Harakatuna.com – Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri menangkap empat orang jaringan terorisme di daerah Majalengka dan Tasikmalaya. Ternyata, salah satu terduga teroris yang ditangkap adalah pria berinisial AR, yang bekerja sebagai guru di sebuah pondok pesantren di Tasikmalaya.
Kasubsi PIDM Sie Humas Polres Majalengka, Ipda Riyana, membeberkan bahwa penangkapan teroris tersebut saling berkaitan satu sama lain. Selain itu, dia menyebutkan kalau Densus 88 melakukan penggeledahan di empat rumah milik para terduga teroris didampingi Polres Majalengka.
Ancaman di Tahun Baru
Tak habis pikir, sebelumnya Majalengka jauh dari hingar-bingar kasus teroris. Namun sekarang, justru ditemukan setumpuk sel teroris dari warga Majalengka. Ini menjadi acuan bahwa tempat-tempat nyaman tidak lekang dari persembunyian kehidupan teroris.
Ketua RW setempat, Sabur Subekti, menyatakan bahwa AR dikenal sebagai sosok yang normal dan bersosialisasi dengan baik di lingkungan desa. Bahkan dia berprofesi sebagai guru yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku terorisme bisa berasal dari berbagai latar belakang. Kita tahu, guru adalah penyandang tugas mulia. Secara otomatis guru memiliki pemahaman terhadap agama dan literatur sosial-kenegaraan yang agak tinggi. Namun AR malah memilih menjadi aktor teroris ketimbang memajukan anak-anak dan bangsa Indonesia.
Kasus penangkapan ini mengingatkan dan menjadi tanda bahwa Tahun Baru 2025 tidak lepas dari ancaman terorisme. Meski demikian, masyarakat tidak perlu terlalu cemas dan tetap tenang menyikapi kabar penangkapan ini. Masyarakat cukup meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi terorisasi di sekitarnya. Aparat keamanan sering kali mengandalkan laporan masyarakat untuk mengidentifikasi ancaman dari teroris.
Seperti kita ketahui, dalam perayaan Tahun Baru ini, sudah banyak yang dilakukan pemerintah untuk memastikan perayaan Tahu Baru aman. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) misalnya menggelar operasi intelijen. Mereka juga melakukan koordinasi dengan sejumlah kementerian untuk melakukan pencegahan dan deteksi dini terhadap ancaman terorisme.
Kabarnya BNPT juga mengawasi media sosial yang menjadi kanal utama kelompok radikal bersemayam. Sekarang saatnya, masyarakat berhati-hati ikhwal potensi bahaya terorisme. Masyarakat perlu selektif dalam mencerna dan memperoleh informasi. Karena teroris di momen Tahu Baru sering melakukan transfer “teror” dalam kanal-kanal media sosial.
Melawan Terorisme dengan AI
Penangkapan di atas menjadi bukti teroris bisa dibabat lewat fisik. Namun dalam banyak kasus, teroris malah lebih canggih dalam mempengaruhi masyarakat. Data menyebutkan bahwa mereka menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI). Mereka menggunakan AI ini untuk memperkuat operasi mereka.
Teroris telah menggunakan yang namanya chatbot. Chatbot ini sangat mudah dioperasikan untuk menyebarkan propaganda secara otomatis melalui platform media sosial. Chatbot ini dapat berinteraksi dengan target secara personal dan menyebarkan ideologi radikal. Maka, jangan heran ketika anak-anak muda gampang terpapar paham radikal. Mereka sudah diincar oleh teroris dengan chatbot.
Di saat yang sama, teroris juga menggunakan atau membuat deepfake. Pembuatan deepfake ini bisa dipakai teroris untuk mendiskreditkan tokoh tertentu atau menyebarkan informasi palsu untuk memperburuk situasi. Ini pernah dilakukan teroris dengan menghidupkan atau memunculkan suara-suara orang yang telah mati untuk melakukan propaganda teror.
Nuurianti Jalli dan Irma Garnesia dalam artikelnya Synthetic Threats: The Potential Misuse of Artificial Intelligence for Extremist Propaganda in Southeast Asia (Fulcrum, 2024), mengatakan bahwa terorisme semakin intens memanfaatkan perangkat AI. Mereka bisa meningkatkan eksistensi di dunia maya (online presence) dan kemampuan pengiriman pesan radikal secara massif.
Nuurianti Jalli dan Irma Garnesia menemukan banyak dari mereka sudah membuat video menggunakan AI (chatbot dan deepfake) untuk menciptakan sosok juru bicara buatan yang sedang menyampaikan konten radikal. Para teroris ini melakukan propaganda lewat video dengan kualitas tinggi. Menurutnya, mereka menciptakan avatar digital dan deepfake untuk membuat sosok asli. Karena itu audiens semakin sulit membedakan antara konten asli dan palsu.
Salah satu yang dihidupkan adalah para pemimpin Jamaah Islamiyah (JI) dan pelaku bom Bali. Melalui AI tersebut dibuatkan narasi cerita secara rinci bagaimana mereka terlibat dalam insiden teror. Misalnya mereka menghidukan mendiang Dr. Azahari Husin, pembuat bom Malaysia di balik pengeboman Bali (2002, 2005) dan Jakarta (2003, 2004). Video yang awalnya diunggah pada tahun 2023, ditonton lebih dari 3,8 juta kali, disukai 120.000 kali, dan dibagikan lebih dari 2.000 kali di TikTok.
Bersama Melawan Terorisme
Jadi, potensi penyalahgunaan teknologi AI untuk tujuan radikal ini jelas berbahaya dibandingkan konten AI yang kita buat sebagai pengguna biasa. Oleh karena itu, di momen Tahun Baru ini masyarakat perlu kewaspadaan betul untuk melawan strategi teroris yang super kompleks dan canggih itu.
Aparat keamanan dapat menggunakan teknologi AI untuk mendeteksi dan melawan pola komunikasi, propaganda, atau aktivitas para teroris di dunia maya. Namun lebih dari itu, aparat juga perlu mengedukasi masyarakat tentang bahaya deepfake dan propaganda AI sehingga masyarakat lebih kritis terhadap informasi. Lebih-lebih di momen Tahun Baru ini, masyarakat dan negara harus kolaboratif untuk mengatasi penyalahgunaan AI oleh aktor jahat teroris. Hanya dengan cara ini Tahun Baru 2025 sedikit bisa lepas dari ancaman terorisme. Semoga.