27.5 C
Jakarta

Melampaui Covid-19: Memakmurkan Masjid sebagai Jihad fi Sabilillah

Artikel Trending

Milenial IslamMelampaui Covid-19: Memakmurkan Masjid sebagai Jihad fi Sabilillah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Pakar eskatologi Islam dan politik dunia, Imran Nazar Hosein (l. 1942), lebih lima belas tahun lalu pernah meramalkan, kiamat tidak akan terjadi sampai ibadah haji ditutup. Meski tampak spekulatif, baru-baru ini ia menambahkan, Covid-19 telah menjadi bukti semua ramalannya. Ialah tokoh yang kemudian menginspirasi dai tanah air, seperti Zulkifli M. Ali dan Rahmat Baequni untuk menarasikan pentingnya memakmurkan masjid.

Tetapi Zulkifli dan Baequni bukan Syekh Imran Hosein, karena spekulasi keduanya melangkah lebih jauh. Di saat pemerintah membatasi aktivitas masjid, termasuk mengatur shaf shalat agar berjarak, mereka justru menuduh umat Islam tengah terkena fitnah Yahudi. Mereka juga sering menyudutkan pihak tertentu, dalam hal ini pemerintah, ihwal kebijakan melawan Covid-19. Maka sampai di situ, mengikuti keduanya adalah tidak perlu.

Zulkifli dan Baequni memang benar ketika mengatakan, umat Islam jangan sampai meninggalkan masjid. Tetapi keduanya keliru jika mengabaikan mafsadah Covid-19, dengan meminta jemaah terus merapatkan shaf agar tidak mirip kaum Yahudi. Pemerintah tidak melarang ke masjid, hanya melarang kerumunannya. Penutupan masjid hanya di hari-hari tertentu di mana kerumunan tak terhindarkan. Hari raya Islam, umpamanya.

Dengan demikian, jangan sampai ada ‘kebiasaan’, ‘anggapan’, bahkan ‘mindset’ bahwa selama pandemi masjid harus dikosongkan, lalu menjadi hujah untuk kelalaian kita sebagai Muslim. Jangan sampai ada kata-kata, bahwa seseorang punya alasan untuk malas ke masjid, yaitu Covid-19. Kebijakan pemerintah bukan untuk menciptakan kemalasan. Itu jelas keliru. Apa pun keadaannya, memakmurkan masjid sangatlah niscaya.

Kerumunan wajib kita hindari selama masa pandemi, tetapi itu bukan kendala untuk memakmurkan masjid. Kita tidak boleh terseret narasi dari Zulkifli Ali dan Baequni jika itu berbau spekulasi provokatif, tetapi kita juga tidak baik jika menjadikan kebijakan pemerintah sebagai ajang bermalas-malasan. Covid-19 memang harus dilampaui demi tujuan jihad fi sabilillah. Lalu, bagaimana memakmurkan masjid di tengah pandemi?

Memakmurkan Masjid di Tengah Pandemi?

Mungkin, jika ada pertanyaan semacam itu, baiknya ditanya balik: sampai kapan masji akan kita tinggalkan dengan alasan Covid-19? Jika pandemi ini tidak selesai misalnya sampai limat tahun ke depan, atau bisa lebih dari itu, apakah selama itu pula kita akan mengatakan rasa malah sebagai dalih mencegah penularan? Masyarakat, jika demikian, akan semakin lupa masjid, dan masjid suatu saat nanti bisa sama sekali tidak ada orangnya.

Hari-hari ini, kabar kurang mengenakkan kerap kali terdengar. Kabar duka datang dari Masjid Jogokariyan, masjid populer di Kota Yogyakarta. Anggota Dewan Syuro Masjid Jogokariyan, Ustaz Muhammad Fanni Rahman, wafat di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta, Senin (2/8) dini hari, dalam usia 43 tahun. Dilansir dari Kumparan, ustaz Fanni meninggal dunia setelah berjuang melawan Covid-19.

Beberapa teman ustaz Fanni juga terpapar Covid-19, tetapi sembuh. Ketua Dewan Syuro Masjid Jogokariyan, Ustaz Muhammad Jazir, memastikan di Masjid Jogokariyan belum lagi ada yang terpapar, dan pihak masjid telah melakukan tracing. Ustaz Jazir juga mengatakan, ustaz Fanni dikenal aktif di bidang agama dan sosial. Sejak kecil almarhum aktif di masjid mulai dari ketua pengajian anak-anak hingga ketua himpunan anak-anak masjid.

BACA JUGA  Jalan Licik HTI Harus Segera Dilenyapkan di Bumi Indonesia

Selanjutnya, ustaz Fanni menjadi ketua remaja masjid hingga pada 2016 diamanahkan menjadi Ketua Umum Takmir Masjid Jogokariyan. Pada 2020, ia menjadi anggota Dewan Syuro Masjid Jogokariyan. Selain itu, di bidang kemanusiaan, Fanni aktif di Yayasan Sahabat Al-Aqsha hingga menjadi ketua di sana. Saat erupsi Merapi, ustaz Fanni juga mengomando relawan Masjid Jogokariyan untuk membantu warga lereng Merapi.

Kasus ustaz Fanni adalah satu dari sekian contoh bahwa Covid-19 benar-benar ada, bukan konspirasi Yahudi sebagaimana dinarasikan Zulkifli Ali dan Rahmat Baequni. Karenanya, kita wajib mematuhi protokol kesehatan dan segala kebijakan pemerintah dalam menangani Covid-19. Tetapi apakah dengan kasus tersebut, masjid harus dihindari? Ini yang harus diluruskan. Adalah tidak baik jika kasus di Masjid Jogokariyan jadi momok bagi aktivitas peribadahan.

Artinya, kita harus selalu berjuang memakmurkan masjid. Sebagaimana ustaz Fanni berjuang untuk Masjid Jogokariyan, kita harus berjuang untuk seluruh masjid se-Indonesia. Semua masjid harus makmur, tidak sepi jemaah. Pandemi Covid-19 bukan musibah yang menjadi alasan untuk taku mendekati masjid, melainkan sebaliknya harus menjadi pelajaran bahwa masjid harus semakin semakin dipenuhi jemaah. Apakah pemerintah akan melarang? Tidak akan, selama prokes kita taati.

Mematuhi prokes adalah satu hal urgen, sementara memakmurkan masjid adalah hal lain yang tidak kalah urgen. Kematian tidak akan maju atau mundur, dan pandemi hanyalah wasilah kematian, bukan pencipta kematian itu sendiri. Karena itu, jalan moderatnya adalah tetap memakmurkan masjid sembari mematuhi prokes secara ketat. Rasa malas tidak boleh jadi alasan. Sebab, memakmurkan masjid adalah satu dari jihad di jalan Allah.

Jihad di Jalan Allah

Sebagaimana pentingnya menjaga prokes, memakmurkan masjid juga sangatlah penting. Masjid adalah tempat terbaik persatuan umat Islam, dan kemalasan memakmurkan masjid adalah bukti konkret rendahnya kualitas keimanan. Allah berfirman dalam surah al-Taubah [9]: 18, bahwa tidak akan seseorang memakmurkan masjid kecuali ia benar-benar beriman. Bahkan di tengah musibah, berdoa di masjid secara berjemaah memiliki keistimewaan tersendiri.

Kita tidak ada yang tahu kapan pandemi Covid-19 akan berakhir. Kita juga tidak mungkin selamanya meninggalkan masjid. Pandemi boleh saja mengubah kultur sosial-masyarakat, tetapi ia tidak boleh mendegradasi kualitas peribadatan. Dengan alasan itu, memakmurkan masjid menjadi tugas primordial yang mesti kita tempuh, tentu dengan kehati-hatian—mematuhi protokol kesehatan. Musibah tidak berasal dari ibadah, selama itu dilakukan dengan tertib.

Tugas primordial memakmurkan masjid ini juga mesti menjadi evaluasi pemerintah demi tujuan ideal: ibadah di masjid tetap lancar sementara keamanan tetap terjaga. Sangat tidak baik misalnya kebijakan menutup masjid secara total alih-alih menyelesaikan masalah pandemi, justru memantik perasaan diskriminasi oleh sementara umat Islam. Dalam menghadapi pandemi, kita harus bijaksana di dua sisi: kesehatan-keamanan dan ketakwaan-keimanan.

Kendati demikian, narasi provokatif tidak sepatutnya didengar, seperti bahwa Covid-19 adalah konspirasi Yahudi agar umat Islam jauh dari masjid. Sering kali jauhnya Muslim dari masjid bukan lahir dari faktor internal, yaitu Covid-19, melainkan faktor internal yakni kemalasan si Muslim sendiri. Dan itulah inti masalahnya. Dalam konteks bahwa memakmurkan masjid adalah jihad fi sabilillah, pandemi tidak lagi terlihat sebagai musibah, melainkan rahmah yang mesti diperjuangkan.

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru