31.8 C
Jakarta

Melawan (Narasi dan Aksi) Kaum Ekstremis Secara Kaffah

Artikel Trending

KhazanahMelawan (Narasi dan Aksi) Kaum Ekstremis Secara Kaffah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Berpijak kepada Maqâṣid asy-Syarî‘ah

Salah satu tujuan umum syariat Islam (maqâṣid asy-syarî‘ah) yang harus diwujudkan oleh umat Islam adalah mewujudkan kecukupan pangan dan keamanan. Menurut Yûsuf al-Qaraḍâwî, kedua hal ini disebutkan dalam al-Qur’an surat Quraisy (106): 4, yaitu: “yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa ketakutan (as-Sunnah Maṣdaran li al-Ma‘rifah wa al-Ḥaḍârah, 1998: 231)”.

Jamâluddîn ‘Aṭiyyah menyebutkan bahwa memelihara keamanan (ḥifẓ al-’amn), baik internal maupun eksternal, merupakan tujuan syariat Islam yang berkaitan dengan umat. Dalam rangka memelihara keamanan internal ini diberlakukan beberapa hukum yang berkaitan dengan perlindungan jiwa, kehormatan, dan harta-benda dan diberlakukan pula hukum pidana untuk menghentikan tindakan-tindakan kriminal. Adapun dalam rangka memelihara keamanan eksternal diberlakukan beberapa aturan untuk memperkuat pertahanan agar terhindar dan menolak serangan-serangan musuh (Naḥw Taf‘îl Maqâṣid asy-Syarî‘ah, 2003: 154 & 157).

Selain itu, menurut ‘Âṭiyyah, terdapat beberapa tujuan syariat Islam yang berkaitan dengan kemanusiaan. Salah satunya adalah mewujudkan perdamaian dunia yang didasarkan kepada keadilan. Hal ini karena pada dasarnya hubungan antara Muslim dan non Muslim adalah perdamaian, bukan peperangan. Perang dalam Islam dilakukan hanya semata-mata untuk membela diri dari serangan musuh. Dengan demikian, kekafiran seseorang tidak bisa dijadikan legitimasi untuk diperangi, tetapi legitimasi yang dibenarkan syariat untuk berperang adalah membela diri dari serangan musuh (hlm. 168-169).

Salah satu cara agar perdamaian ini tercapai adalah adanya peraturan negara untuk memastikan keamanan secara kolektif dan peraturan untuk saling bantu dalam berbagai macam persoalan, mengukuhkan perjanjian dengan negara, dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perjanjian tersebut (hlm. 169).

Oleh karena itu, tidak heran apabila MAARIF Institute menggunakan tiga variabel untuk mengukur indeks kota Islami di 29 kota di seluruh Indonesia, yaitu: meliputi kota yang aman, sejahtera, dan bahagia (Hasil Penelitian Indeks Kota Islami, 2016: 2).

Fenomena Bom Bunuh Diri Dimata Ulama-Ulama Kontemporer

Realitas menunjukkan beberapa tindakan buruk dan brutal sebagian Muslim yang melakukan aksi terorisme atas nama agama (Islam). Perbuatan semacam ini tentu tidak hanya bertentangan dengan maqâṣid asy-syarî‘ah yang menghendaki keamanan dan perdamaian dunia, tetapi juga menghancurkan kehidupan manusia yang memang dijunjung tinggi dalam Islam. Sebab, mereka menyerang dan membunuh orang lain yang tidak sepaham atas nama dakwah dan jihad Islam. Salah satunya dengan melakukan aksi bom bunuh diri, baik di rumah ibadah non Muslim maupun di tempat-tempat lain.

Dalam hal ini, Zachary Abuza menyebutkan bahwa serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat menjadi momentum tersendiri bagi kalangan Islam radikal jihadis (ekstremis) di Indonesia dengan melakukan aksi bom bunuh diri di berbagai daerah, seperti di Bali (Oktober 2002), hotel J.W. Marriot dan Kedutaan Australia di Jakarta (Agustus 2003 dan September 2004), dan restoran Balinese (Oktober 2005), yang kesemuanya dilakukan oleh JI (Jamaah Islamiyah)—ormas Islam radikal yang berafiliasi kepada jaringan Al-Qaeda (Political Islam and Violence in Indonesia, 2007: 37).

Selain itu, bom bunuh diri dan penyerangan terhadap polisi yang dilakukan oleh gerakan-gerakan Islam radikal yang berafiliasi kepada IS (Islamic State) terjadi di berbagai daerah, seperti di Jalan Tamrin (14/1/2016), Gereja Oikumene (13/11/2016), Kampung Melayu (24/5/2017), tiga gereja (Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Gereja Kristen Indonesia, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya) di Surabaya (13/05/2018), Rusun Wonocolo Sidoarjo (13/05/2018), Mapolresta Surabaya (14/05/2018), Pos Polisi Kartasura (03/06/2019), Polrestabes Medan (13/11/2019), dan aksi teror lainnya.

Banyak kalangan ulama Islam yang merespon fenomena bom bunuh diri ini. Syaikh al-Islâm Muhammad Tahir-ul-Qadri memberikan fatwa bahwa Islam melarang bunuh diri, baik melalui nas al-Qur’an maupun hadis. Nyawa merupakan anugerah Allah yang harus dijaga. Oleh karena itu, orang yang melakukan bom bunuh diri bukan merupakan syuhadâ, tetapi mereka kelak akan dimasukkan ke dalam neraka (Fatwa tentang Terorisme dan Bom Bunuh Diri, 2014: 128 & 134).

Ulama dan pakar hukum Islam internasional, Mohammad Hashim Kamali memberikan pandangan bahwa bom bunuh diri merupakan fenomena baru dalam hukum Islam. Namun demikian, bunuh diri sudah diatur dalam al-Qur’an dan hadis, di mana kedua sumber hukum Islam tersebut melarang keras orang bunuh diri. Dengan demikian, bom bunuh diri dilarang dalam Islam, karena ia bukan merupakan fenomena teologis, tetapi sosio-politik (Membumikan Syariah: Pergulatan Mengaktualkan Islam, 2013: 374-376 & 380).

Sementara di Indonesia, Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) 2015-2020, KH. Ma’ruf Amin menganggap bahwa orang yang melakukan bom bunuh diri karena teror semata bukan mati syahid, tetapi mati konyol atau sia-sia (Pelaku Bom Bunuh Diri Mati Konyol, Bukan Syahid, dalam Fatwa tentang Terorisme dan Bom Bunuh Diri, hlm. 43).

Hal ini sesuai dengan fatwa MUI tahun 2004 yang menegaskan bahwa bom bunuh diri bukan merupakan syahid. Ia haram dilakukan di daerah manapun, baik daerah aman (dâr as-salâm) maupun daerah perang (dâr al-ḥarb), karena selain mencelakakan diri, juga merupakan salah satu bentuk tindakan keputus-asaan yang dilarang oleh Allah (Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975, 2011: 81).

Berbeda dengan fatwa Yûsuf al-Qaraḍâwî yang menyatakan bahwa bom bunuh diri yang dilakukan oleh orang-orang Palestina sebagai bentuk perlawanan terhadap pendudukan Zionis Israel dibenarkan oleh syariat Islam dan bukan merupakan aksi terorisme yang dilarang. Ia merupakan bom syahid meskipun sebagian orang-orang sipil menjadi korbannya (Ringkasan Fikih Jihad, 2011: 739). Dengan demikian, fatwa ini hanya khusus kepada daerah Palestina semata yang memang sering dihantui oleh penjajahan Zionis Israel dan tidak bisa diberlakukan kepada daerah lain yang berada dalam kondisi aman, seperti Indonesia.

Antara Teror yang Terpuji dan Teror yang Terkutuk dalam Islam

Mawsû‘ah Naḍrah an-Na‘îm membagi terorisme menjadi dua, yaitu teror yang dianjurkan dan dipuji dalam Islam dan teror yang dilarang dan dikutuk dalam Islam. Teror di sini dimaknai sebagai tindakan kejahatan luar biasa, yang dalam istilah lain dikenal dengan meneror tempat dan kehidupan masyarakat yang berada dalam kondisi aman (bukan perang) dan menghancurkan bangunan-bangunan tanpa memedulikan kondisi para korban dan kehancuran yang disebabkan oleh teror tersebut (1998, IX: 3828-3829).

BACA JUGA  Takjil War: Antara Harmoni Kemanusiaan dan Kerukunan Beragama

Adapun literatur modern menyebutkan terorisme sebagai tindakan menebarkan teror, baik yang mengarah langsung kepada kerusakan fisik (tubuh) maupun akal (pikiran). Aksi teror ini biasanya dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk memperjuangkan keinginan dan kepentingan mereka dengan menggunakan cara dan jalan kekerasan.

Mereka biasanya melawan dan menyerang orang-orang yang dianggap musuh dan pejabat pemerintah yang memang menentang terhadap keinginan mereka. Selain itu, termasuk bagian terorisme adalah merusak dan menghancurkan properti dan hasil-hasil bumi. Teror semacam ini sangat dilarang dan ditentang dalam Islam, sebagaimana sabda Rasulullah saw.: “tidak halal bagi seorang Muslim meneror Muslim lain (hlm. 3828-3829).

Menurut Yûsuf al-Qaraḍâwî, hadis tersebut menyebut larangan meneror hanya khusus kepada Muslim saja karena memang objek yang dituju pada waktu itu adalah komunitas Muslim. Namun demikian, pada dasarnya Islam melarang setiap Muslim melakukan teror kepada seluruh manusia, baik Muslim maupun non Muslim. Hal ini disebutkan dalam hadis: “orang beriman adalah orang yang mengamankan manusia, baik darahnya maupun harta-bendanya (Fiqh al-Jihâd, I, 2009: 61).”

Pertama, teror yang dianjurkan, dipuji, dan bahkan diperintah dalam Islam, yaitu teror yang dilakukan untuk melawan dan membuat takut musuh-musuh Islam serta menghentikan serangan-serangan mereka yang memerangi masyarakat Muslim. Sehingga teror ini hanya berlaku dalam konteks perang semata dan hanya khusus kepada para musuh Islam yang memerangi masyarakat Muslim (hlm. 3829).

Sebab, beberapa hadis dan aśâr (perkataan para sahabat dan tabiin) menyebutkan beberapa kelompok yang tidak boleh dibunuh dalam peperangan, seperti perempuan, anak-anak, para pekerja, orang tua renta, para petani, para rahib dan biarawan-biawarati, dan para pedagang (‘Abd al-Fattâḥ al-Yâfi‘î, Ḥukm Qatl al-Madaniyyîn fî al-Fiqh al-Islâmî, 2012: 33-37).

Kedua, teror yang dilarang dan dikutuk dalam Islam, yaitu teror yang dilakukan dalam keadaan aman (bukan kondisi perang) kepada masyarakat Muslim dan non Muslim yang bukan merupakan anggota perang. Perbuatan ini termasuk akhlak tercela yang tidak diridai oleh agama yang lurus. Teror ini biasanya dilakukan oleh para penjahat dan orang-orang yang melampaui batas (Mawsû‘ah Naḍrah an-Na‘îm, hlm. 3829).

Dalam kesempatan lain, Risalah Amman (sebagai ijmak ulama abad ke-21) mengakui pengikut 8 mazhab, baik Sunni (Ḥanafî, Mâlikî, asy-Syâfi‘î, dan Ḥanbalî), Syiah (Jakfariyah/Imamiyah Itsna ‘Asyariyyah dan Zaidiyyah), Ibâḍî, aẓ-Ẓâhirî, teologi Asy’ariyah, sufisme, maupun salafi sejati adalah Muslim. Oleh karena itu, mereka dilarang (haram) saling mengafirkan dan memurtadkan satu sama lain (The Muslim 500: The World’s 500 Most-Influential Muslims, 2020, 2019: 51).

