Harakatuna.com – Intoleransi telah menjadi fenomena yang marak dalam beberapa tahun terakhir, bahkan sejak belasan hingga puluhan tahun lalu. Fenomena tersebut tidak mengenal batas; siapa saja dapat menjadi korban atau terdampak. Dengan keberagaman yang menjadi ciri khas Indonesia, hidup tanpa intoleransi sepenuhnya adalah tantangan besar. Lebih dari itu, intoleransi sengaja dihembuskan demi kepentingan tertentu di baliknya.
Sebelum lebih jauh membahas intoleransi, penting untuk memahami konsep toleransi. Dalam sebuah tulisan di Geotimes, Muhammad Farid menjelaskan bahwa toleransi adalah tindakan aktif, bukan sekadar pikiran atau aturan. Mengacu pada pandangan Cohen (2004), toleransi adalah tindakan yang disengaja untuk menahan diri dari mencampuri atau menentang perilaku orang lain dalam situasi keberagaman, meskipun memiliki kekuatan untuk melakukannya.
Russell Powell dan Steve Clarke dalam “Religion, Tolerance and Intolerance: Views from Across the Disciplines” juga menekankan bahwa inti dari toleransi adalah sikap tidak mengganggu secara langsung. Sebagai contoh, seorang Katolik yang toleran adalah dia yang membolehkan praktik keagamaan Protestan di masyarakat, meskipun tidak setuju secara pribadi dan memiliki kemampuan untuk melarangnya.
Sebaliknya, intoleransi merupakan lawan dari prinsip-prinsip toleransi. Intoleransi mencerminkan ketidakmampuan seseorang untuk menahan rasa tidak suka terhadap orang lain, sikap mencampuri atau menentang keyakinan pihak lain, serta tindakan yang disengaja untuk mengganggu.
Hunsberger (1995) menyebut bahwa intoleransi lahir dari prasangka berlebihan atau pandangan yang terlalu disederhanakan secara keliru. Prasangka dimaksud mencakup stereotip negatif terhadap kelompok luar, rasa muak atau ketidaksukaan yang mendalam, dan tindakan negatif baik dalam interaksi antarindividu maupun kebijakan sosial-politik. Namun, intoleransi tidak hadir begitu saja tanpa sebab. Ia berakar pada latar belakang dan tujuan tertentu. Dalam istilah sederhana, “tidak ada asap tanpa api.”
Apa Faktornya?
Kapolda Metro Jaya, Irjen (Pol) Gatot Eddy Pramono, pernah mengidentifikasi tiga penyebab utama meningkatnya intoleransi di masyarakat Indonesia beberapa tahun terakhir. Pertama, globalisasi. Perkembangan situasi global yang semakin kompleks telah mengikis nilai-nilai ketimuran, termasuk toleransi. Globalisasi, demokratisasi, dan kemajuan ilmu pengetahuan membawa pengaruh besar terhadap perubahan sosial, menyebabkan nilai-nilai luhur tergeser oleh budaya yang lebih individualistis.
Kedua, demokrasi yang didominasi masyarakat kelas bawah. Demokrasi ideal biasanya didukung dominasi kelas menengah yang kuat. Namun, di Indonesia, demokrasi lebih banyak dipengaruhi masyarakat kelas bawah yang menghadapi keterbatasan akses terhadap pendidikan dan ekonomi. Akibatnya, banyak keputusan atau tindakan yang dilakukan dengan cepat dan kritis, tetapi kurang rasional. Kondisi itu pun memunculkan celah primordialisme, yang akhirnya mendorong tindakan intoleransi.
Ketiga, perkembangan media sosial. Kemajuan teknologi digital telah memungkinkan penyebaran paham-paham intoleransi dengan cara yang jauh lebih cepat dan masif. Jika dahulu paham radikal disebarkan melalui pertemuan langsung atau diskusi tertutup, kini media sosial menjadi alat utama untuk menyebarkan narasi intoleran. Banyak orang yang menjadi terpapar paham ekstrem bahkan hanya melalui perangkat mereka sehari-hari.
Intoleransi terus menjadi tantangan klasik yang mengancam keberagaman bangsa. Celah perbedaan dimanfaatkan untuk memecah-belah persatuan. Dalam momentum Natal dan menjelang Tahun Baru 2025, kita perlu menatap masa depan dengan semangat moderasi. Tidak ada cara yang lebih baik untuk melawan intoleransi selain dengan menanamkan penghargaan terhadap keragaman dan menjadikannya kekuatan untuk membangun bangsa.
Upaya melawan intoleransi harus dimulai dari diri sendiri. Sikap menahan diri dan menghormati keberagaman adalah fondasi penting dalam membangun perdamaian. Dalam perbedaan, kita harus mencari persamaan, seperti semangat hidup rukun dan bekerja sama untuk memajukan Indonesia sesuai cita-cita pendiri bangsa.
Momentum Natal adalah kesempatan yang tepat untuk merefleksikan diri. Mari memperbarui hati dan pikiran agar tidak mudah terpengaruh oleh narasi intoleransi. Dengan menanamkan kebijaksanaan dalam bertindak, kita dapat memulai langkah yang lebih baik setiap hari, menjadikan hari ini lebih baik daripada kemarin.
Natal yang Aman dan 2025 yang Gemilang
Momentum Natal selalu menjadi ajang penting untuk meneguhkan semangat persaudaraan dan perdamaian di tengah keberagaman Indonesia. Namun, sejarah menunjukkan bahwa perayaan Natal kerap dibayangi oleh isu-isu intoleransi yang mengancam stabilitas sosial. Oleh karena itu, menciptakan Natal yang aman bukan hanya menjadi tanggung jawab umat Kristiani, tetapi juga semua elemen bangsa yang peduli terhadap keberagaman dan persatuan.
Salah satu langkah penting adalah memperkuat sinergi antara masyarakat dan pemerintah dalam menjaga keamanan selama perayaan Natal. Pemerintah melalui Polri dan TNI telah berkomitmen untuk meningkatkan pengamanan di rumah-rumah ibadah, terutama gereja, sebagai bentuk perlindungan terhadap kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi. Namun, pengamanan fisik saja tidak cukup. Perlu ada penguatan nilai-nilai moderasi agama di masyarakat untuk mencegah potensi konflik dan mendorong terciptanya harmoni.
Moderasi agama adalah kunci melawan paham ekstrem yang menjadi pemicu intoleransi; menawarkan sikap tengah—tidak berlebihan dan tidak abai—dalam menjalani ajaran agama. Tentu, moderasi agama bukanlah kompromi terhadap keyakinan, melainkan upaya untuk menciptakan ruang bersama yang inklusif di tengah keberagaman. Perayaan Natal harus menjadi simbol inklusivitas dan toleransi yang melibatkan semua elemen masyarakat.
Lebih jauh, tahun 2025 dapat menjadi momentum untuk merekonstruksi tatanan sosial yang lebih harmonis. Dengan meningkatnya tantangan global seperti perubahan iklim, ketidakstabilan ekonomi, dan disrupsi teknologi, Indonesia memerlukan kebijakan yang tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga proaktif dalam membangun kebersamaan. Program-program pemerintah, seperti “Revitalisasi Moderasi Beragama 2025” yang telah dirancang Kemenag, adalah langkah konkret untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan melalui pendidikan, media, dan pemberdayaan masyarakat.
Setiap individu juga memiliki peran penting dalam menciptakan suasana damai. Sikap saling menghormati dan menahan diri dari menyebarkan narasi intoleransi adalah bentuk kontribusi nyata. Media sosial, misalnya, harus digunakan sebagai alat untuk menyuarakan pesan-pesan positif yang membangun. Ucapan selamat Natal dari berbagai tokoh agama dan masyarakat dapat menjadi contoh sederhana, tetapi berdampak besar, dalam memperkuat rasa persaudaraan.
Mari jadikan Natal 2024 sebagai pijakan untuk menciptakan tahun 2025 yang gemilang. Dengan saling menjaga dan mendukung, Indonesia dapat terus menjadi rumah bersama yang damai dan penuh keberkahan. Keragaman bukanlah kelemahan, tetapi kekuatan untuk menggapai masa depan yang lebih baik.