28 C
Jakarta

Melawan Diri dalam Menghadapi Trend Dakwah Halal-Haram

Artikel Trending

KhazanahTelaahMelawan Diri dalam Menghadapi Trend Dakwah Halal-Haram
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Hampir setiap pekan, trending twitter tidak lepas dari persoalan tentang peran gender yang dianggap bermasalah. Salah satunya tentang LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Menariknya, pelbagai narasi yang muncul justru tidak jauh dari persoalan halal-haram yang diperdebatkan oleh netizen.

Perlu digaris tebal bahwa, hampir setiap persoalan yang menimbulkan banyak perbincangan, Ustaz Khalid Basalamah selalu tampil dengan video singkat yang membahas tetang halal-haramnya suatu masalah.

Belum selesai dengan ceramah tentang persoalan wayang, keharaman sesajen, ustaz Khalid Basalamah juga berceramah tentang keharaman LGBT. Jika dilansir dari beberapa video ceramah Khalid, sepertinya tidak ada fatwa lain selain halal dan haram pada setiap persoalan yang disampaikan oleh Khalid.

Sejalan dengan persoalan itu, tentu kita masih ingat tentang, pernyataan Felix yang tidak jauh berbeda dengan sikap Khalid Basalamah tentang nasionalisme yang tidak ada dalilnya. Atas dasar premis tersebut, seseorang tidak perlu memiliki jiwa nasionalis, tutur Felix.  Cuitan yang ditulis melalui akun twitternya itu, semakin meneguhkan bahwa Felix adalah orang yang anti terhadap NKRI serta memperkuat tekadnya membangun NKRI syari’ah atau negara khilafah.

Baik Khalid Basalamah, Felix Shiaw, setiap ceramah yang disampaikan, tidak lepas dari fatwa haram, halal, dalil serta nash yang harus menjadi landasan untuk melakukan sesuatu. Bagaimana untuk menghadapi tren semacam ini?

Media sosial: matinya kepakaran

Buku “The Death of Expertise” (Matinya Kepakaran), yang ditulis oleh Tom Nichols, menjadi salah satu bacaan yang cukup menampar kita bahwa, saat ini kita hidup di era yang serba dilematis. Jika dilihat dari media sosial, followers media sosial, memiliki pengaruh besar terhadap otoritas seseorang.

Sekalipun orang tersebut tidaklah expert di suatu bidang, pada kenyataannya hal itu berbanding terbalik dengan pengaruh yang ditimbulkan ketika mengatakan sesuatu. Hal itulah yang disebut oleh Tom Nichols tentang matinya kepakaran. Para pendakwah seperti Prof. Quraish Shihab, Gus Mus, Buya Syafi’i Maarif, kalah jauh kepopulerannya dibandingkan dengan Ustaz Khalid Basalamah, Gus Nur, Felix Shiaw dkk.

Matinya kepakaran ini juga bisa dipastikan dengan literasi digital yang dimiliki oleh masyarakat pengguna media sosial. Artinya, sumber kredibel yang expert di suatu bidang, tidak menjadi jaminan viralnya seseorang. Akan tetapi, ritme yang digunakan adalah semakin banyak konten yang diupload, kesesuaian dengan keresahan masyarakat, hingga isu yang banyak dibicarakan, menjadi unsur prioritas seseorang dikenal oleh masyarakat luas.

BACA JUGA  Melihat Fenomena Takut Menikah, Benarkah Akibat dari Sistem Liberal?

Adanya perbedaan yang cukup terlihat dengan adanya media sosial, membuat serba rancu untuk memilih dan memilah informasi, bahkan pengetahuan yang bisa dipelajari. Apalagi sejauh ini, intensitas dalam berselancar di media sosial begitu tinggi, ditambah dengan hadirnya pandemi, dimana segala kehidupan dijalankan melalui media sosial, membuat kita semakin merasa kacau dihadapkan dengan banyaknya informasi yang masuk.

Kunci untuk menghargai perbedaan

Jika kita melihat pelbagai suatu yang terjadi beberapa belakangan ini, perlu sikap dan tindakan yang harus bijak untuk menanggapi agar tidak gegabah. Sejalan dengan hal ini, dalam teori U, yang ditulis oleh C. Otto Scharmer, penulis memahami secara sederhana bahwa, ada pondasi yang dimiliki oleh seseorang dalam menerima dan menjawab atas situasi yang dialami, diantaranya: open mind (melihat sepenuhnya), open heart (mengerti sepenuhnya) dan open will (menerima sepenuhnya).

Melalui teori tersebut, Scharmer mengemukakan bahwa ruang lingkup open mind dilihat dari permasalahan yang terjadi, struktur penyebab. Open heart dilihat dari mental model yang melatarbelakangi suatu masalah. Sedangkan open will, merupakan bentuk tindakan yang dilakukan atas semua hal yang sudah dialami oleh seseorang.

Artinya, jika pada dasarnya seseorang memiliki pemaknaan yang sangat eksklusif terhadap orang lain, serta memahami agama melalui satu sudut pandang saja, disertai dengan penyebab lain yang melatarbelakangi, seperti lingkungan, guru belajar, dll. Maka seseorang dalam tindakannya juga, akan bersikap eksklusif, tidak menerima perbedaan yang terjadi.

Sebaliknya, bangunan atas pemahaman yang harus dibentuk agar bisa menerima orang lain, menghargai perbedaan, tidak berperilaku superior, harus diupayakan dengan menerapkan open mind, open heart dan open will dalam mengimplementasikan pola kehidupan beragama dan berbangsa. Wallahu a’lam

 

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru