28.9 C
Jakarta
spot_img

Melawan Radikalisme dengan Pendidikan Toleransi Sejak Dini

Artikel Trending

KhazanahOpiniMelawan Radikalisme dengan Pendidikan Toleransi Sejak Dini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sikap maupun perilaku radikalisme tidak lahir dari ruang kosong. Tidak tiba-tiba langsung muncul dari ruang hampa. Radikalisme lahir dari situasi yang dikondisikan. Sebab, sebagai sebuah paham ideologis, radikalisme sudah tentu memiliki tujuan maupun kepentingan-kepentingan politis—yang dalam konteks kehidupan NKRI bisa sangat mengancam dan merusak.

Maka itu, kebijakan anti radikalisme nyata-nyata dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018. Sehingga kita perlu untuk pula mewaspadai itu. Karena, menurut Prof. Mahfud MD dilansir dari tulisannya di Harian Kompas, “radikalisme dalam konstitusi dan hukum adalah paham yang ingin membongkar total ideologi dan konstitusi yang sudah disepakati rakyat melalui mekanisme yang terbuka.”

Prof. Mahfud MD juga menyebut bahwa ekspresi-ekspresi radikalisme bisa muncul dalam tiga bentuk. Pertama, dalam bentuk intoleransi. Kedua, pengembangan wacana anti-ideologi dan konstitusi. Ketiga, terorisme. Tiga bentuk itu yang mesti senantiasa kita waspadai, sambil pula mendukung program-program pemerintah yang terus bergerilya mencegah lahir dan tumbuhnya paham-paham radikalisme agar tidak semakin menyebar.

Sebagaimana sosialisasi bertajuk “Bahaya Paham Intoleran, Radikalisme, dan Terorisme di Kalangan Pelajar” yang dilakukan oleh Tim Cegah Satgaswil Densus 88 Polri bersama Polda Gorontalo di SMA Negeri 1 Paguyaman. Seperti dikutip dalam laman RRI (1/12/2024), sosialisasi tersebut bertujuan untuk mencegah adanya penyebaran paham intoleransi, radikalisme, dan terorisme di kalangan pelajar. Upaya-upaya tersebut mesti terus kita dukung. Cara terbaik untuk mendukung program-program semacam itu adalah, tentu saja, dengan memperkaya pemahaman agar tidak menjadi seorang yang radikalis dan intoleran.

Memahami Konstruksi Pemahaman Radikal

Mengapa memperkaya pemahaman? Sebagaimana saya jelaskan di atas, radikalisme tidaklah lahir dari ruang kosong, dan, karena itu, kelahiran radikalisme muncul dan dibidani dari situasi yang dikondisikan. Saya pernah meresensi buku milik Irfan Amalee berjudul Islam itu Ramah bukan Marah yang diterbitkan di laman Harakatuna dengan judul “Mendakwahkan Islam Penuh Keramahan”.

Dalam tulisan tersebut, saya menggarisbawahi fakta bahwa radikalisme—sebagaimana saya kutip dalam buku Irfan Amalee tersebut—ternyata lahir dari pemahaman. Tentu saja, adalah pemahaman yang keliru—yang dipelajari dari sumber-sumber yang radikal dan orang-orang yang memang “berideologi” radikal. Mungkin kita bisa berdebat bahwa pemahaman Islam radikal tidak selalu berujung pada aksi terorisme. Tetapi, jangan pernah menampik fakta bahwa aksi-aksi terorisme selalu berawal dari cara berpikir yang radikal. “Radical is only one step short by terrorism”.

Dalam terang ini, kita tentu bisa memahami bahwa setiap orang sesungguhnya terbentuk dari apa yang ia pelajari selama hidupnya. Dalam teori pembelajaran, selalu menjelaskan keterangan demikian. Apa yang kita pelajari adalah apa yang menjadi diri kita. Karena itu, belajar dan dipaksa belajar dari orang-orang atau sumber-sumber radikal akan menghantarkan kita untuk membentuk diri menjadi radikal pula—juga, menjadi pribadi yang penuh sifat dan sikap intoleran.

Nah, maka dalam terang tersebut pula, memperkaya pemahaman merupakan jalan utama yang mesti kita tempuh untuk mencegah pikiran kita terpapar oleh konstruk-konstruk radikal tersebut. Gerilya sosialisasi adalah upaya mencegah itu—mewanti-wanti tumbuhnya benih radikalisme di berbagai bilik pikiran bangsa. Termasuk, upaya-upaya kontra-narasi, sejatinya, adalah semacam gerakan untuk berusaha menggugurkan pikiran-pikiran radikalisme yang sudah terlanjur lewat dalam lalu lintas urat syaraf pikiran kita.

Memupuk Rasa Toleransi, Indonesia Bebas Radikalisme

Oleh karenanya kita mesti berperan aktif dalam memberikan pemahaman yang anti-radikalis, anti-intoleran, dan anti-ekstremisme. Misalnya, melalui diskusi, seminar kebangsaan, dan kalau perlu, pelatihan-pelatihan yang mengedepankan nilai-nilai inklusivitas—baik dalam ruang lingkup beragama maupun berkehidupan pada konteks kebangsaan Indonesia.

Sama halnya pula, bahwa menjadi seorang yang berpandangan inklusif, memiliki perspektif multikultural, dan penuh toleransi, juga tidak lahir secara tiba-tiba. Perlu pula pembelajaran dan pendidikan untuk membentuk itu. Tentu saja, bukan pembelajaran dan pendidikan yang berhenti pada level teoritis semata.

BACA JUGA  Menciptakan Pendidikan Inspiratif: Dari Kurikulum ke Karakter Bangsa

Kita mesti memberikan setting ulang terhadap model pendidikan kita. Agar tidak terus terjadi keresahan yang sama, sebagaimana dituliskan oleh Novita Putri Anggraini dalam esainya—“Refleksi Sosial, Psikologis, dan Kultural untuk Mengonter Radikal-Ekstremisme di Kalangan Anak Muda”—yang mencoba menjelaskan problem kesenjangan pendidikan kita karena tidak adanya kesempatan untuk berdiskusi secara kritis tentang nilai-nilai universal agama. Sehingga, banyak anak muda yang kemudian mencari solusi-solusi keberagamaan mereka di tempat lain, seperti bergabung dengan kelompok ekstremis.

Kita tentu tidak menginginkan hal tersebut terjadi berulang-ulang. Karenanya, kita memerlukan pencegahan radikalisme melalui satuan pendidikan secara menyeluruh, mulai dari guru hingga pendekatan sistem pembelajaran.

Guru, tentu saja, menjadi agen utama. Dan, jangan lupa, pendidikan bagi Ki Hajar Dewantara merupakan sesuatu yang sifatnya cair. Artinya, tidak terbatas dalam institusi pendidikan yang melembaga. Dengan kata lain, seluruh kehidupan (ini) adalah pendidikan. Karena itu, kita semua bisa menjadi guru, yang sekaligus adalah murid: untuk terus menghayati proses pembelajaran dan pendidikan itu sendiri secara holistik.

Adapun pada level praksis, demi mencegah paham radikalisme dan intoleransi, kita mesti melakukannya secara khusus. Misalnya, pelatihan literasi keagamaan lintas budaya (LKLB) yang beberapa waktu lalu digelar di Surabaya, menurut saya menjadi hal yang penting untuk juga diadopsi dan diadaptasi kembali di tempat-tempat lain demi membangun pembelajaran untuk tumbuhnya pemahaman yang lebih inklusif—penuh toleransi.

Di mana dalam pelatihan tersebut, seperti dilansir dari Harian Kompas (10/05/2024), berkumpul 35 guru dari sejumlah daerah di Jawa Timur yang berasal dari beragam sekolah. Mulai dari sekolah umum, sekolah agama Kristen, dan madrasah, dari jenjang pendidikan anak usia dini, SD, SMP, hingga SMA/SMK. Tujuan dari pelatihan itu agar terjadi perjumpaan dan proses dialog yang multikultural demi membangun kompetensi komparatif dalam memahami dan menghargai adanya perbedaan keyakinan beragama—sebuah proses toleransi beragama.

LKLB adalah bekal penting untuk kemudian bisa ditransformasikan kembali ke ruang-ruang kelas pembelajaran di seluruh penjuru negeri. Hal yang saya pikir sangat penting sebagai materi untuk menumbuhkan karakteristik anti-intoleran sejak dini di tengah ancaman model-model paham intoleransi yang sampai hari ini masih terus berlalu-lalang. Intoleransi, dan tentu saja, sikap eksklusivisme adalah pemahaman yang mesti kita jauhkan dari anak-anak usia dini.

Kita perlu untuk segera mulai menumbuhkan benih-benih toleransi sejak dini pada generasi penerus. Sebab, intoleransi akan sangat mudah mengantarkan seorang anak masuk ke dalam jerat radikalisme dan ekstremisme. Sikap antipati mereka terhadap yang lain, misalnya, bisa sangat menjadi lahan subur bagi tumbuhnya narasi-narasi radikalisme dan ekstremisme itu sendiri.

Oleh karena itu, kalau dulu kita sering diberi lagu tepuk anak sholeh dengan lirik: “Islam-islam, Yes… Kafir-kafir, No!”, yang sebenarnya itu memupuk sikap eksklusif bawah sadar anak didik. Maka, kita mesti menggantinya dengan lirik lagu yang lebih menuansakan pesan inklusif sebagaimana demikian, “kau temanku, ku temanmu, kita selalu bersama, seperti mentega dengan roti… seperti celana dengan baju.” Dikutip dari Harian Kompas, (1/5/2024).

Mari menuju Indonesia bebas radikalisme dengan menjadi agen-agen, baik sebagai guru maupun murid, yang terus bergerilya melahirkan pribadi-pribadi yang toleran serta memiliki perspektif multikultural yang inklusif dan santun—tidak suka mencaci-maki perbedaan liyan, apalagi saling menuduh kafir. []

Ahmad Miftahudin Thohari
Ahmad Miftahudin Thohari
Peminat kajian filsafat, kebudayaan dan sosiologi. Aktif di komunitas Dianoia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru