30.4 C
Jakarta

Melawan Propaganda Ekstremisme di Era Digital, Inilah Pendekatan yang Efektif

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMelawan Propaganda Ekstremisme di Era Digital, Inilah Pendekatan yang Efektif
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dalam satu dekade terakhir, dunia digital telah menjadi arena penting bagi dinamika sosial, politik, dan ideologis, termasuk penyebaran ekstremisme. Internet menawarkan platform yang memungkinkan aktor ekstremis menyebarkan ideologi, merekrut anggota, dan memobilisasi tindakan dengan efisiensi yang tak pernah ada sebelumnya. Menurut laporan dari Global Internet Forum to Counter Terrorism (GIFCT), lebih dari 90% konten ekstremis ditemukan di platform media sosial utama, dengan sebagian besar berfokus pada narasi agama yang dimanipulasi untuk tujuan radikal.

Ekstremisme di dunia digital menjadi isu kritis karena dampaknya melampaui batas geografis, menyentuh individu lintas budaya dan generasi. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis bahaya yang ditimbulkan oleh ekstremisme dalam dunia digital, memahami mekanisme penyebaran ideologinya, serta mengevaluasi tantangan dan peluang dalam menanggulanginya.

Ekstremisme dalam dunia digital menggunakan tiga mekanisme utama untuk mencapai tujuannya: (1) propaganda ideologis, (2) rekrutmen individu, dan (3) mobilisasi serangan. kelompok seperti ISIS dan Al-Qaeda menggunakan platform seperti Twitter, Telegram, dan YouTube untuk menyebarkan narasi bahwa dunia Barat berperang melawan Islam. Sebagai contoh, pada puncak operasinya, ISIS memproduksi lebih dari 40.000 unggahan bulanan di berbagai bahasa untuk menyampaikan pesan ke khalayak global.

Ekstremis menggunakan algoritma media sosial untuk menargetkan individu yang rentan, seperti mereka yang merasa teralienasi secara sosial atau mengalami krisis identitas. Sebuah studi oleh RAND Corporation menemukan bahwa 70% rekrutmen oleh ISIS dilakukan melalui komunikasi awal di platform online, melalui percakapan yang bersifat pribadi dan intensif.

Platform digital juga memungkinkan koordinasi serangan, seperti dalam kasus serangan teror di Paris tahun 2015, di mana para pelaku menggunakan aplikasi pesan terenkripsi untuk merencanakan tindakan mereka. Data dari Europol menunjukkan bahwa lebih dari 80% serangan teror di Eropa dalam lima tahun terakhir memiliki jejak digital.

Bahaya ekstremisme dalam dunia digital terletak pada kemampuannya mengaburkan batas antara ruang publik dan privat. Dunia digital menciptakan echo chambers di mana individu hanya terekspos pada informasi yang memperkuat bias dan keyakinan mereka. Teori psikologi sosial, seperti confirmation bias dan social identity theory, membantu menjelaskan bagaimana individu dapat terperangkap dalam lingkaran radikalisasi.

Social identity theory (SIT) menyatakan bahwa individu mendefinisikan diri mereka tidak hanya melalui karakteristik pribadi (personal identity), tetapi juga melalui hubungan mereka dengan kelompok sosial tertentu (social identity). Sehingga radikalisasi sering terjadi ketika seseorang mengalami krisis identitas atau merasa terasing dari komunitasnya. Dalam konteks itu, SIT menjelaskan bagaimana individu dapat terperangkap dalam radikalisasi melalui sejumlah mekanisme.

BACA JUGA  Menyelamatkan Generasi Muda dari Propaganda Radikal dan Ancaman Rekrutmen Teroris

Pertama, krisis identitas dan kebutuhan akan kelompok. Ketika individu merasa kehilangan arah, mengalami diskriminasi, atau terasing secara sosial, mereka menjadi lebih rentan untuk mencari kelompok yang memberikan makna dan identitas. Kelompok ekstremis memanfaatkan kebutuhan tersebut dengan menawarkan rasa memiliki dan tujuan yang kuat.

Kedua, polarisasi in/out group. Kelompok ekstremis menggunakan narasi yang mengkategorikan dunia dalam istilah biner: kami (umat Islam sejati) versus mereka (musuh Islam). Narasi itu mendorong anggota untuk memandang kelompok luar sebagai ancaman eksistensial. Ketiga, internalisasi ideologi ekstremis. Melalui proses identifikasi sosial, individu mengadopsi ideologi dan nilai-nilai kelompok ekstremis sebagai bagian dari identitas pribadi mereka. Hal itu diperkuat oleh solidaritas terhadap ingroup dan keinginan untuk membela kelompok dari ancaman yang dirasakan

Keempat, legitimasi kekerasan. Perbandingan antarkelompok yang terus-menerus mengarah pada dehumanisasi kelompok lain. Ketika kelompok luar dilihat sebagai musuh yang tidak memiliki nilai kemanusiaan, kekerasan terhadap mereka menjadi lebih mudah dibenarkan.

Namun, dunia digital juga menciptakan peluang untuk melawan ekstremisme. Program deradikalisasi berbasis online, seperti Counter-Narrative Campaigns oleh organisasi seperti Institute for Strategic Dialogue (ISD), telah menunjukkan keberhasilan dalam menantang narasi ekstremis melalui cerita yang memanusiakan korban dan menampilkan keberagaman dalam Islam. Selain itu, pengembangan kecerdasan buatan (AI) untuk mendeteksi konten ekstremis semakin canggih. Sebagai contoh, algoritma yang dikembangkan oleh GIFCT mampu mengidentifikasi dan menghapus lebih dari 15 juta unggahan terkait ekstremisme hanya dalam dua tahun terakhir.

Tantangan utama terletak pada keberlanjutan upaya itu, mengingat sifat dunia digital yang dinamis dan tersembunyi. Enkripsi end-to-end, misalnya, mempersulit lembaga pemerintah untuk memantau percakapan tanpa melanggar privasi individu. Selain itu, perbedaan kebijakan antiterorisme di berbagai negara menghambat kerja sama internasional.

Ekstremisme dalam dunia digital adalah fenomena kompleks yang membutuhkan pendekatan multidisiplin untuk memahami dan menanganinya. Dunia digital memperluas jangkauan dan dampak ekstremisme melalui propaganda, rekrutmen, dan mobilisasi. Namun, teknologi yang sama juga menyediakan alat untuk melawan narasi ekstremis dan mendukung inklusivitas.

Masa depan penanggulangan ekstremisme dalam dunia digital bergantung pada kemampuan kita menggabungkan teknologi canggih dengan pendekatan berbasis komunitas. Pendidikan literasi digital dan promosi dialog lintas budaya juga harus menjadi bagian integral dari strategi pencegahan. Melalui kerja sama yang lebih kuat antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil, ancaman ekstremisme dapat dikelola tanpa mengorbankan nilai-nilai kebebasan dan hak asasi manusia.

Awal Ummah, S.H
Awal Ummah, S.H
Lulusan Sarjana Hukum Islam di Universitas Islam Indonesia. Aktif dalam berbagai organisasi baik intra maupun ekstra kampus, salah satunya HMI.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru