25.7 C
Jakarta

Melawan Propaganda Khilafah dengan Mengeksekusi Mati Para Koruptor, Mungkinkah?

Artikel Trending

Milenial IslamMelawan Propaganda Khilafah dengan Mengeksekusi Mati Para Koruptor, Mungkinkah?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Krisis dan inflasi di Indonesia sepertinya sudah dirasakan berbagai pihak, terutama masyarakat bawah. Suatu hari, ketika sedang ngojek dari stasiun ke kontrakan, driver-nya cerita bahwa hari ini semua kebutuhan harian naik. Tak hanya BBM, sembako juga menanjak. Namun ia bilang, yang bikin kesal bukan itu, melainkan kebijakan pemerintah yang ia anggap dagelan. Para koruptor yang merugikan negara ribuan triliun malah tidak ditindak dengan tegas.

Saya agak tertegun ketika mendengar ceritanya. Tampaknya, si driver mengikuti berita nasional yang hari-hari riuh oleh kenaikan BBM dan, yang terbaru, bebas bersyaratnya Jaksa Pinangki. Pinangki sebagai maling negara yang terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan total USD375.229 atau setara Rp5,25 miliar dan divonis 10 tahun, dipangkas jadi 4 tahun, dan kini bebas bersyarat setelah 2 tahun dibui. Ia sungguh telah melahirkan kekesalan di masyarakat.

Masalahnya, kekesalan tersebut semakin menebalkan kebencian sebagian masyarakat terhadap pemerintah. Ironisnya, propaganda khilafah semakin bak menemukan angin segar untuk memprovokasi masyarakat bahwa satu-satunya cara mencapai keadilan sosial adalah menegakkan khilafah. Pancasila dan NKRI mereka anggap lemah dan tidak sesuai Islam. Dan yang menyebalkan adalah, kontra-khilafah tersendat fakta bahwa kasus korupsi di negara ini sudah keterlaluan.

Megakorupsi yang merugikan negara sudah menutup jalan melawan propaganda khilafah tersebut. Koruptor seperti Eddy Tansil, kasus kredit macet Bapindo dengan nilai jarahan Rp 9 triliun; David Nusawijawa, kasus korupsi BLBI dengan nilai curian Rp 1,2 triliun; Adrian Kiki Ariawan, kasus korupsi BLBI dengan nilai curian Rp 1,5 triliun; Eko Adi Putranto, kasus korupsi BLBI dengan nilai curian Rp 2,659 triliun; dan Maria Pauline Lumowa, kasus L/C fiktif Bank BNI dengan nilai curian Rp 1,7 triliun.

Belum lagi Sjamsul Nursalim, Lidya Mochtar, Bambang Sutrisno, Harun Masiku, dan lainnya. Belum lagi dugaan kerajaan judi Ferdy Sambo cs. Semua itu jadi bahan propaganda khilafah dengan premis bahwa negara ini sudah tidak layak huni karena maraknya pejabat korup. Lalu saya punya tawaran begini, bagaimana misalnya negara mengambil jalan pintas meredam propaganda tersebut dengan cara menutup bahan propaganda tersebut, yakni dengan mengeksekusi mati para koruptor?

Narasi Khilafah tentang Korupsi

Korupsi di negara ini dilakukan oleh oknum, namun sayang oknumnya kelewat banyak. Sampai-sampai tidak ada pembelaan yang efektif terhadap demokrasi dan Pancasila, karena seluruh ruang politik tersumbat oleh kasus-kasus yang memang fakta merugikan negara. Para koruptor, pada saat bersamaan, bersikap tidak tahu malu. Senyum-senyum ke kamera publik, misalnya, yang tentu saja semakin membuat masyarakat geram dan harusnya mereka dieksekusi mati.

Penting untuk dicatat, propaganda khilafah memanfaatkan segala hal sebagai bahan mereka. Apabila ada kasus-kasus yang mengindikasikan bahwa negara ini tidak baik-baik saja, mereka akan segera beraksi. Misalnya, ekonomi anjlok, maka aktivis HTI akan langsung bikin kajian tentang buruknya kapitalisme sekuler. Contoh lain misalnya terjadi chaos politik, maka para khilafahers langsung bikin narasi bahwa satu-satunya jalan keluar adalah pemerintahan Islam yakni khilafah.

BACA JUGA  Mega Korupsi: Penghalang Indonesia Maju, Pemantik Terorisme

Korupsi juga demikian. Ia adalah umpan empuk bagi para aktivis khilafah untuk mengajak masyarakat menerima ajakan mereka. Mereka akan bilang bahwa rakyat hari ini tidak sejahtera, atau bahwa pemerintah semena-mena karena sistem thaghut yang diadopsi dari Barat-kafir. Mereka punya banyak data untuk itu, dan korupsi adalah data seksi untuk mempropagandakan khilafah. Narasi khilafah tentang korupsi adalah narasi pemecahan masalah. Itulah mengapa susah dilawan.

Misalnya saya akan melawan propaganda khilafah tersebut, maka saya akan diprotes melalui pertanyaan, “bagaimana kabar Harun Masiku?”, “membela rezim yang tukang korupsi dan melindungi koruptor?”, atau yang lebih spesifik, “Pinangki bebas, hukum di negara Wakanda ini memang ajaib, mengapa kamu gak pake hukum Islam aja di bawah pemerintahan khilafah?”, dan protes lainnya. Jadi, faktanya ada: korupsi, dan mereka tinggal memasifkan narasinya.

Yang seperti itu sangat perlu untuk diperhatikan. Seperti yang selalu saya katakan, peluang politisnya wajib ditutup sehingga propaganda khilafah tidak lagi punya bahan. Bagaimana dalam konteks maraknya kasus korupsi? Yaitu membuktikan kepada aktivis khilafah dan masyarakat bahwa negara ini adil dan tidak bersistem thaghut. Bagaimana caranya? Eksekusi mati para koruptor, habiskan mereka, buat hidup mereka melarat, bahkan eksekusi mati kalau korupsi sampai triliunan.

Koruptor: Sampah NKRI

Beredar juga satire di Instagram tentang berita bahwa mantan koruptor bisa nyalon sebagai DPR. Pasalnya, Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) tidak lagi jadi syarat nyaleg, sehingga kursi legislatif boleh diduduki para koruptor. Kelucuan macam apa ini? Apakah NKRI kekurangan orang sehingga tanpa koruptor negara ini terasa tidak lengkap? Apakah para mantan maling yang berpeluang nyalon itu hendak diberi panggung untuk merugikan negara lagi?

Maling tetaplah maling. Sekali seseorang berani menilap uang negara, maka ia akan mengulanginya selama punya kesempatan. Tidak peduli berapa banyak negara rugi, karena yang ada dalam otak koruptor adalah bagaimana mereka bisa kaya raya tanpa batas. Mereka, para koruptor, adalah sampah NKRI. Orang-orang seperti Harun Masiku atau Pinangki seharusnya dimiskinkan, dibuat menderita hidupnya, dicabut hak politiknya, atau tembak mati. Itu wajib.

Apakah koruptor tidak berhak diperlakukan secara kemanusiaan? Sangat berhak. Tetapi memberikan mereka panggung politik adalah sama halnya dengan memberikan mereka peluang mencuri uang negara lain. Jangan sampai propaganda khilafah menjadikan itu semua untuk menebarkan narasi destruktif: bahwa negara ini thaghut, atau bahwa Pancasila sebagai falsafah negara tidak berdaya di hadapan koruptor. Jangan sampai makar atau bughat terjadi karena koruptor merajalela.

Sebagai sampah negara, para koruptor harus dibuang sejauh mungkin. Paling tidak, jika konstitusi tak punya wewenang untuk mengeksekusi mati mereka, jangan berikan mereka kesempatan politik. Sebab, yang terkena getahnya adalah NKRI secara umum. Kontra-propaganda khilafah menjadi tidak berdaya, karena para aktivis khilafah menjadikan fakta-fakta nasional sebagai bahan propaganda. Jadi, mungkinkah melawan propaganda khilafah dengan mengeksekusi mati para koruptor? Sangat mungkin. Tinggal bagaimana konstitusi menyegerakannya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru