Aqidah Usyumi” (1985), menegaskan bahwa ia menempatkan dirinya sebagai pelopor perempuan pesantren dengan memunculkan simbol kesetaraan dalam konstruksi sosial pesantren. Sebagai mode organisasi, dalam jaringan intelektual yang terbentuk dalam jaringan teologis (nyai/kiai/satri/masyarakat), pesantren bagi nyai Aqidah adalah jalan lapang untuk membangun terobosan keseimbangan—yang sayangnya—selama itu tidaklah terpikirkan atau tidak ada yang mau dan berani bersikap.

Nyai Aqidah berani keluar dari mainstream pesantren di mana peran kiai sangat dominan dalam struktur kepesantrenan dan dinamika kehidupan masyakat. Tetapi, dengan mendirikan dan menggunakan nama perempuan itu, adalah sebagai bentuk strategi juga motivasi bagi kaum perempuan liyan supaya berdaya dan berperan aktif dalam masyarakat. Sehingga, arah perubahan sosial sebagai salah satu organ perjalanan kultur dan historis, bahkan dalam aspek kuasa khusus, seperti otoritas keulamaan dan politik, perempuan selalu dipentingkan dan dikenang dalam lintasan sejarah (hlm. 150).

 

 

Mendirikan pesantren karena keprihatinan Nyai Aqidah atas kondisi masyarakat. Masyarakat  yang tidak mampu (miskin), menjadi jauh dari akses pendidikan. Begitu juga yang perempuan mampu, kadang juga terjauhkan dari pendidikan kendati mereka dianggap tidak perlu memperoleh-mengejar pendidikan yang tinggi, karena wilayahnya hanya di seputar dapur, sumur, dan kasur. Bahkan hal itu diperkuat dengan asusmsi bahwa tingginya martabat perempuan terletak pada kepatuhannya terhadap laki-laki (suami). Maka itu, nyai Aqidah tegap berdiri bersama pondoknya untuk membantu perempuan-laki-laki supaya bisa memberdayakan skill untuk menjadi sumber daya manusia andal berkualitas, tanpa harus membayar biaya alias gratis.

Begitu juga nyai Syifak. Strategi dakwah kultural yang digunakan menancapkan pemahaman pada pola hidup sederhana-setara dan membentuk pola keagamaan yang sosial-religius dengan praktik ritual-spiritual di hati masyarakat. Dakwah nyai Syifak semata-mata ingin masyarakat khususnya perempuan dapat menyelesaikan problem hidupnya secara mandiri. Harapannya para perempuan bisa mambangun sikap dan perilaku digdaya dalam mereprsentasikan kehidupannya di tengah masyarakat patriarkis.

BACA JUGA  Menciptakan Optimisme Politik, Memperbaiki Demokrasi

Bagi nyai Syifak, sebagai pengasuh pondok pesantren Raudlatul Mutaallimin yang besar di Sampang, nyai-nyai dan perempuan yang ada di Madura harus memiliki etos kesadaran keperempuanannya sendiri. Sehingga, mereka bisa menjadi motor penggerak perubahan susur galur dan kontestasi kehidupan perempuan Madura dan Indonesia. Sebab, jika bukan nyai atau perempuan Madura, siapa lagi. Jika tidak, maka perempuan akan selalu kalah, tersubordinasi, tereliminasi, tersingkirkan, dan tercampak dalam panorama sosial selamanya.

Menurutnya, saat ini dan akan datang bukan lagi zaman banyak bicara tanpa ilmu. Pandai berdiskusi tanpa dasar yang jelas. Berpidato tanpa ada muatannya karena terisi lelucon belaka, dan sebagainya. Bagi nyai Syifak, kehidupan perempuan Madura kedepan harus produktif, memberi teladan, semangat berjuang, berkompetensi dan harus selalu mengedepankan quwwah ruhiyyah (keunggulan spiritualitas) dalam setiap gerak getir kehidupannya. Sehingga, ia bisa terbebas dari belenggu ancaman, kebodohan, pelecehan dan patriarkis.

Adapun nyai Muthamainnah. Sebagai pengasuh pondok pesantren Syaikhona Khalil Bangkalan, yang terbesar di kabupaten Bangkalan, merasa perlu menggembleng santrinya jadi agen pemimpin-pemimpin ideal masyarakat Madura. Di tengah arus modernisasi, nyai Muth tetap mempertahankan pola ahlussunnah wal jamaah sebagai center of exelence dalam membina kader-kader intelektualnya. Memperioritaskan pendidikan salafiyah, seperti pendidikan diniyah, klasikal, menjadi kunci keutuhan jiwa dan modal ibadahnya para santri kedepan.

 

 

Keseriusan nyai Muth mengabdi, selain berdakwah, dia juga memberikan pemberdayaan terhadap masyarakat, santri, dan alumni dengan usaha-usaha keterampilan. Seperti mengadakan pelatihan membatik, memproduksi minuman kemasan, melatih membordir, dan sebagainya. Di basis agama, nyai Muth selalu menekankan pada santri, alumni, dan masyarakat mengajarkan-belajar ilmu fiqh. Sebab fiqh, dianggap sebagai modal dasar dalam beribadah kepada Tuhan. Baginya, jika ibadahnya hancur, maka tidak ada harapan yang lebih banyak lagi bagi kehidupan seseorang (hlm. 176-177).

Berbeda dengan nyai Aqidah, Syifak dan Muth, nyai Khairiyyah merepresentasikan sebagai nyai Madura dengan perberdayaan kehidupan sosial kulturalnya. Salah satunya dengan memberdayakan persoalan tengka yang sudah menjadi kultur pekem bagi masyarakat Madura. Sebagai sosok nyai yang karismatik di Pamekasan, nyai Khairiyyah merasa perlu untuk mengendalikan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang cenderung melampaui batas, bahkan berlebihan. Bagi nyai Khairiyyah, sesuatu yang berlebihan bertentangan dengan nilai agama. Karena, selain mubazir, juga kadang menyusahkan dirinya sendiri dan orang banyak.

Misi dakwah nyai Khairiyyah di antaranya untuk meminimalisir keadaan itu. Titik juang utama nyai Khairiyyah adalah mengakomodir urusan tengka, dengan menginventarisir urusan tengka apa saja yang berkontribusi terhadap pemberdayaan perempuan. Dan, urusan tengka apa saja yang cemderung berlebihan bahkan membebani masyarakat.

Seperti tengka dalam ritual orang meninggal dan gawe. Mereka keluarga yang meninggal melakukan tradisi pengajian-tahlilan mulai 1-7 hari, kemudian, 100 hari, peringatan tahunan sampai peringatan seribu hari yang kesemuanya kadang diberi jamuan mewah bahkan dengan menyembelih sapi. Sehingga, dengannya, bukan amalan rapalan doanya yang menjadi fokus utama, tetapi tradisi tengkanya (hlm. 185).

Meski bagi masyarakat Pamekasan tengka telah menjadi harga dirinya, seperti tengka ritual lahiran, perkawinan, kematian, menurut nyai Khairiyyah tidaklah harus dilebih-lebihkan kendati bisa menyebabkan persoalan, kesengsaraan, dan kebangkrutan. Dengan kesadaran penuh, misi dakwah kultural nyai Khairiyyah sebisa mungkin mengendalikan tengka tersebut, meski sudah menjadi warisan budaya leluhur yang harus dijaga eksistensinya. Tapi paling tidak, bisa menyeimbangkan tradisi itu dengan tradisi lain, seperti menabung dan menggerakkan masyarakat di sektor ekonomi kreatif.

Hasanutul Jannah, mengkaji empat nyai besar (nyai gunung) Madura yang dianggap sebagai representasi  Ulama perempuan Madura sebagai femenis muslim Indonesia. Menurutnya, mereka berani berlaga di medan penyadaran untuk mendongkel kualitas penyadaran keulamaan, kesetaraan, keagamaan, kebudayaan, dan pendidikan perempuan. Buku berhalaman 344 ini diharapkan dapat menjadi acuan berkelanjutan untuk menciptakan ruang keulamaan perempuan sehingga menghasilkan persesuaian pandangan antara feminisme dan pandangan keagamaan. Juga bisa menambah perhatian dan spirit banyak peneliti pembebasan perempuan dalam menempuh di jalur keulamaan

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru