Harakatuna.com – Konteks digitalisasi dalam wajah Islam di zaman modern, menjadi fokus utama dalam dakwah. Misalnya dakwah yang disajikan dalam bentuk digital, membutuhkan berbagai kreatifitas untuk menuju kesuksesan yang disebut media sebagai “viral”.
Keviralan suatu konten menjadi satu gerak strategis bagi suatu gerakan keislaman untuk menunjukkan eksistensinya kepada publik. Dan kini persaingan dakwah dalam dunia digital begitu sengit. Lantas bagaimana agar dakwah yang mengusung nilai toleransi, keberagaman, dan kebudayaan Indonesia tetap eksis di dunia digital?
Maka sudah tidak asing jika publik kerap dikagetkan oleh viralnya pidato seorang ustaz yang kontroversi. Entah narasi apa yang diusung ustaz tersebut, namun yang kerap menjadi perbincangan adalah konteks dari isi video tersebut yang dinilai publik sebagai sesuatu yang tidak pantas. Melalui kanal-kanal media, kerap kita temukan ceramah-ceramah yang berbau provokatif, serta menghasut publik dalam gerakan-gerakan radikal.
Secara tidak langsung, Indonesia yang disusun atas ribuan keragaman secara keras menolak ajakan-ajakan yang digelorakan oleh ustaz-utaz radikal. Dalam hati, publik mengutuk keras-keras atas serangkaian kegiatan yang tidak berpihak kepada kemanusiaan, menciptakan kerusuhan, memecah persatuan, dan menghilangnkan sendi-sendi toleran. Tidak hanya mengutuk, timbul juga rasa ingin menghilangkan serangkaian kegiatan separatis yang kerap dilakukan oleh kelompok radikal.
Akan tetapi, digitalisasi mengubah struktur gerakan radikal tersebut menjadi semu. Publik dikaburkan oleh serangkaian konsep spiritualistik yang dirancang. Misalnya memakai ceramah-ceramah dengan adanya saksi yang membenarkan ceramah tersebut. Kemudian melakukan serangkaian pembuktian-pembuktian melalui sejumlah kitab, yang membenarkan ceramah provokatif yang dilakukan. Cara semacam itu kerap mereka lakukan untuk mengkaburkan pandangan-pandangan radikal dari kacamata publik.
Karena kebaruan aksi yang dilakukan, publik dibuat kaget terhadapnya. Publik seolah tersihir oleh mereka, yang dianggap sebagai juru selamat atas jaminan hidup enak di akhirat. Zaman modern yang sering diartikan sebagai zaman instan, ikut menopang nalar manusia menjadi super instan. Tawaran-tawaran mereka yang menjamin adanya surga secara instan, sering kali dipercaya sehingga gerakan-gerakan yang diusung kian kuat karena mendapat lebih banyak dukungan.
Terdapat kekacauan yang ditimbulkan oleh gerakan semacam ini. Kita bisa melihat contohnya pada pola diskusi yang dilakukan publik di beberapa platform digital. Ada beberapa yang menggunakan narasi yang sama yang digunakan oleh para ustaz radikal. Bahkan diantaranya secara terang-terangan mengajak bahkan membeberkan sejumlah dalil yang dikonversi menjadi suatu semangat untuk menegakkan khilafah.
Logika Bermedia
Hal yang paling penting dalam permainan media adalah bagaimana kecepatan dan ketepatan kelompok menanggapi suatu permasalahan. Karena media sebagai penyalur emosi publik, jadi untuk menggapai keviralan diperlukan pemahaman yang mendalam tentang apa yang sebenarnya publik perlukan. Pemahaman dasar seperti ini menjadi kata kunci sebelum dakwah-dakwah dari beberapa elemen keagamaan diluncurkan.
Oleh kelompok radikal, cara ini benar-benar diaplikasikan secara matang. Tidak hanya mengulik tentang permasalahan terbaru, bahkan mereka mengulik informasi-informasi yang sedang menjadi perbincangan oleh generasi pemegang media (baca: generasi millennial dan generasi Z). Sebut saja masalah percintaan, mereka mengulik secara dalam hingga konteks “viral” hadir dan publik mulai menyukai konten-konten yang dibuat.
Kemudian respons dengan kesan “marah” yang dibuat oleh mereka seringkali dapat mewakili sejumlah pihak untuk menyuarakan suara. Kegamangan media yang selama ini dianggap publik kurang keras, diambil sebagai suatu kesempatan untuk membiasakan kepada publik untuk mengulik permasalahan dengan cara-cara yang provokatif.
Akibatnya bisa ditebak, banjir ribuan komentar bahkan yang lebih provokatif dari isi konten. Hujatan ataupun kata tidak pantas lainnya hadir dalam akun media mereka. Dan hal itu menjadi sebuah motivasi untuk menggalang konten yang lebih provokatif dan kreatif lagi. Karena dengan hal itu, secara tidak sadar publik telah sedikit demi sedikit mengikuti nalar yang dimainkan oleh kelompok radikal.
Peran Anak Muda
Melihat kesuksesan kelompok radikal dalam memanfaatkan platform-platform digital tentu menjadi pukulan telak bagi gerakan keagamaan yang mengusung toleransi, kedamaian, dan kebhinekaan. Bagi mereka, publik yang sudah terbiasa dihasut dan marah pada hal-hal yang belum terbukti kebenarannya adalah menjadi suatu serangan besar pada keutuhan negara Indonesia. Maka agar agama tidak dimanfaatkan sebagai senjata untuk merobohkan negara, dibutuhkan peran penting anak muda serta strategi jitu yang dapat memukul mundur kelompok radikal.
Anak muda yang dianggap sebagai penguasa teknologi saat ini merupakan bintang untuk mengubah negara menjadi lebih toleran. Memulai dari media yang bersih akan tindakan provokatif dan saling caci, adalah misi yang harus diwujudkan anak muda untuk membangun Indonesia lebih beradab. Tentu halangan terbesar dari gerakan ini adalah matangnya konsep-konsep kelompok radikal yang sudah dijalankan.
Akan tetapi, dengan semangat yang menggelora dan dukungan dari pihak pemerintah, tidak ada yang tidak mungkin untuk merobohkan suatu sistem yang dirancang oleh kelompok radikal. Pemerintah secara mutlak adalah penguasa dari segala bentuk macam gerakan yang ada di Nusantara. Sehingga peran aktif dari pemerintah yang mendukung gerakan anak muda akan sangat memungkinkan terciptanya dunia digital yang sehat.
Harapan dari gerakan ini adalah masyarakat kian menjadi sosok yang humanis dan bijak dalam bermedia. Masyarakat juga paham akan pokok-pokok permasalahan dan dapat mengkonversinya menjadi gerakan persatuan. Juga tidak mudah terhasut oleh narasi-narasi provokatif yang sengaja dirancang untuk memecah belah bangsa. Oleh karena itu, gabungan dari semua elemen, baik masyarakat, anak muda, dan pemerintah adalah hal yang penting untuk menciptakan iklim media yang harmonis.