Harakatuna.com – Beberapa waktu lalu, teman-teman saya memberikan beberapa lembar buletin milik kajiannya. Buletin Dakwah Kaffah, yang rutin terbit tiap hari Jumat itu. Tentu saja, saya tidak bisa menolaknya. Saya menerimanya dengan senang hati, untuk kemudian mencoba memahami “pesan-pesan” dakwah yang coba mereka sampaikan dalam buletin tersebut. Berangkatnya tulisan ini, juga merupakan respons dari beberapa tulisan yang saya baca dari buletin yang sangat “khas” mereka itu—sarat idelogi khilafah islamiah.
Sebagaimana kebiasaan mereka dalam membikin tulisan di Buletin Kaffah, mereka pastilah ikut mengamati sekaligus menanggapi isu-isu yang sedang marak di Indonesia. Mulai dari hal ekonomi, pendidikan, agama, hingga politik. Bagi mereka “jihad” untuk terus memerangi “kezaliman” dengan berupaya tanpa henti mendidirikan sistem khilafah versi mereka sebagai sistem pemerintahan adalah hal “wajib” yang harus dilakukan. Itu merupakan jalan suci mereka.
Mereka menanggapi secara kritis isu-isu yang mereka amati. Tapi, satu hal yang pasti terpola, bahwa akan selalu ada solusi sarat ideologis yang mereka tawarkan, yaitu: penegakan sistem khilafah, yang bagi mereka adalah solusi dari segala masalah. Sistem khilafah versi mereka layaknya obat yang ampuh: cespleng.
Memang begitulah preferensi dakwah mereka dalam uraian-uraian yang tergurat akan selalu “terpola” demikian di setiap buletin-buletin itu. Menarik, tapi, tentu saja, sekaligus bias ideologis. Mendompleng isu adalah hal wajar bagi mereka, bahkan mesti dilakukan, khususnya di Indonesia.
Sudah banyak rekam jejak itu. Misalnya dalam aksi-aksi demo, Fatmi Isrotun Nafisah dalam tulisannya, Para Penyeru Khilafah Berkeliaran di Sekitar, Kita Harus Apa?, juga meng-highlight bagaimana kelompok-kelompok pengusung “ideologi khilafah” semacam itu menunggangi isu untuk berkampanye dalam kepentingan ideologis mereka terkait solusi-solusi cespleng khas mereka.
Hal sama seperti yang dilakukan oleh kelompok FPI dalam aksi terbarunya, yakni Aksi 411, di depan Istana Kepresidenan Jakarta. Seperti biasanya, mereka tentu akan terus menyerukan kampanye bela Palestina—yang, tentu saja, sudah mereka desain matang penggiringan maksud aksinya. Sekaligus, tak mau ketinggalan dengan netizen Indonesia, mereka juga menuntut penangkapan pemilik akun Kaskus ‘Fufufafa’ sambil juga menyeru agar mengadili Jokowi.
Saya ingin mengatakan bahwa akan selalu ada mereka yang juga ikut menyuarakan aksi di setiap isu-isu yang terjadi di Indonesia, dengan standpoint yang tentu kontras “ideologis khilafah”. Maka itu, PR untuk terus melakukan kontra-narasi juga mesti terus kita gulirkan—setidak-tidaknya sebagai narasi “penyeimbang”.
Saya tentu sepakat, bahwa mereka adalah kelompok yang cerdik, tapi sekaligus: “licik”. Politik belah bambu yang FPI lakukan, dan rebranding yang mereka munculkan—sebagaimana dalam tulisan Agus Wedi, Politik Belah Bambu FPI dan Rebranding Menarik Perhatian Publik—adalah satu dari sekian banyak contoh “kelicikan-kelicikan” mereka. Kepandaian mereka dalam menyusun gerakan “politik jalan memutar” sangat bisa kita lihat dalam setiap aksi-aksi yang dilakukan.
Simbol, Radikalisme, Politisasi Agama
Ada bahaya yang mesti kita pahami dan cermati. Dalam konstelasi peta perpolitikan di Indonesia, agama, khususnya Islam, memang sangat laku keras—bagi para politisi, bahkan bagi masyarakat sipil—untuk digunakan dalam memperoleh simpati publik. Kita tidak bisa memungkiri itu. Politik identitas meski tak lagi kentara, tapi gradasi-gradasinya masih dengan mudah kita jumpai karakteristiknya.
Apa yang dilakukan FPI pun merupakan satu dari sekian banyak contoh itu—politik agama. Dengan serta merta—FPI dan kelompok-kelompok sejenisnya—melalui identitas Islam yang telah mereka versikan untuk jalan politis yang hendak mereka tempuh dan raih, mereka tiba-tiba berubah menjadi tidak hanya “polisi moral”, tapi sekaligus juga “polisi agama’.
Dada kita sesungguhnya sudah sangat pengap akan hal itu. Ketika agama selalu menjadi lahan basah untuk tujuan-tujuan politik semu dan mengooptasi rakyat. Simbol-simbol agama, misalnya, selalu saja berlalu-lalang memenuhi ubun-ubun pikiran kita yang tak lebih hanyalah citra politik superfisial.
Khilafah islamiah, sebagaimana yang diaksikan oleh para pengusungnya—baik dalam domain tulisan maupun aksi-demo—dengan “simbol-simbol agama” yang sudah mereka susun-siapkan, secara permukaan mungkin sangat hendak menciptakan keadilan yang hakiki dan seakan penuh “keberkahan” Islam. Seolah memberikan solusi ampuh: cespleng.
Tapi, apakah benar-benar itu tujuan mereka? Saya rasa kok agak naif untuk kemudian secara gampang menerimanya. Toh, sesungguhnya kita sudah jengah—dan sudah semestinya jengah. Bahkan, sudah cukup muak hati kita dijejali narasi-narasi kampanye, termasuk aksi, yang dilakukan secara politis ketika tiada hentinya menggunakan Islam sebagai pelengkap citra kebusukan.
Agaknya itu pula yang membuat Shofwania Trihastuti membuat tulisan berjudul Tangkal Radikalisme dan Politisasi: Mengembalikan Agama sebagai Perekat Bangsa. Isi tulisannya seolah menyuarakan keresahan hati dan pikiran kita semua akan kenyataan-kenyataan agama yang selalu saja menjadi pernak-pernik politik jalan praktis di gelanggang kehidupan masyarakat Indonesia.
Apalagi tentang radikalisme. Setuju sekali dengan Trihastuti, yang dalam tulisannya itu ia menuliskan demikian, “radikalisme mengambil bentuk (baru) dalam proses politik. Hal itu menembus gerbang sempit di mana kecemasan akan identitas bertemu dengan ketidakpuasan terhadap kondisi sosial dan politik yang ada.”
Artinya, radikalisme, sebagai juga simbol-simbol politis agama, digunakan pula oleh mereka-mereka itu, sebagai alat untuk menunjukkan perjuangan melawan bentuk-bentuk kezaliman dalam domain kehidupan sosial-politik suatu masyarakat. Padahal dalam kenyataan yang terjadi, seperti dituliskan Trihastuti, agama kemudian justru tidak lagi berbicara tentang ketuhanan dalam pengertian yang inklusif dan mengasuh, tetapi lebih kepada bentuk formalisasi identitas yang sempit dan mengendalikan.
Melawan Politik “Jalan Memutar”
Lalu, apa yang mesti kita lakukan? Salah satu cara yang bisa kita lakukan adalah bersama-sama memberikan kontra-narasi, setidak-tidaknya sebagai narasi penyeimbang bagi adanya praktik-praktik propaganda penuh bias kepentingan “ideologis khilafah” dalam simbol-simbol radikalisme yang dibawa oleh para pengusungnya itu.
Sambil kemudian berupaya kembali membangunkan kesadaran kritis masyarakat agar tidak dengan gampangnya simpati masyarakat terayu oleh aksi-aksi maupun cara dakwah mereka yang, pada dasarnya, sarat kepentingan penegakan ”sistem khilafah” ala mereka.
Mereka sangat cerdik dan licik dalam setiap aksinya. Selalu melakukan “politik jalan memutar” untuk, di satu sisi, mendompleng isu. Sedang, di sisi lain, merayu simpati publik dengan simbolisme Islam radikal yang dibawanya. Maka itu, kita sebenarnya dapat pula melakukan “politik jalan memutar” untuk juga menandingi mereka.
Mengenai “politik jalan memutar” yang saya maksud, mungkin yang bisa kita lakukan adalah: pendekatan yang tidak langsung tetapi tetap efektif dalam memajukan narasi tandingan. Seperti misalnya, melibatkan tokoh masyarakat yang dipercaya, menggunakan media yang sudah dipercaya publik, atau menyisipkan edukasi ”kontra-narasi” di ruang-ruang komunitas secara informal.
Dengan pendekatan itu, kita berupaya menangkis efek propaganda ”ideologis khilafah” tersebut tanpa harus berkonfrontasi langsung yang malah bisa memperkeruh situasi. Artinya, kita seolah tampak menerima saja narasi “ideologis khilafah” mereka dengan lapang dada. Tapi, yang sebenarnya kita lakukan, sesungguhnya adalah: menerima untuk kemudian menanggapinya dua langkah lebih kritis. Seperti yang saya lakukan ketika menerima pemberian Buletin Dakwah Kaffah teman saya dengan cara seperti ini. []