32.1 C
Jakarta
spot_img

Melacak Gerakan Ekstremis-Jihadis di Indonesia: Genealogi, Strategi, dan Ideologi

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMelacak Gerakan Ekstremis-Jihadis di Indonesia: Genealogi, Strategi, dan Ideologi
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kelompok ekstremis-jihadis di Indonesia memiliki akar sejarah yang panjang. Aksi demi aksi yang dilancarkan dalam beberapa dekade terakhir sudah cukup membuktikan betapa kelompok ini seakan tidak ada habisnya untuk selalu merongrong demokrasi dan Pancasila. Langkah demi langkah pemberantasan yang dilakukan pihak berwenang selama ini (pembubaran, penangkapan, dll.) pun juga belum memunculkan tanda-tanda keberhasilan dalam memutus gerakan dan mata rantai kelompok ekstremis-jihadis di Indonesia.

Ini menandakan bahwa gerakan kelompok ekstremis-jihadis memang memiliki akar dan peta sejarah yang kuat. Akar dan peta ini bisa dilacak setidaknya dari tiga elemen pokok yang mencakup genealogi, ideologi, dan strategi. Hanya melalui tiga hal inilah gerakan ekstremis-jihadis seakan tidak ada habis-habisnya untuk tetap eksis hingga mencapai cita-cita busuk mendirikan negara Islam.

Sekilas Genealogi Ekstremis-Jihadis Indonesia

Jama’ah Islamiyah (JI) misalnya, menjadi embrio lahirnya kelompok ekstremis-jihadis di Indonesia. Di antaranya mulai dari Jamaah Ansharud Daulah (JAD), Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Jamaah Ansharusy Syariah (JAS), hingga Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Sejauh penelusuran yang dilakukan, JI pula yang menjadi dalang di balik puluhan insiden pengeboman terhadap gereja, warga asing, dan berbagai fasilitas pemerintah sejak tahun 2000 silam, serta bom Bali 12 Oktober 2002 menjadi satu puncak aksi bom bunuh diri terbesar di Asia Tenggara.

Berbicara tentang JI, juga tidak terlepas dari gerakan Darul Islam (DI) atau Negara Islam Indonesia (NII). Karena JI lahir dari faksi DI/NII yang merupakan gerakan pemberontakan pasca kemerdekaan. Di mana gerakan ini didirikan oleh S.M. Kartosoewiryo yang juga mempunyai rekam jejak organisasi di Sarekat Islam dan ia pun sempat menjadi sekretaris H.O.S. Tjokroaminoto.

Abdullah Sungkar, pendiri JI, yang juga pernah menjadi bagian DI adalah teman karib Abu Bakar Ba’asyir. Keduanya bahkan pernah berkecimpung di Masyumi, hingga pada akhirnya mendirikan sebuah pesantren bernama Al-Mukmin pada awal 1970-an di Ngruki, desa dekat Kota Solo di Jawa Tengah. Pesantren ini sengaja dirancang berbasis pendidikan bahasa Arab dan kajian hadis, dengan mengadopsi sistem Gontor (tempat Ba’asyir belajar) dan pesantren milik Persis (Persatuan Islam) di Bangil, Jawa Timur. Pesantren Al-Mukmin pada akhirnya juga mempunyai keterlibatan dalam strategi jaringan kelompok ekstremis-jihadis bertahan di Indonesia.

Strategi Gerakan Ekstremis-Jihadis Indonesia

Jama’ah Islamiyah (JI) pada 30 Juni tahun lalu, secara terbuka membubarkan diri. Gerakan kelompok teror yang menjadi embrio dari kelompok teror lainnya akhirnya tobat di depan publik. Pertaubatan kelompok teror ini sekilas membawa angin segar bagi kita semua. Namun perlu diingat, angin tetaplah angin, yang suatu waktu bisa berubah, kapan saja. Bahkan hanya karena angin, tak jarang ia bisa mendatangkan musibah sewaktu-waktu.

Sama halnya dengan Jama’ah Islamiyah (JI). Pembubaran 30 Juni tahun lalu, bukan lantas menjadi akhir dari segala ambisi dan cita-citanya untuk mendirikan negara Islam. Karena itu pula, banyak pengamat masih menaruh kekhawatiran dan pesimistis akan pembubaran JI yang terkesan tidak mempunyai alasan kuat. Hal ini sebagaimana disinggung oleh Ahmad Khoiri dan Agus Wedi dalam tulisan-tulisannya bahwa sebab pembubaran itulah, JI disinyalir akan menerapkan strategi barunya.

Selain yang disinggung Ahmad Khoiri dan Agus Wedi, terdapat alasan lain kenapa kekhawatiran dan kewaspadaan terhadap pembubaran JI dan kelompok afiliasinya tetap harus ditumbuhkan. Sejauh penelusuran, kita semua harus tahu bahwa strategi dan struktur kelompok jihad di Indonesia berubah dari waktu ke waktu. Terkhusus JI, ia adalah kelompok yang dari awal memang dirancang untuk fleksibel. Keanggotaan dalam JI sendiri didasarkan pada sumpah setia seumur hidup (bai’at) kepada pemimpin.

Dengan demikian, ketika struktur organisasinya bubar, seperti JI misalnya, ia akan menciptakan jaring-jaring yang terorganisasi secara mandiri. Sumpah kesetiaan yang dilakukan di awal sudah menandakan komitmen untuk mengabdikan hidup setiap anggotanya dalam perjuangan negara Islam tanpa harus terlibat aktif di dalam organisasi. Di dalam JI, loyalitas terhadap organisasi tidak penting jika dibandingkan dengan hubungan pribadi (keterikatan ideologi), dan JI adalah organisasi yang terdiri dari jaringan-jaringan pribadi perorangan.

Selain alasan itu, ikatan keluarga dan sekolah juga menjadi salah satu strategi JI selama ini. Temuan ini bisa dibuktikan dalam insiden bom Bali 2002, misalnya, yang direncanakan dan dieksekusi oleh tiga bersaudara sekaligus—Mukhlas, Amrozi, dan Ali Imron—yang ketiganya juga pernah menjadi pengajar di sekolah yang berafiliasi dengan Pondok Al-Mukmin Ngruki, lebih tepatnya yakni Sekolah Al-Islam Lamongan Jawa Timur.

Adapun dalam keanggotaan, JI selama ini melakukan perekrutan berbasis jaringan pondok dan sekolah. Ini terlihat ketika Pondok Al-Mukmin Ngruki dan Sekolah Darusy Syahadah mempunyai keterlibatan erat selama ini di balik bertahannya kelompok ekstremis-jihadis di Indonesia yang alumninya banyak jadi aktor bom bunuh diri. Tidak hanya Pondok Ngruki, banyak sekolah jaringan Ngruki didirikan oleh keluarga DI dan beberapa yang lainnya didirikan oleh alumni Ngruki tanpa adanya ikatan keluarga tersebut. Selain itu, di dalam Ngruki sendiri, setiap siswa yang memasuki masa akhir sekolah diwajibkan untuk mengajar ke sekolah lain dan sekaligus membangun relasi ideologi.

BACA JUGA  Melawan Radikalisasi Digital: Tanggung Jawab Kita di Balik Kecanggihan Teknologi

Itulah sepercik fakta bahwa ikatan keluarga dan sekolah merupakan mata rantai penting dalam memperluas dan memelihara jaringan JI selama ini. Atas dasar ini pula, pembubaran JI Juni tempo lalu bukan lantas menjadi akhir dari semuanya. Membangun kewaspadaan dan proteksi dini menjadi satu hal yang harus selalu dilakukan, ditumbuhkan, dan digerakkan. Pembubaran JI dalam hal ini—meminjam bahasa Ahmad Khoiri—percaya tidak sepenuhnya, ragu tidak seutuhnya.

Ideologi Kelompok Ekstremis-Jihadis Indonesia

Jika di Malaysia ada Noordin M. Top sebagai jihadis militan, maka di Indonesia terdapat Aman Abdurrahman, pendiri kelompok teroris Jamaah Ansharud Daulah (JAD). Barangkali hanya dia yang sampai detik ini masih mempunyai power dalam menggerakkan ideologi ekstremis-jihadis, meski melalui sel tahanan. Bagaimana tidak, buku Seri Tauhid-nya dan ceramah-ceramahnya masih berseliweran di internet dan bisa diakses oleh siapa pun. Buku dan ceramahnya semuanya bernuansa doktrin ideologis dan landasan teologisnya yang cacat.

Sejauh penelusuran, pada dasarnya indoktrinasi yang dilakukan antar kelompok teroris satu dengan kelompok teroris lainnya tidak ada perbedaan, terlebih pada landasan teologisnya. Semuanya berkutat pada ayat-ayat Al-Qur’an yang tampak radikal. Semua doktrin ideologisnya dihasilkan dari proses berpikir yang cacat dan fatal. Mereka seakan-akan memaksa Al-Qur’an mengikuti kehendak mereka, yakni dengan hanya mengambil ayat-ayat (landasan teologis) yang bisa melegitimasi tindakannya (cherry picking).

Sebagaimana di dalam buku Seri Tauhid dan ceramahnya, Aman Abdurrahman menyimpulkan demokrasi sebagai sebuah sistem kekufuran/kemusyrikan yang tidak layak berada di muka bumi, dan harus dimusnahkan. Aman melihat demokrasi di antaranya sebagai, pertama, sumber hukum bukan Allah, tetapi rakyat melalui wakilnya. Kedua, hukum yang dipakai dalam sistem demokrasi adalah hukum manusia dan jahiliyah. Ketiga, sistem demokrasi memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk menganut dan berpendapat (meski itu merupakan kekafiran/kemusyrikan). Keempat, sistem demokrasi menjadikan kebenaran berada di tangan suara mayoritas. Kelima, para pembuat hukum (Tuhan dalam istilah Aman) dalam sistem demokrasi banyak sekali, dan keenam, sistem demokrasi menyamakan antara orang muslim dan orang kafir.

Di antara landasan teologis yang dipakai Aman untuk demokrasi adalah berawal ketika mendefinisikan agama sebagai hukum (undang-undang) sebagaimana yang disinggung dalam ayat 76 surah Yusuf. Lebih jelasnya sebagaimana isi ceramahnya:

“Dien (agama), adalah manhajul hayah (jalan hidup). Dan di antaranya makna dien yang masyhur di dalam Al-Qur’an dan sering dipakai adalah al-hukmu (undang-undang). Di dalam surah Yusuf ayat 76 Allah mengatakan: “Tidak mungkin Yusuf membawa saudaranya ke dalam dien al-malik (undang-undang raja). Berarti ketika dikatakan undang-undang berarti artinya dien (agama), karena itu jalan hidup. Sedangkan Islam memiliki dien (aturan/hukum), begitu juga demokrasi memiliki hukum tersendiri, berarti demokrasi adalah dien (agama/ajaran demokrasi). Berarti demokrasi itu adalah dien di luar Islam. Sedangkan Allah mengatakan: “Barang siapa yang mencari dien selain Islam (mencari agama/mencari hukum/mencari undang-undang) selain Islam, maka tidak akan diterima dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi”.

“Terus Allah juga mengatakan: “Innaddiina ‘indallahil Islam”, dien (hukum) satu-satunya yang Allah ridhai hanya adalah Islam. Agama itu tidak terbatas kepada Nasrani, Yahudi, Hindu, Konghucu, tapi demokrasi adalah dien, karena memiliki aturan hidup (ajaran, ideologi, sistem). Begitu juga sekularisme adalah dien, nasionalisme adalah dien, kapitalisme adalah dien, Pancasila juga adalah dien. Semua itu adalah dien di luar Islam. Ketika orang menganut demokrasi, berarti dia menganut dien (agama) selain Islam.”

Kritik Ideologi Ekstremis-Jihadis

Memahami Islam, dalam hal ini juga Al-Qur’an, tidak cukup bermodalkan satu dan dua ayat sebagaimana kelompok ekstremis-jihadis mempraktikkannya. Kelompok ekstremis-jihadis terlalu bodoh dan menutup hati untuk belajar bahwa dalam ajaran Islam (Al-Qur’an) terdapat yang namanya nilai universal (kulli) yang biasa disebut maqasid syariah (tujuan-tujuan syariat). Nilai-nilai tersebut jadi satu prinsip utama dalam pengambilan hukum Islam, yang pada akhirnya menjiwai segala ajaran yang bersifat parsial (juz’i). Keduanya, baik yang universal (kulli) maupun parsial (juz’i) adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.

Landasan-landasan teologis yang dipakai untuk melegitimasi aksi teror dan membuktikan kesesatan demokrasi, sebagaimana ajaran Aman Abdurrahman di atas, mempunyai konteks dan latar historisnya masing-masing. Ini menunjukkan bahwa terjadi kesalahpemahaman dari pengambilan ayat Al-Qur’an (juz’i) dengan mengabaikan ayat-ayat Al-Qur’an lainnya yang justru memuat prinsip syariat (kulli). Karena itu, pelaksanaan jihad yang dilakukan ektremis-jihadis di Indonesia menunjukkan kegagalan dalam melaksanakan ajaran Al-Qur’an yang bersifat parsial.

Begitu halnya Indonesia dengan sistem demokrasinya yang tidak bertentangan dengan agama. Tidak ada satu pun nilai dari dasar negara ini yang bertentangan dengan prinsip utama dalam Islam. Sistem negara Indonesia pada hakikatnya adalah sistem pemerintahan Islam yang berorientasi pada terwujudnya syariat Islam yang dibangun atas dasar prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Wallahu A’lam.

Referensi

Ken Miichi, Ideologi dan Gerakan Politik Islam di Indonesia: Dari NU hingga Syiah (Bekasi: Alif.id, 2022).

KH. Afifuddin Muhajir, Fiqh Tata Negara (Yogyakarta: IRCiSoD, 2017).

M. Faidh Fasyani
M. Faidh Fasyani
Santri PP Al-Anwar Sarang Rembang. Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir STAI Al-Anwar Sarang, Rembang. Tulisannya telah termuat di beberapa media cetak dan online.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru