26.3 C
Jakarta

Melawan Radikalisme Agama dengan Pikiran Radikal

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMelawan Radikalisme Agama dengan Pikiran Radikal
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dalam dinamika kehidupan, perubahan demi perubahan sudah sepantasnya terjadi. Entah itu dari aspek keagamaan, sosial, ekonomi, kebijakan hukum, dan lainnya. Perubahan tersebut merupakan implikasi dari keaktifan nalar kognitif manusia, yaitu dengan memberikan rumusan-rumusan baru terhadap problematika hidup yang juga terbilang baru.

Corak budaya klasik yang masih dipertahankan hingga era dewasa ini, merupkan bentuk nyata dari ketidakberanian dan ketidakmampuan kita untuk mereformulasikan ulang budaya klasik menjadi lebih modern. Radikalisme agama merupakan salah satu bentuk budaya klasik yang hingga saat ini masih terdapat beberapa golongan yang mempertahankannya.

Sebagai negarawan yang semestinya mengedapankan rasa toleran, perdamaian, dan kesatuan, maka radikalisme-ekstremisme patut untuk dimusnahkan. Karena gerakan tersebut berifat destruktif yang menyimpang dari prinsip keberagaman, khususnya yang ada di Indonesia. gerakan tersebut juga yang disinyalir mampu menciptakan keresahan bahkan keretakan dalam persatuan Indonesia.

Bagaimana tidak! Gerakan tersebut melegalkan kekerasan, yang mereka anggap sebagai bentuk jihad, sebagai salah satu upaya mempertahankan agamanya. Hal ini secara fundamental tidak tepat. Karena menyalahi prinsip yang diusung oleh Nabi Muhammad, yaitu Islam sebagai rahmatan lil ‘aalamiin.

Kurangnya Literasi

Hemat para analisis agama dan budaya, radikalisme muncul sebagai konsekuensi logis dari minimnya wawasan dan pengetahuan dari berbagai literasi. Mereka membatasi bacaan mereka hanya kepada tokoh agama yang juga memiliki pemahaman tekstual dan konservatif.

Sehingga, hal itu menimbulkan kesan eksklusif di dalam golongan mereka. Sifat eksklusif memberikan gambaran kepada mereka bahwa selain dari apa yang mereka pahami adalah salah dan berhak untuk dieksekusi.

Di era yang serba modern ini, golongan yang mampu bersaing dengan dunia secara luas adalah yang memiliki wawasan luas. Sehingga, dari sana terbentuk epistemologi pemikiran yang rigid serta kritis. Kemampuan berlogika serta mampu mengimplementasikannya menjadi produk ilmiah yang apik, menjadi salah satu ciri khas dari kehidupan modern ini.

Pemahaman eksklusif yang dimiliki oleh radikalisme jauh dari hal tersebut. Maka dari itu, mereka mematenkan segala narasi agama, al-Qur’an dan Hadits, sebagai kebenaran tekstual yang tidak memerlukan interpretasi secara luas.

Kesesatan tersebut sudah barang tentu akan berdampak negative bagi umat. Ideologi yang tertutup, membunuh sikap kritis, melegalkan kekerasan, unlogical, dan kebodohan-kebodohan lain merupakan karakteristik yang melekat pada gerakan radikalisme.

Pikiran Radikal, Jalan Menghentikan Radikalisme

Jika tadi kita membahas mengenai gerakan radikalisme, kini ita beralih kepada pikiran radikal. Dua hal tersebut menggunakan istilah yang sama, yaitu “radikal”. Akan tetapi, secara epistemologis keduanya sangat kontradiktif. Pikiran radikal, bukanlah pikiran eksklusif yang kaku dan tidak komprehensif. Justru pikiran radikal adalah satu term dalam memproses pengetahuan untuk memberikan jalan epistemologi yang sesuai dan akurat.

BACA JUGA  Salah Fatal Para Radikalis Memahami Ayat-ayat Perang, Lawan!

Secara etimologis, radikal memiliki arti akar (radix), maksudnya adalah pemahaman terhadap suatu hal sampai akar-akarnya. Dalam artian, pikiran radikal adalah suatu usaha untuk menggali satu gagasan dengan mengaplikasikan berbagai pendekatan sehingga didapatkan kebenaran yang logis dan sistematis, serta mampu diterima oleh ilmu pengetahuan.

Berpikir radikal memerlukan rasionalitas yang tinggi, karena dalam aplikasinya perlu mengaitkan pendekatan satu dengan pendekatan lainnya, ilmu satu dengan ilmu lainnya. adalam catatan historis Islam, metode berpikir radikal dan rasional pertama kali dilakukan oleh kaum Muktazilah yang dipimpin oleh Washil ibn Atha’.

Daya tarik yang diciptakan oleh jalan pikiran radikal akan lebih indah daripada ancaman dan paksaan yang dilakukan oleh radikalisme. Dalam al-Qur’an sendiri perintah untuh berpikir, menelaah, menganalisis, dan mengaktifkan nalar kognitifnya merupakan suatu kewajiban.

Dalam epistemologi penafsiran Islam, terdapat dua metode yang sudah terlegitimasi secara konsensus ijmak, yaitu metode bi al-ma’tsur dan bi al-ra’y. Penafsiran bi al-ma’tsur bisa dikatakan sebagai penafsiran dengan menggunakan narasi keagamaan, seperti Al-Qur’an dan Hadits.

Sedangkan, metode bi al-ra’y mengedapankan rasionalitas logika dalam proses interpretasinya. Hal ini menandakan bahwa sebenarnya ijma’ ulama memberikan kesempatan bagi akal untuk diregulasikan dalam interpretasi keagamaan.

Gagasan yang sama juga diajukan oleh Harun Nasution, seorang pemikir Islam terkemuka di Indonesia, prototipe pemikir Muslim yang lahir dalam tradisi keilmuan Barat dan Timur Tengah. Harun berpendapat bahwa karena perkembangan modern membutuhkan pemikiran kritis. Selain itu, mengubah pemikiran radikalisme yang bersifat tradisional menjadi pemikiran yang radikal dan rasional, akan berkontribusi bagi kebangkitan Islam di era ini.

Menghindari radikalisme dalam beragama, yang masih kental akan tradisional pemahamannya, perlu pengukuhan akal sebagai landasan utamanya. Tokoh-tokoh cendekiawan Isla yang lahir era modern ini telah memberikan gagasan apiknya untuk mencegah adanya kekerasan dalam beragama. Selain Harus Nasution, terdapat Nurcholis Madjis, yang juga tokoh penggerak modernisasi dalam Islam dari Indonesia, serta tokoh-tokoh lainnya.

Pembaruan pemikiran tidak akan bisa digaungkan kepada dunia, jika model pikiran radikalis-ekstremis masih bermunculan. Karena dunia tidak akan pernah mau menerima dokrin agama dengan bentuk kekerasan, ancaman, dan paksaan. Dunia akan lebih menerima doktrin agama yang berbasis ilmu pengetahuan dan wacana perdamaian semesta.

Mahfudhin
Mahfudhin
Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an dan Sains Al-Ishlah. Peminat kajian tafsir Al-Qur’an, filsafat, linguistik, pendidikan, dan sosial-budaya.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru