Kasus pembuat hoaks di media sosial perihal jaksa terima uang suap soal kasus Habib Rizieq Shihab (HRS) sudah mendapat pengamanan oleh polisi. Pelaku berumur 18 tahun. Dugaan ini menjadi sebuah keraguan tatkala pemilik akun media sosial mengaku bahwa akunnya terkena retas. Persoalan ini akan semakin berkepanjangan di tengah kegaduhan yang tercipta.
Di media sosial, kabar hoaks atas penerimaan suap oleh jaksa justru menjadi narasi yang tidak jauh-jauh dengan tuduhan rezim zalim. Atau juga menurunnya tingkat kebenaran dan keadilan, serta perlakuan tidak manusiawi kepada HRS menjadi narasi apik yang bertebaran di lini masa.
Lebih dari 160 juta penduduk Indonesia mengakses media sosial. Belum lagi dengan adanya pandemi Covid-19 yang mengubah seluruh aktivitas manusia ke media sosial dengan amat sangat cepat. Kemudian, media sosial tak ubahnya seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan yang harus terpenuhi oleh manusia.
Fakta tersebut berbanding lurus dengan kenyataan yang dilansir dari Kompas, bahwa netizen Indonesia adalah netizen yang paling tidak sopan se-Asia Tenggara dengan banyaknya cacian. Nyinyir dan hinaan yang menyebar di media sosial dengan berbagai konten yang tersajikan.
Bagaimana Melihat Kebenaran?
Pertanyaan ini akan memunculkan jawaban “relatif” tatkala setiap orang, atau sekelompok orang memiliki kacamata berbeda dalam melihat sesuatu. Melihat kebenaran yang ada pada pada sebuah rumah. Orang yang berada di depan rumah akan melihat bahwa warna rumah tersebut adalah kuning, sedangkan orang yang melihat dari belakang rumah mengatakan bahwa warna rumah tersebut adalah coklat. Siapa yang paling benar? Semuanya benar. Bagaimana memaknai kebenaran tersebut? Tentu kita harus menyamakan persepsi dalam melihat kebenaran sesuatu.
Dalam kasus rumah yang saya maksud, melihat kebenaran rumah tentunya harus menyamakan persepsi. Orang-orang di luar, selalu berdebat tentang negara harus bersyariah, Islam harus tegak di NKRI. Hukum Islam wajib tegak di NKRI, ataupun yang mengatakan bahwa rezim negeri ini Allah laknat. Wajah Islam keras lainnya barangkali memiliki persepsi yang berbeda dalam memaknai ajaran Islam. Atau justru di balik narasi yang berdengung terdapat kepentingan lain dengan menghalalkan berbagai cara.
Bisa saja begitu. Namun mereka selalu memiliki ruang gerak yang sempit untuk menegakkan ideologi yang berdengung atas nama Islam. Ruang tersebut menjadi cambuk untuk lebih gencar berupaya melakukan hal-hal yang di luar nalar kemanusiaan.
Golongan-golongan yang selalu membuat gaduh ini sangat meresahkan. Tidak sedikit masyarakat yang rendah literasi digital, bacaan dan pengetahuan menganggapnya benar. Sebab mereka ulama, pengganti Nabi dan harus kita hormati seperti apapun kelakuannya. Padahal sebenarnya, Islam mereka tampilkan dengan amat sangat jauh dari kata damai.
Muslim Perusuh di Media Sosial
Tidak bisa kita pungkiri bahwa kehadiran media sosial menjadi babak baru perjalanan setiap orang dalam menapaki perjalanan. Seluruh aktivitas dalam kehidupan sehari-hari selalu terabadikan di media sosial. Andaikan seseorang sudah meninggal, media sosial masih sangat apik menyimpan memori perjalanan hidup seseorang.
Hampir semua aspek kehidupan sudah terakomodir dengan rapi di media social. Tidak terkecuali dengan banyaknya kaum-kaum pembawa narasi Islam yang garang. Menampilkan Islam sangat jauh dari apa yang Nabi Muhammad SAW teladankan.
Habib Rizieq dkk menampilkan corak keislaman yang sangat berbeda. Akan tetapi, golongannya semakin kuat membawa simbol-simbol Islam. Bahkan bukan hanya HRS dkk, golongan perusuh yang lain, kita sebut kaum-kaum radikal justru semakin bergerilya di media sosial dengan konten-konten beranekaragam untuk menyebarkan ajarannya.
Mengutip Harakatuna, Menag Yaqut menyebut bahwa masyarakat banyak terpapar radikalisme di media sosial dengan populasi anak muda yang banyak. Menurutnya, sekitar 7 atau 12 % anak muda yang memiliki perspekti tidak baik terhadap radikalisme seiring dengan meningkatnya penggunaan media sosial di tengah pandemi. Padahal seperti kita ketahui bahwa, anak muda memiliki peran terhadap keberlangsungan dinamika Indonesia di masa yang akan datang.
Tantangan ini menjadi PR besar bagi seluruh elemen masyarakat yang memahami konflik yang semakin rumit dengan ancaman yang tidak terlihat di media sosial. Meski demikian, kita bisa melihat dari apa yang disampaikan oleh Habib Husein Ja’far. Bahwa penceramah wajib memproduksi konten-konten keislaman yang mengajak untuk merawat kebhinnekaan, bukan sebaliknya. Sehingga konten-konten keislaman yang bersifat tuntutan, cacian, hinaan, apalagi sikap keras tidak lagi jadi konsumsi masyarakat. Wallahu a’lam