28 C
Jakarta

Masuk Tahun Politik, Jawa Tengah Dikategorikan Zona Merah Potensi Radikalisme

Artikel Trending

AkhbarDaerahMasuk Tahun Politik, Jawa Tengah Dikategorikan Zona Merah Potensi Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Semarang – Perbincangan soal Pemilu 2024 kian menghangat seiring isu yang digulirkan sejumlah pihak agar Pemilu 2024 ditunda.

Namun, kini gelombang protes bermunculan menyuarakan Pemilu 2024 agar berjalan sesuai jadwal. Tak terkecuali di Jawa Tengah.

Sejumlah elemen masyarakat dan mahasiswa juga ikut menyuarakan ketidaksetujuannya kalau Pemilu 2024 ditunda.

Nah, untuk mengawal agar Pemilu 2024 tetap berjalan sesuai harapan, peran media massa sangat dibutuhkan.

“Saya yakin media media massa, terutama teman teman wartawan televisi ini, sangat penting untuk mengawal Jawa Tengah, dalam konteks pemberitaan.

Saya yakin nanti orang akan jenuh kepada media sosial dan akan kembali ke media mainstrem.

Nah ini yang harus disiapkan forum-forum semacam ini menjadi penting karena kunci Jateng bisa dikawal bersama-sama dengan pertemuan-pertemuan dan komunikasi semacam ini,” ucap Wakil Ketua Komisi A DPRD Provinsi Jawa Tengah Fuad Hidayat, SSos, MSi, di acara Diskusi “Menuju Pemilu 2024 yang Kondusif”, di Kantor Kesbangpol Jateng Jl Ahmad Yani, Kota Semarang, Kamis (21/4/2022).

Fuad juga mengingatkan, menurut hasil survey BIN Jawa Tengah ini masuk zona merah untuk potensi radikalisme, data BIN mengungkapkan ada 218 eks napiter (napi terorisme) di Jateng, 83 masih aktif.

Kemudian menurut Kesbangpol ada 213 eks napiter, menurut Kodam ada 207 eks napiter. Dan ini potensi yang sangat luar biasa, mana kala ditarik isu SARA pada kondisi yang baik-baik saja menjelang kontestasi Pemilu kemudian politik identitasnya muncul.

“Anggaran untuk Pilgub itu luar biasa besar, KPU itu rekapnya hampir Rp2,4 triliun.

Provinsi dan kabupaten/kota nanti akan sharing antara APBD Provinsi dengan APBD kabupaten/kota. Kita Sementara baru menabung diangka Rp900 miliar,” katanya, dalam Diskusi yang diselenggarakan oleh Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pengda Jateng bekerjasama dengan Badan Kesbangpol Pemprov Jateng, ini.

Dalam kesempatan itu, ada pula pembicara lainnya, Dekan FEB Undip Prof Dr Suharnomo, Ketua IJTI Jawa Tengah Dr Teguh Hadi Prayitno, dan keynote speaker Kepala Badan Kesbangpol Jateng Haerudin, SH, MH.

BACA JUGA  Diduga Terlibat Jaringan Teroris, Warga Selosari Magetan Diamankan Densus

Prof Suharnomo menyampaikan saat ini ada fenomena global yakni ditandai dengan adanya penolakan terhadap sumber-sumber resmi informasi.

“Sumber resmi informasi kalau disini bisa Kesbangpol, bisa kampus.

Kenapa timbul penolakan itu, karena kadang kala sumber resmi itu lama sekali mengeluarkan rilisnya.

Sedangkan masyarakat itu tidak mau menunggu ada informasi langsung ingin tahu soal apa, karena ketiadaan itu maka banyak orang yang bisa beropini dan menjadi pakar.

Secara sosiologis, orang cenderung mencari berita yang sewarna atau yang pas dengan yang diinginkan,” ungkap Suharnomo yang juga Ketua ISEI Semarang.

“Oleh karena itu, kroscek dan mendengarkan ahli yang lain menjadi tidak valid. Karena yang ingin kita dengar ya yang sesuai dengan keyakinan kita,” sambungnya.

Di sisi lain, Kepala Badan Kesbangpol Jateng Haerudin, SH, MH, menyampaikan bahwa televisi menjadi salah satu penangkal berita hoaks dalam konteks Pilkada maupun Pemilu.

“Karena tidak memungkinkan televisi memberitakan hoaks, karena harus disertai gambar visualnya,” kata Haerudin.

Sedangkan menurut Ketua IJTI Jateng Teguh Hadi Prayitno hoaks itu kan adalah berita yang dipelintir atau berita yang direkayasa atau dipalsukan.

“Jadi tolong definisi hoaks ini jangan digeser menjadi sesuatu berita yang tidak sesuai dengan selera kita.

Siapa pun termasuk Pemerintah juga jangan sampai melakukan itu. Kalau berita sesuai dengan fakta dan data, maka jangan kemudian dianggap sebagai berita hoaks” kata Teguh.

Teguh juga mengingatkan, mengkritik adalah sesuatu yang sah, karena di dalam UU Pers No 40 tahun 1999 diatur fungsi media diantaranya sebagai media hiburan, media pendidikan, sebagai media informasi dan yang terakhir berfungsi sebagai kontrol sosial.

“Nah ketika media massa sedang melakukan sebagai kontrol sosial yang di dalamnya juga nengandung kritik, hal itulah yang membuat beberapa pihak terkadang tidak suka,” tandas Teguh.

Ahmad Fairozi
Ahmad Fairozihttps://www.penasantri.id/
Mahasiswa UNUSIA Jakarta, Alumni PP. Annuqayah daerah Lubangsa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru