27.5 C
Jakarta

Melawan Radikalisme Melalui Gerakan Moderasi Beragama

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMelawan Radikalisme Melalui Gerakan Moderasi Beragama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul: Membangun Manusia Indonesia, Penulis: Muhammad Ismail Adnan, Penerbit: Qaf Media Kreativa, Cetakan: VI, November 2021, Tebal: 222 Halaman, ISBN: 978-623-6219119, Peresensi: Fathorrozi, M.Pd.

Harakatuna.com – Belakangan ini, dalam tubuh Islam sendiri muncul kelompok yang gandrung menyalahkan keyakinan orang lain. Tidak menghormati perbedaan, bahkan mendorong tindak kekerasan. Jika dibiarkan berlarut, kelompok ini dapat merusak marwah Islam dan merongrong keutuhan Tanah Air Indonesia. Maka dari itu, memperkuat gerakan moderasi beragama menjadi salah satu cara melawan radikalisme tersebut.

Dewasa ini, moderasi semakin populer seiring dengan merebaknya radikalisme dan ekstremisme di banyak negara. Di Indonesia terma ini sebagai kampanye pengejawantahan nilai-nilai pancasila dan agama dalam memfilter mewabahnya ideologi atau paradigma yang sering menjadikan agama sebagai alat menghancurkan prinsip ke-bhinneka-an.

Dalam Islam konsep moderasi telah disebut sebagai bentuk atau keadaan yang ideal. Kalimat ummatan wasathan dalam surah al-Baqarah ayat 143, “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ‘umat pertengahan’ agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia…” menunjukkan sebuah prinsip moderasi.

Secara sederhana, moderasi beragama merupakan sikap atau pandangan yang tidak berlebihan, tidak ekstrem, dan tidak radikal (tatharruf) dalam beragama. Dalam konteks relasi antar bangsa, terlebih dalam menjaga kerukunan umat beragama di Indonesia, moderasi dapat dimaknai sebagai pilihan untuk berlaku adil (i’tidal) dan berperilaku baik (uswah hasanah).

Dalam buku Membangun Manusia Indonesia ini, penulis mengungkap sikap Prof. Dr. KH. Asep Saifuddin Chalim, M.A. (Pendiri Pondok Pesantren Mandiri Amanatul Ummah, Pacet, Mojokerto) dalam melakukan pergerakan moderasi beragama untuk memerangi radikalisme dan ekstremisme.

“Munculnya paham dan aliran yang mengatasnamakan Islam merupakan ancaman serius bagi eksistensi ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah. Karena itu harus diwaspadai. Aliran semacam ini cenderung ekstremis. Sasarannya ialah kalangan dengan ilmu agama yang minim dan kemiskinan. Salah satu upaya menangkalnya adalah melalui pendidikan dengan penanaman sikap moderasi beragama,” ungkap Kiai Asep (hlm. 196).

Ide moderasi atau sikap wasathiyah yang digaungkan Kiai Asep secara nyata telah diimplementasikan dalam kehidupan santri di Pondok Pesantren Amanatul Ummah, Pacet, Mojokerto. Melalui sikap ini, diharapkan mampu mencetak calon pemimpin masa depan yang memiliki prinsip tawasuth (moderat), i’tidal (adil), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang) dan amar ma’ruf nahi munkar (menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran).

Beberapa bentuk implementasi sikap moderasi atau wasathiyah yang telah diterapkan oleh Kiai Asep di pesantrennya antara lain:

Pertama, nilai kebersamaan. Nilai kebersamaan di Pondok Pesantren Amanatul Ummah terjalin di antara para santri tanpa memandang latar belakang keluarga, ekonomi, budaya, dan lainnya. Semua berbaur menjadi satu saat istirahat, makan, bermain, berinteraksi, dan seterusnya.

Kiai Asep menganggap ribuan santrinya sebagai anak sendiri. Ia telaten mendampingi para santri dalam menempuh impian di masa depan. Para santri ditanamkan nilai-nilai kebersamaan dan tanggung jawab.

Kedua, nilai toleransi. Sikap toleran Kiai Asep kepada santri adalah menganggap para santri sebagai anak-anaknya sendiri, meskipun mereka berasal dari latar belakang budaya, ras, suku yang berbeda-beda. Ia tetap mengajarkan tentang persatuan dan kesatuan sebagai anak bangsa. Selain itu, ia juga mengajarkan agar para santri tidak mudah menjustifikasi orang lain atau kelompok tertentu yang berbeda (hlm. 200).

BACA JUGA  Menyingkap Kesesatan Terorisme, Jalan Tol Ideologis Menuju Surga

Meski ditanamkan sikap toleransi, tapi pesantren yang diasuh Kiai Asep ini menolak paham dan sikap radikal. Gerakan seperti HTI ditolak oleh Kiai Asep karena mengusung misi tegaknya khilafah Islamiyah yang akan menggantikan pancasila sebagai dasar negara dan falsafah bangsa.

Ketiga, nilai kerjasama. Nilai kerjasama ditanamkan kepada santri, mulai dari tingkat kelas Taman Kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Seperti kerjasama dalam mendesain ruang belajar agar tampak nyaman, sejuk dan indah. Tak jarang, untuk memupuk nilai kerjasama ini, Kiai Asep menggelar lomba tata ruang kelas dan asrama.

Keempat, nilai kasih sayang. Kepada santri yang berjumlah ribuan itu, Kiai Asep selalu sempat mencurahkan perhatian, kasih sayang dan kepedulian. Dengan rasa tanggung jawab, Kiai Asep membimbing sendiri para santrinya untuk mengaji, terutama selepas Subuh. Ia tidak hanya memperhatikan urusan perut santri saja, namun juga terlibat langsung dalam urusan nutrisi otak.

Ia menyediakan beasiswa bagi santri-santri berprestasi, membentuk tim khusus yang diperuntukkan bagi santri-santri yang hendak meneruskan ke strata pendidikan tinggi di lembaga bergengsi dan tetap memperhatikan para santri meski sudah lulus dari pesantren (hlm. 204).

Kelima, nilai musyawarah. Menyadari bahwa bermusyawarah menjadi salah satu karakter manusia yang mampu menghargai pendapat orang lain, maka para santri di Pondok Pesantren Amanatul Ummah tidak hanya diwajibkan belajar dari buku atau dari guru, tetapi juga dari pertemanan dan hubungan interaksi antar teman.

Keenam, nilai keadilan. Di pesantren Kiai Asep, tidak ada upaya diskriminasi dalam penempatan kamar santri. Semua santri dari berbagai kalangan dianggap sama dalam menunaikan hak dan tanggung jawabnya. Perbedaan hanya diperuntukkan untuk asrama santri yang dari luar negeri, hal ini demi kemudahan dalam berkomunikasi.

Ketujuh, nilai menghilangkan kecurigaan (prejudice reduction). Kiai Asep paham betul perihal multikultur. Untuk itu, Pondok Pesantren Amanatul Ummah menerima para santri dari berbagai kultur atau latar belakang yang berorientasi pada organisasi keagamaan tertentu, dengan catatan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman dan pancasila.

Kedelapan, nilai kesetaraan. Dalam memupuk kesetaraan di lingkungan pesantren, Kiai Asep menekankan para santri untuk menggunakan pakaian yang sama (baju putih dan kopiah putih), terutama saat salat berjamaah. Kiai Asep juga tidak memilah-milih santri dari status sosial dan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa Pondok Pesantren Amanatul Ummah terhindar dari praktik-praktik diskriminasi (hlm. 208).

Akhir kata, buku yang dimukadimahi oleh Drs. H. M. Jusuf Kalla dan Prof. drg. Chairul Tanjung, M.B.A., ini sangat layak dibaca, dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan kita, terutama bagi kalian yang terjun di dunia pendidikan, agar gerakan moderasi beragama senantiasa terpancang kuat untuk melawan radikalisme dan ekstremisme.

Fathorrozi, M.Pd
Fathorrozi, M.Pd
Pegiat literasi dan pengasuh Qarnul Islam Ledokombo Jember

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru