31.8 C
Jakarta

Melawan Radikalisme Agama dengan Beragama Secara ‘Radikal’

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMelawan Radikalisme Agama dengan Beragama Secara ‘Radikal’
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kelompok radikalisme-ekstremisme masih menjadi momok bagi keutuhan berbangsa dan bernegara. Bukan hanya di Indonesia, ancaman destruktif ajaran kelompok tersebut juga membayangi beberapa negara lain di dunia.

Hal ini ditandai dengan sikap eksklusif dari para pengikutnya bahkan sampai pada tindakan membenarkan tindak kekerasan atas nama agama secara membabi buta. Inilah yang kemudian disinyalir merupakan biang dari aksi teror yang mengancam stabilitas dan keharmonisan di tengah-tengah masyarkat.

Berangkat dari masalah tersebut, kita perlu bersinergi dalam rangka mengonter ajaran-ajaran mereka yang terus merasuki pikiran masyarakat. Selain negara yang memiliki kekuasaan formal, masyarakat juga harus turut aktif melakukan perlawanan sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan cara mengimbangi narasi-narasi dan wacana-wacana kaum salafi yang berseliweran di media massa.

Syahdan, salah satu karakteristik kaum Salafi-Wahabi (sebagai salah satu agen ekstremisme beragama) adalah sikap konservatif dalam beragama sehingga tidak mau menerima hal baru dan kreasi-kreasi inovatif.

Mereka kerap kali mempertanyakan dalil terhadap amaliah atau tindakan ‘asing’. Segenap tindakan yang tidak ada dalilnya –dalam pandangan mereka- dari Al-Qur’an atau hadis akan divonis sebagai perbuatan bid’ah yang pelakunya dianggap sesat dan akan masuk neraka.

Dalam pandangan mereka, dalil hanya terbatas pada Al-Qur’an dan hadis. ketika berdalil menggunakan ayat dan hadis pun terkadang dilakukan secara serampangan tanpa memperhatikan kaidah-kaidah istidlal. Oleh karenanya, dibutuhkan suatu instrumen penunjang untuk memahami teks Al-Qur’an dan hadis agar tidak terjebak pada pemahaman yang kaku dan eksklusif.

Ushul Fikih Sebagai Basis

Menurut sebagian pengamat, radikalisme beragama muncul sebagai akibat dari kurang ‘radikal’ dalam memahami agama itu sendiri. (Istilah radikal yang saya maksud di atas adalah makna bahasa dari radikal itu sendiri, yaitu memahami secara mendalam sampai ke akar-akarnya).

Oleh karenanya diperlukan suatu epistemologi yang mampu mengantarkan kepada pemahaman terhadap agama secara mendalam sampai ke akar-akarnya. Tujuannya agar masyarakat tidak terjebak dalam jerat radikalisme. Epistemologi yang tepat adalah ushul fikih.

Sebagai instrumen (alat) untuk memahami dalil-dalil, ushul fikih perlu didayagunakan untuk mengcounter pandangan kelompok ekstremis. Secara sederhana, ushul fikih dapat diartikan sebagai kaidah-kaidah umum yang mengkaji seputar dalil-dalil syar’i.

Dalam Kitab Ushul Fikih Wahab Khalaf, salah satu kitab yang populer di kalangan penikmat kajian ushul fikih, dijabarkan setidaknya empat tema besar yang dikaji dalam ilmu ushul fikih.

Pertama, pembahasan tentang dalil-dalil yang bisa dijadikan sumber hukum. dalam diskursus ushul fikih, pembahasan mengenai dalil menjadi sangat penting karena dalil itu sendiri merupakan objek kajian ilmu ushul fikih.

Dalil dalam kajian ushul fikih terbagi menjadi dua kategori umum, al-adillah al-muttafaq ‘alaiha (dalil yang disepakati) dan al-adillah al-mukhtalaf fiha (dalil yang masih debatable). Al-Qur’an, hadis, ijmak dan qiyas merupakan dalil-dalil yang eksistensnya disepakati oleh ulama. Sedangkan istishab, istihsan, al-maslahah al-mursalah, sadd al-dzari’ah, adat kebiasaan dan sebagainya merupakan rumpun dalil yang eksistensinya masih menjadi ajang perdebatan ulama.

BACA JUGA  Menghindari Tafsir Tekstual, Menyelamatkan Diri dari Radikalisme

Al-Qur’an dan hadis memang berperan sebagai sumber hukum utama, tetapi harus diakui bahwa masih ada opsi dalil lain yang bisa digunakan untuk menjawab suatu persoalan.

Adalah hal yang wajar jika terdapat fenomene-fenomena baru yang tidak dijumpai penjelasan hukumnya dalam Al-Qur’an dan hadis. Hal ini dikarenakan teks al-quran maupun hadis terbatas, sedangkan kehidupan manusia terus mengalami dinamika dan perkembangan. Oleh karnanya, perlu kiranya mengadopsi dalil-dalil lain untuk menjawab sebuah persoalan yang dihadapi di tengah-tengah masyarakat.

Kedua, pembahasan terkait hukum-hukum yang mencakup kepada hukum taklifi dan hukum wadh’i. Pembahasan ini tidak kalah pentingnya dengan tema-tema lain dalam ushul fikih terutama ketika ingin mengaplikasikan hukum syariat dalam kehidupan nyata.

Kita mengakui bahwa jihad atau amar makruf nahi mungkar memang wajib hukumnya. Namun, kita perlu mencermati dan mempelajari kondisi sekitar baik medan yang menjadi objek atau kita sebagai subjek.

Barangkali ada syarat wajib yang belum terpenuhi, ada mani’ (faktor pencegah) sehingga ia tidak bisa diterapkan dan sebagainya. Itulah yang disebut dengan hukum wadhi. Kejelian dalam membaca hal-hal seperti ini (hukum wadh’i) penting dimiliki agar tidak serampangan dalam menerapkan hukum syariat.

Ketiga, kaidah-kaidah kebahasaan. Dalam ushul fikih, pembahasan ini erat kaitannya dengan metode penafsiran teks. Seperti teori hakikat, majaz, kapan suatu ayat dimaknai umum, kapan ia dimaknai spesifik, nasikh-mansukh dan masih banyak lagi teori kebahasaan lainnya.

Teori-teori ini diproyeksikan untuk membantu memahami teks al-quran atau hadis dengan benar sehingga diharapkan akan lahirkan output (kesimpulan hukum) yang benar pula. Tanpa berpijak pada teori-teori ini, orang-orang akan serampangan dalam memahami kedua nash suci tersebut. Parahnya lagi jika hanya mengandalkan terjemahan dalam memahami maksud Al-Qur’an dan hadis Nabi.

Kempat, kaidah-kaidah tasyri’iyah atau yang kemudian berkembang menjadi maqasid syariah. Kajian maqasid syariah diproyeksikan untuk mengetahui hikmah di balik pensyariatan suatu hukum. Dengan pemahaman yang memadai terhadap aspek-aspek maqasid syariah, seseorang tidak akan mudah terjerat dalam sikap konservatif dan kaku dalam beragama. Hal ini karena ia telah mampu menangkap hikmah atau tujuan disyariatkannya suatu keputusan hukum.

Dengan memahami hal-hal di atas, seseorang akan memiliki wawasan yang luas terhadap agama. Sehingga pada akhirnya, ia akan terhindar dari sikap kaku dan ekstrem dalam beragama. Ia juga tidak akan mudah menyalahkan apalagi menjudge orang lain sebagai pelaku bid’ah yang sesat. Karena dengan latar belakang keilmuan yang mengakar, ia memiliki pertimbangan dan perenungan yang matang sebelum bertindak.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa kurang mendalam dalam memahami agama menjadi salah satu pemicu sikap konservatif-ekstremis dari sebagian kalangan. Oleh karenanya, pendidikan yang intensif masih menjadi primadona utama dalam hal menolak paham-paham radikalisme-ekstremisme. Wallahu a’lam.

Muhammad Zainul Mujahid
Muhammad Zainul Mujahid
Peminat Kajian Fikih Ushul Fikih, Mahasantri Ma’had Aly Situbondo.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru