Harakatuna.com – Radikalisme, kami sepakati, merupakan persoalan yang terus-menerus dibicarakan di Indonesia. Tentu saja ini bukanlah hal baru. Setiap rezim menangani radikalisme dalam bentuk yang berbeda-beda. Namun dalam konteks kekinian, radikalisme mempunyai wajah baru. Kini tidak lagi hadir dari ceramah di mimbar, namun perlahan merambah ke layar ponsel dan televisi.
Di situlah, peran media menjadi sentral. Media bukan hanya alat penyampaian informasi, tapi juga senjata pembentuk opini publik. Permasalahannya sekarang adalah apakah media kita benar-benar menyadari peran krusial ini? Atau mereka hanya puas dengan rating dan popularitas?
Bicara radikalisme, kita bicara narasi. Narasi ini, jika dilepaskan tanpa kendali, dapat melumpuhkan logika dan menghancurkan akal sehat. Radikalisme ibarat benih yang tumbuh subur di tanah tanpa unsur hara, yang dalam hal ini berarti ketidakamanan ekonomi, stagnasi politik, dan frustrasi sosial.
Orang-orang yang terjebak dalam narasi radikal ini biasanya bukanlah orang-orang yang benar-benar memahami apa yang mereka perjuangkan. Mereka membiarkan diri mereka terbawa arus kebencian bercampur janji-janji kosong untuk memperbaiki dunia, mengabaikan bahwa solusi yang diajukan radikalisme hanyalah utopia yang berujung pada kehancuran.
Media sebagai Panggung Naratif
Mari kita pikirkan. Berapa jam yang kita habiskan di depan layar dalam sehari? Layar ponsel, laptop, televisi menyajikan segala jenis informasi yang mengalir tanpa henti. Mulai dari informasi politik, sosial, ekonomi, hingga hiburan. Di sini media menjadi panggung utama cerita. Media mempunyai kekuasaan untuk memilih, memilah dan menyaring informasi yang disampaikan kepada masyarakat. Ini bukanlah kekuasaan yang sewenang-wenang. Sebab di era digital, masyarakat lebih banyak menyerap informasi dari layar dibandingkan dari dunia nyata.
Sedangkan bagi radikalisme, narasi yang buruk bisa berakibat fatal. Media mempunyai tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa narasi yang dibangun adalah narasi yang menyelamatkan dan bukan narasi yang tenggelam. Namun permasalahannya adalah media sering kali terhambat oleh persaingan pasar. Rating, penayangan, suka, dan bagikan adalah kriteria keberhasilan media, bukan kualitas informasi yang dikirimkan.
Ambil contoh bagaimana radikalisme direpresentasikan dalam berita. Sering kali media memberikan ruang yang cukup bagi aktor radikal untuk menyebarkan gagasannya. Alih-alih bersikap kritis, beberapa media mengambil sikap yang ambigu dan netral. Itu berbahaya. Radikalisme bukan soal pandangan mana yang bisa ditoleransi. Ini adalah masalah risiko yang harus dihindari.
Membentuk Opini Publik
Bagi sebagian orang, media hanyalah saluran informasi. Sebenarnya lebih dari itu. Media membentuk opini publik. Dan opini publik, dalam dunia politik, sosial, bahkan keamanan, mempunyai peran yang sangat besar. Suatu kebijakan bisa jatuh atau naik sesuai dengan terbentuknya opini masyarakat.
Dalam konteks radikalisme, media dapat menjadi benteng, bahkan pembuka bagi berkembangnya ideologi ekstrem. Misalnya, jika media sembarangan menyebarkan informasi mengenai terorisme tanpa analisis mendalam, maka yang terjadi adalah ketakutan massal. Ketakutan ini pada gilirannya menjadi lahan subur bagi kelompok radikal yang ingin menyebarkan propagandanya. Narasi bahwa pemerintah tidak mampu menjaga keamanan dan rusaknya sistem sosial politik kita dapat diperkuat oleh pemberitaan media yang tidak bertanggung jawab.
Di sisi lain, jika media mampu menyampaikan narasi yang tepat, maka bisa menjadi penghalang kuat terhadap radikalisme. Media harus berperan aktif dalam membangun narasi yang menekankan pentingnya persatuan, dialog, dan saling pengertian. Media dapat menjadi jembatan untuk mempertemukan sudut pandang yang berbeda, tidak hanya sekedar menjadi corong suatu kelompok.
Kebijakan Editorial yang Baik
Untuk memerangi radikalisme, media harus memiliki kebijakan editorial yang baik. Apa yang dimaksud dengan kebijakan editorial yang baik? Pertama, media harus memahami tanggung jawabnya sebagai pembela moral masyarakat. Mereka harus peka terhadap dampak dari setiap berita yang mereka sampaikan. Mereka tidak hanya harus berorientasi pada keuntungan, namun juga harus mempertimbangkan implikasi sosial dari informasi yang mereka berikan.
Kebijakan editorial yang baik berarti media harus berani mengambil sikap tegas melawan radikalisme. Media tidak boleh membiarkan kelompok radikal menyebarkan gagasannya. Tidak ada kompromi dalam hal ini. Kebebasan pers tidak berarti membiarkan segala jenis ide berkembang tanpa filter. Ada batasan yang harus dijaga. Pers harus menjadi penjaga akal sehat dan bukan sekadar penjaja sensasi.
Dalam hal ini, pelatihan jurnalistik juga penting. Jurnalis harus memiliki pemahaman menyeluruh terhadap isu seputar radikalisme. Ia harus mampu menganalisis peristiwa terkini dari sudut pandang kritis, dan tidak sekadar menyampaikan fakta mentah. Selain itu, mereka harus dilatih memahami konteks sosial politik dari setiap peristiwa agar mampu memberikan informasi yang tidak hanya informatif, namun juga mencerahkan.
Media Digital dan Tantangan Zamannya
Tidak dapat dipungkiri bahwa era digital membawa tantangan tersendiri bagi media. Dengan hadirnya media sosial, siapa pun kini bisa menjadi “penyebar informasi”. Informasi menyebar begitu cepat, tanpa proses verifikasi yang jelas. Di sinilah media arus utama mempunyai tugas yang lebih penting. Ia harus mampu berperan sebagai penyeimbang di tengah derasnya arus informasi ini. Mereka harus mampu menyaring informasi yang baik dan menghilangkan informasi buruk.
Namun media digital juga mempunyai potensi besar dalam melawan radikalisme. Dengan jangkauannya yang luas, media digital dapat menjadi alat untuk menyebarkan cerita-cerita positif. Media digital memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara jurnalis dan pembacanya. Hal ini dapat digunakan untuk memperkuat narasi yang menekankan pentingnya toleransi, pluralisme dan perdamaian.
Generasi muda khususnya merupakan konsumen utama media digital. Mereka tumbuh dengan internet, media sosial dan segala kecanggihan teknologi. Mereka juga menjadi sasaran utama kelompok radikal. Oleh karena itu, media digital harus berperan penting dalam menyelamatkan generasi muda dari cengkeraman radikalisme.
Kerja Sama dengan Pemerintah dan Masyarakat
Perjuangan melawan radikalisme tidak bisa diserahkan kepada media saja. Ini adalah tanggung jawab bersama. Media harus bekerja sama dengan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan komunitas lokal untuk membangun narasi yang kuat melawan radikalisme.
Pemerintah, misalnya, harus memberikan dukungan yang memadai kepada media untuk memerangi radikalisme. Hal ini bisa berupa kebijakan yang mendorong media untuk lebih aktif menyebarkan pesan-pesan positif, sekaligus melindungi jurnalis yang berani melawan wacana radikal.
Selain itu, masyarakat juga harus dilibatkan dalam upaya memerangi radikalisme. Kita perlu memberikan pemahaman yang baik kepada masyarakat tentang bahaya radikalisme dan media dapat menjadi alat untuk menyebarkan pengetahuan tersebut. Dengan melibatkan masyarakat, kita bisa menciptakan bangunan yang lebih kuat melawan radikalisme.
Media sebagai Penjaga Moralitas
Terakhir, kita harus memahami bahwa media memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukan opini publik. Media dapat menjadi alat yang ampuh dalam memerangi radikalisme, asalkan media tersebut menjalankan fungsinya dengan benar. Kebijakan editorial yang baik, pemahaman menyeluruh terhadap isu-isu seputar radikalisme dan komitmen untuk menyebarkan berita-berita positif adalah kunci dalam upaya memerangi radikalisme.
Media bukan sekadar pembawa informasi. Mereka adalah penjaga moralitas masyarakat. Jika media berhasil menjalankan peran ini dengan baik, kita berharap radikalisme tidak mendapat tempat di masyarakat kita. Namun, jika media hanya mencari keuntungan tanpa mempertimbangkan dampak sosial dari pemberitaannya, maka kita sedang menuju jurang yang dalam.
Kami menggunakan media sebagai alat untuk menciptakan perdamaian, bukan untuk meningkatkan perpecahan. Radikalisme adalah musuh bersama dan media adalah salah satu senjata paling ampuh yang harus kita lawan.