Menurut The Royal Islamic Strategic Studies Centre, Yordania, keberadaan Risalah Amman ini selain menjadi solusi dan persatuan dalam rangka menghentikan konflik antar umat Islam, juga menegaskan ketidakabsahan pendapat kalangan Muslim teroris dan radikal-fundamentalis tentang siapa sesungguhnya Muslim. Sebab, dalam praktiknya mereka menyerang Muslim lain yang tidak sepaham kerena dianggap murtad dan kafir. Sementara Risalah Amman secara nyata mengakui pengikut 8 mazhab tersebut sebagai Muslim dan tidak boleh saling mengafirkan satu sama lain (hlm. 51).

Mengukuhkan Dua Jangkar Indonesia

Salahuddin Wahid (Gus Sholah) dalam tulisan terakhirnya, “Refleksi 94 Tahun NU” (Kompas, 27/01/2020), menyebut Muhammadiyah dan NU (Nahdlatul Ulama) sebagai jangkar Indonesia. Hal ini tentu tidak terlepas dari perjuangan dan kiprah keduanya dalam membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kontribusi nyata dalam menjaga, merawat, dan memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam perkembangannya, menurut Muhammad Najib Azca, dkk., Muhammadiyah dan NU tidak hanya mendukung proses transisi demokrasi yang berjalan dengan baik dan damai, tetapi juga meramaikan bumi Nusantara dengan pemahaman Islam moderat dan menolak pemahaman-pemahaman Muslim ekstremis yang secara nyata menolak Pancasila dan demokrasi. Oleh karena itu, kedua ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut banyak berkontribusi terhadap keberlangsungan demokrasi yang damai dan berkeadaban (Dua Menyemai Damai: Peran dan Kontribusi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam Perdamaian dan Demokrasi, 2019).

Dalam kesempatan lain, Abdul Mu’ti (Sekretaris Umum PP. Muhammadiyah) dalam tulisannya, “Sinergi Muhammadiyah-NU” (Republika, 31/01/2020), menyebut Muhammadiyah dan NU sebagai dua kekuatan Islam yang memiliki pengaruh besar terhadap kebaikan dan keberlangsungan hidup bangsa Indonesia. Oleh karena itu, hubungan baik dan kerja sama di antara keduanya harus senantiasa dijaga, dipererat, dan bahkan lebih diintensifkan lagi, terutama sekali dalam menghadapi berbagai macam persoalan dan tantangan bangsa Indonesia.

Salah satu tantangan serius yang sedang dihadapi dan secara nyata akan menghancurkan bangsa Indonesia adalah ekstremisme dan terorisme. Menurut R. William Liddle dalam tulisannya, “Empat Ancaman Demokrasi” (Kompas, 19/10/2019), ada empat ancaman besar terhadap demokrasi di Indonesia, yaitu: radikalisme, komunisme, separatisme, dan korupsi. Keempat hal ini tentu tidak hanya merusak keberlangsungan demokrasi di bumi Nusantara, tetapi juga akan meluluhlantakkan keberadaan Indonesia itu sendiri.

Dalam konteks radikalisme dan ekstremisme ini, Abdul Mu’ti secara tegas mengajak Muhammadiyah dan NU harus lebih lantang dan giat lagi dalam membendung dan melawan ekstremisme yang sudah banyak disebarkan melalui media sosial. Sebab, keduanya merupakan kekuatan Islam moderat dan tumpuan masa depan bangsa Indonesia. Dengan demikian, tanpa kehadiran dan peran aktif Muhammadiyah dan NU, maka Indonesia bisa berantakan dan hancur-lebur dikoyak pertikaian dan ekstremisme seperti dialami beberapa negara Muslim di Timur Tengah.

Lebih dari itu, menurut Ahmad Syafii Maarif, Muhammadiyah dan NU merupakan kiblat baru masa depan Islam di dunia dan oase bagi kegersangan hidup dunia Islam yang sedang dihantui sektarianisme, kekacauan, dan ekstremisme (lihat endorsement Dua Menyemai Damai). Oleh karena itu, setiap anak bangsa seharusnya mendukung penuh gerakan dua ormas Islam tersebut dan juga terlibat aktif dalam melawan bahaya keempat ancaman demokrasi Indonesia demi keberlangsungan hidup berbangsa yang aman dan damai. Wa Allâh A‘lam wa A‘lâ wa Aḥkam…

Oleh: Nasrullah Ainul Yaqin

Penulis, adalah Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru