28.2 C
Jakarta

Masih Pentingkah Beragama di Ruang Publik?

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMasih Pentingkah Beragama di Ruang Publik?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Bergesernya Pemahaman Agama, Dari Kebenaran Mutlak Menuju Kekayaan Kultural Milik Bersama, Penulis: Denny JA, Penerbit Buku: Cerah Budaya Indonesia, Terbit: 2021, Tebal: 161 halaman, Peresensi: Akhmad Saikuddin.

Harakatuna.com – Sebuah pertanyaan yang patut direnungkan bersama, masih pentingkah perilaku keagamaan seseorang dihadirkan atau dimunculkan di ruang publik? Sebuah karya menarik dari Denny JA mengulas pelbagai hal terkait bergesernya pemahaman agama pada era google ini.

Pembahasan dimulai dari publikasi data penelitian dari sebuah lembaga kredibel dunia yang menyatakan betapa negara-negara yang warganya paling bahagia, pemerintahnya bersih dari praktek korupsi dan warganya sejahtera ternyata tidak lagi menganggap agama itu penting.

Mengapa demikian? Hal ini disebabkan mereka menerapkan manajemen modern dalam tata kelola negara dan masyarakatnya. Untuk meraih itu semua akal sehat pun bisa berfikir tanpa harus melalui bantuan agama, karena betapa banyak orang mengatasnamakan agama yang seharusnya dapat menciptakan kebajikan justru malah memperalatnya untuk meraup keuntungan dan kepentingan pribadi.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa masyarakat sebuah negara yang menganggap agama itu penting justru indeks kebahagiannya rendah, pemerintahnya seringkali terjerat kasus korupsi dan indeks kesejahteraan masyarakatnya rendah? Tentu jawaban dari pertanyaan tersebut bukan disebabkan faktor agamanya melainkan faktor lain seperti manajemen negara yang kurang baik, karena jika agama dihayati dan diamalkan secara benar sebagaimana spirit Rumi yang mengajarkan agama cinta niscaya manusia akan mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hakiki.

Mewaspadai Masyarakat Sektarian

Tidak dapat dipungkiri kemunduran Islam di berbagai sektor salah satunya disebabkan faktor sektarianisme, menganggap kelompoknya paling benar dan berhak menjadi menghuni syurga. Perseteruan dua faksi besar dalam Islam antara Sunni dan Syi’ah terus terjadi, bahkan di internal Sunni sendiri terdapat perbedaan yang sangat tajam dan tak jarang antar sesama sunni saling mengkafirkan, begitu pula yang terjadi dalam faksi syi’ah.

Sektarianisme dalam Islam yang sudah mengakar menghambat kemajuan Islam itu sendiri, Arkoun membahasakan taqdis al-akfaar al-diniyah atau sakralisasi pemikiran keagamaan. Islam sendiri mengandung kebenaran absolut secara total tapi penafsiran terhadap Islam merupakan sesuatu yang lain, penafsiran dan pemahaman terhadap Islam seyogyanya ditempatkan sebagai produk pemikiran manusia yang sewaktu-waktu bisa saja keliru sehingga membuka ruang untuk ditafsirkan ulang.

Problemnya adalah jika sektarianisme sudah hadir di ruang publik yang pada akhirnya menimbulkan opini bahwa Islam adalah pemantik kegaduhan. Di negara-negara maju yang warganya paling bahagia, bersih dari praktek korupsi dan sejahtera tidak ditemukan drama sektarianisme yang ditampilkan di ruang publik, mereka tidak memerlukan legitimasi agama untuk menjadikan warganya bahagia, membuat pemerintah bebas dari KKN dan membuat rakyatnya sejahtera, mereka hanya memerlukan manajemen tata kelola negara dan masyarakat yang modern dan akuntabel.

Dalam tataran ideal, masyarakat suatu negara yang menganggap penting sebuah agama harusnya memiliki kehidupan yang jauh lebih bahagia dan sejahtera dibandingkan masyarakat sebuah negara yang tidak menganggap lagi penting sebuah agama,  karena betapa Al-Qur’an banyak menampilkan pesan agar umatnya hidup bahagia, sejahtera dan memiliki rasa takut sehingga ketika hendak melakukan perbuatan nista akan selalu merasa diawasi oleh Allah SWT.

Meyelami Substansi Ajaran Agama

Islam sebagai agama universal tidak hanya bersifat legal formal melainkan juga mengandung nilai substansial, oleh karenanya untuk mendapatkan pemahaman yang utuh dan komprehensif tentu kita harus menyelami kedalaman samudera Islam itu sendiri.

Substansi dari sholat adalah untuk mencegah perbuatan keji dan kotor, bilamana substansi ini tidak tercapai dan tidak mengantarkan pelakunya menjadi insan kamil maka dapat dipastikan ada yang keliru dalam penghayatan sholatnya. Pun nilai substansial dari puasa misalnya untuk mengantarkan manusia menjadi insan bertakwa, dalam makna sederhana takwa adalah sentiasa menjalankan perintah-Nya sekaligus menjauhi segala apa yang dilarang oleh-Nya.

Jikalau semua umat beragama baik masyarakat maupun pemangku kebijakan menghayati dan meresapi ulang setiap syari’at yang indah ini maka kehidupan bermasyarakat maupun bernegara akan menjadi lebih indah yang nantinya berimplikasi pada kebahagiaan, kesejahteraan masyarakat dan terhindarnya para pemangku kebijakan dari praktek menyimpang.

Privatisasi Agama

Beragama merupakan hak setiap individu, tidak dibenarkan adanya intervensi dalam keberagamaan seseorang, baik intervensi dari personal sebagai bagian dari masyarakat maupun intervensi dari negara. Keberagamaan seseorang juga seyogyanya menjadi ruang privat, meskipun tidak ada salahnya agama dihadirkan dalam ruang publik.

BACA JUGA  Felix Siauw dan Propaganda Khilafah di Indonesia

Hanya saja memang ada beberapa kasuistik dalam beragama yang sebaiknya tidak digaungkan dalam ruang publik, misal penyebutkan term kafir kepada orang yang berlainan akidah dengan Islam. Keputusan NU yang menyatakan bahwa penyebutan kafir diganti dengan sebutan non-Mulim di ruang publik dan dalam konteks bernegara adalah keputusan yang tepat, utamanya demi menjaga keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang plural ini.

Hal ini disebabkan kata kafir sendiri memiliki akar sejarah yang panjang dan sangat sensitif, sehingga untuk menciptakan kehidupan yang damai dan tentram perlu penertiban kehidupan di ruang publik salah satunya adalah dengan tidak menyebut golongan yang berlainan akidah dengan sebutan kafir, meskipun secara keyakinan pribadi sah-sah saja menyebut mereka kafir, tapi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara sudah seharusnya kita bisa menempatkan diri secara bijak.

Tidak semua ajaran agama harus digaungkan di ruang publik, kalau pun harus ditampilkan dalam ruang publik seyogyanya diatur agar tidak mengganggu kehidupan masyarakat. Kita tidak hendak menghilangkan agama berikut simbol agama di ruang publik, karena bagaimanapun ia adalah bagian dari syi’ar agama.

Sebagaimana kasus pengaturan toa yang baru saja hangat diperbincangkan, seandainya orang mau berfikir jernih maka akan segera memahami bahwa peraturan ini bukan berarti melarang adzan, ia hanya mengatur suara toa adzan agar tertib dan tidak mengganggu kehidupan bermasyarakat yang plural.

Beragama Menggunakan Akal Sehat

Dalam buku ini Denny JA juga memaparkan sebuah penelitian bahwa orang beragama cenderung memiliki tingkat IQ yang rendah, sangat berbeda dengan masyarakat sebuah negara yang tidak menganggap penting suatu agama.

Memang tidak dapat dipungkiri masih banyak kelompok beragama yang hanya menggunakan daya emosi, mereka tidak menggunakan akal sehat dalam beragama, padahal dalam teks Al-Qur’an banyak ayat yang memerintahkan agar umat beragama mendayagunakan akalnya secara maksimal.

Oleh karena hanya mengedepankan emosi maka tidak mengherankan banyak masyarakat beragama yang mudah merasa kaget dan terkejut, sebut saja dua kasuistik yang saya sebutkan diatas yaitu terkait penghilangan term kafir dalam ruang publik dan pengaturan toa adzan, bagi masyarakat yang tidak berfikir jernih mereka tidak segan meluapkan emosi dengan cara melontarkan caci maki dan sumpah serapah bahkan menjurus pada tindakan teror alih-alih ingin membela agama justru memperlihatkan kualitas beragama mereka yang memalukan dan memilukan.

Agama Sebagai Kekayaan Kultural Milik Bersama

Di era post-modern yang penuh dengan teknologi ini harus ada cara pandang baru terhadap agama yang jumlahnya sekiar 4.300. Semua agama tentu mengajarkan kebaikan dan setiap orang di era internet ini pasti dapat dengan mudah mengakses inti ajaran dari semua agama tersebut yang ternyata mengrerucut pada tiga hal yaitu nilai kebajikan, nilai memberi dan nilai kesatuan.

Agama yang jumlahnya ribuan tersebut tentu memiliki standar kebenarannya masing-masing, standar kebenaran Islam tentu berbeda dengan Kristen, Islam berpandangan nabi Isa tidak disalib melainkan diangkat ke langit, tapi Kristen berpandangan bahwa Nabi Isa (Yesus) mati disalib. Islam berpandangan yang hendak dikurbankan Ibrahim adalah Ismail, tapi Kristen berpandangan Ishak lah yang hendak menjadi sesembelihan.

Tentu dari dua kontradiksi diatas ada salah satu yang keliru, pun meski pandangan salah satunya keliru faktanya dua agama ini menjadi agama terbesar di dunia yang dianut milyaran manusia dalam kurun waktu yang panjang.

Di era internet ini sudah seyogianya umat beragama membuka cakrawala seluas-luasnya, tidak menajamkan perbedaan, tapi harus banyak menemukan titik persamaan. Menghidupkan kembali rasa tepo seliro dalam kehidupan bermasyarakat yang majemuk. Menjadikan agama sebagai kekayaan kultural milik bersama, sehingga kedepannya tidak menjadi anomali ketika banyak orang di luar Kristen justru ikut merayakan natal meskipun mereka tidak mengimani akidah kristiani.

Tidak sedikit juga warga non Muslim turut memeriahkan ramadhan dan hari raya idul fitri meskipun mereka tidak meyakini bahwa puasa dapat menghantarkan pelakunya masuk Syurga, pun banyak orang non Hindu rela datang ke Bali dari berbagai penjuru tempat untuk sekedar merayakan nyepi pada tahun baru Saka meskipun mereka tidak memahami ajaran Hindu, singkatnya pandangan keagamaan semacam inilah yang akan menjadi perekat kehidupan berbangsa dan bernegara.

Akhmad Saikuddin
Akhmad Saikuddin
Pengkaji Studi Kajian Timur Tengah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru