Harakatuna.com – Ketika Itaewon, Korea Selatan, berduka lantaran 154 orang meninggal dalam tragedi Halloween, Sabtu (29/10) kemarin, Arab Saudi justru bersuka cita melalui pagelaran festival Halloween pada pekan lalu. Selama ini, kerajaan melarang perayaan semacam itu karena dianggap tak sesuai ajaran Islam. Perayaan Halloween di Arab Saudi diberi nama ‘Scary Weekend’, rangkaian dari acara Riyadh Season yang berlangsung di Boulevard, Riyadh. Benarkah itu fenomena liberalisasi di Arab Saudi?
New York Times melaporkan, festival Halloween tersebut didanai pemerintah. Namun demikian, gelarannya sengaja lebih awal, agar seolah tak terlihat memperingati Hari Halloween—tradisi Barat kafir yang sangat bertentangan dengan prinsip Islam puritan atau Wahabisme. Pengunjung pun, dengan ceria menjelaskan, tidak tahu apakah acara tersebut halal atau haram. Mereka menganggapnya kebiasaan baru, perayaan besar, dan semangat kegembiraan. Tidak lebih.
Seorang dengan kostum menyeramkan juga menuturkan, festival Halloween sekadar untuk bersenang-senang semata, tak ada yang lain. “Kami tak percaya pada apa pun terkait Halloween,” ujarnya. Awal tahun lalu, sebenarnya pesta serupa juga digelar di Riyadh. Arab Saudi di era pemerintahan Mohammed bin Salman memang membuat banyak gebrakan yang menuju keterbukaan (liberalisasi?) di negara itu. Bioskop, festival musik, dan pelonggaran kebijakan terhadap perempuan, adalah kasus lainnya.
Namun pertanyaan yang harus diajukan di sini adalah, mengapa itu penting bagi umat Islam di Indonesia? Mengapa urusan Arab Saudi jadi penting dibahas? Ke mana arah Indonesia melihat fenomena tersebut? Ada sejumlah alasan. Yang jelas, Arab Saudi sudah berubah dan Indonesia harus melihat dampaknya ke depan. Negara ini tidak absen untuk berkiblat ke Arab Saudi, maka setiap fenomena tersebut, baik disebut moderasi atau pun liberalisasi, harus menjadi sorotan.
Beberapa hari lalu, PBNU meminta pemerintah melarang Wahabi di Indonesia, suatu tuntutan yang tentu saja wajib didengar banyak pihak. Indonesia yang tidak anti-keterbukaan harus peka melihat apa yang terjadi di Arab Saudi sebagai sesuatu yang memiliki efek kejut global terhadap paham keislaman resmi negara tersebut; Wahabisme. Akankah Wahabisme di sana mati, dan ke mana Wahabisme akan pindah? Ini menarik dibahas. Namun yang jelas, Indonesia harus melawan Wahabi.
Moderasi atau Liberalisasi?
Sudah lama terdengar wacana bahwa Arab Saudi ingin meniru Indonesia soal paham keislaman. Dalam suatu kunjungan resmi, Raja Salman pernah mengungkap ketertarikannya terhadap moderasi Islam dan hendak mengadopsinya untuk negaranya sendiri. Namun, menerapkan Islam moderat di Arab Saudi tidak pernah semudah membolak-balikkan telapak tangan. Arab Saudi menganut paham Wahabi selama ratusan tahun yang, dari itu, takhta Ibnu Saud aman dari pemberontakan.
Jadi ada fakta dilematis di situ. Satu sisi, Ibnu Saud dari Najd dan Wahabisme ibarat anak sepersusuan—Kerajaan Arab Saudi lahir karena hubungan resiprokalnya dengan Wahabisme. Namun di sisi lain, seiring dengan dinamika geopolitik dan modernisasi, Arab Saudi terlalu dekat dengan Barat untuk tidak terpengaruh olehnya. Semacam ada kejemuan di internal kerajaan bahwa Arab Saudi tidak selamanya akan kaku. Mereka harus berbaur dengan sang mitra; AS dan sekutunya.
Fakta dilematis tersebut tentu saja disadari banyak tokoh Wahabi. Abu Muhammad Ashim bin Muhammad bin Thahir al-Burqawi, atau yang lebih dikenal dengan Al-Maqdisi, adalah satu dari tokoh Wahabi yang paling getol menyerang kebijakan-kebijakan Kerajaan Arab Saudi yang dianggapnya telah melenceng jauh dari Islam. Lagi-lagi posisi dilematis dialami orang Wahabi: mereka kuat di Kerajaan, tetapi mereka juga tak berdaya ketika Kerajaan melakukan penyimpangan. Hipokritis.
Masalahnya adalah, kejemuan Arab Saudi dengan puritanisme—sebenarnya Wahabisme, tetapi Kerajaan sungkan menggunakan istilah tersebut—terorientasikan pada apa yang disebut liberalisasi, alih-alih moderasi. Dalam prinsip moderasi beragama, atau moderasi Islam, toleransi (tasamuh) dan keadilan (tawazun) harus berada di rel yang tepat. Islam Nusantara ala NU dan Islam Berkemajuan ala Muhammadiyah adalah representasi moderasi Islam di Indonesia.
Dari situ dapat dilihat, prinsip moderasi adalah juga soal lokalisasi—kontektualisasi ajaran Islam dalam bingkai kearifan lokal. Akulturasi budaya adalah langkah konkretnya. Tetapi apa yang Arab Saudi lakukan? Mengamalkan moderasi dengan melanggar norma? Jelas itu tidak dibenarkan. Tidak seperti Indonesia, Arab Saudi tidak punya kearifan lokal karena semuanya sudah dibasmi puritanisme Wahabi selama ratusan tahun. Maka konsep moderasi di sana juga sangat laik dipertanyakan.
Sebab, apa yang Arab Saudi lebih dekat pada penerapa liberalisme sebagai mazhab baru Kerajaan. Seperti burung yang baru keluar dari kerangkeng sangkar, keterbukaan yang mereka lakukan melampaui batas-batas moderasi itu sendiri. Dari sinilah pentingnya membahas Arab Saudi menemukan relevansinya. Arab Saudi tidak boleh dibiarkan mengeksploitasi istilah moderasi, atau dampaknya akan jadi malapetaka yang besar, yaitu ancaman Wahabi di Indonesia.
Wahabi Ancam Indonesia
Ancaman pertama adalah, gara-gara apa yang terjadi di Arab Saudi, masyarakat Muslim akan berpandangan buruk tentang moderasi. Sebab, setelah mendengar kata ‘moderasi’, yang terlintas di pikiran mereka adalah potret Arab Saudi dengan segala degradasi moralnya, bukan tasamuh dan tawazun sebagaimana yang selama ini disosialisasikan di Indonesia. Artinya, Indonesia kena getah Arab Saudi dan lebih parahnya, Wahabi malah akan marak di Indonesia. Ini ancaman yang nyata.
Karenanya, jawaban dari pertanyaan di awal tadi, mengapa Arab Saudi jadi penting dibahas dan ke mana arah Indonesia melihat fenomena tersebut adalah untuk menyelamatkan Indonesia itu sendiri. NKRI tidak bisa dibiarkan berada dalam ancaman Wahabi—sebagai antitesis moderasi itu sendiri. Para propagandis Wahabi di Indonesia, yang selama ini pakai baju ‘Salafi’, akan memelintir liberalisasi di Arab Saudi sebagai dampak buruk moderasi. Jelas, ini sinyal buruk untuk masa depan moderasi di negara ini.
Ancaman Wahabi di Indonesia adalah fakta yang tidak terbantahkan. Namun demikian, negara ini masih punya banyak kesempatan untuk berbenah. Kita tidak peduli dengan Arab Saudi kecuali jika fenomena di negara tersebut memiliki dampak buruk untuk Indonesia. Rezim Ibnu Saud punya hak prerogatif penuh atas pemerintahannya, tetapi jika Indonesia mendapat residu kebijakan sosial-politik dan keagamaan, urusannya menjadi tida sederhana.
Arab Saudi akan jadi liberal, Indonesia akan jadi puritan. Semacam ganti posisi, tetapi pergantian tersebut merugikan Indonesia. Sebab, hari ini, Wahabisasi di negara ini semakin marak, jemaahnya semain banyak, dan paham puritanisme yang dianut Arab Saudi sejak ratusan tahun silam sepertinya akan bergeser ke Indonesia. Meskipun pakaiannya bukan Wahabi, tetapi Salafi, seperti yang banyak diulas dalam tulisan-tulisan sebelumnya.
Arah perhatian Indonesia untuk fenomena liberalisasi Arab Saudi adalah untuk melawan Wahabisasi itu sendiri. Moderasi beragama mesti diselamatkan dari tuduhan-tuduhan buruk Wahabi yang bersarang di dalam negeri. Nasib moderasi Islam di era Wahabisasi mesti dipikirkan, sama urgennya dengan memikirkan apa yang mesti kita lakukan untuk menghentikan semua malapetaka ini. Maraknya Wahabisme di Indonesia harus ditangani serius, seserius Arab Saudi membasmi penentang Kerajaan.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…