Harakatuna.com – Di dalam ruang-ruang media sosial dan realitas sosial, sistem khilafah masih saja diperdengungkan oleh komplotan fanatiknya. Sistem khilafah dianggap sebagai sistem mapan yang bakal menjadi solusi jitu untuk umat dan bangsa Indonesia.
Oleh karenanya, mereka berharap bahwa sistem khilafah adalah kunci untuk menghilangkan kesedihan dan berbagai musibah, kerusakan, dan kezaliman terus menimpa rakyat secara keseluruhan di dunia.
Bukan Khilafah
Kelompok yang fanatik terhadap khilafah (HTI, Khilafatul Muslimin dan FPI), memang tampak meyakinkan bahwa tahun-tahun yang akan datang bakal aman dan nyaman bila orang memegang teguh kepada sistem khilafah. Solusi terbaik menurutnya untuk mengentaskan kengenesan dunia bisa dicapai melalui sistem khilafah.
Maka itu, rilis laporan prestasi kerja Indonesia mereka anggap kosong. Mislanya Kantor Staf Kepresidenan (KSP), yang menyebutkan bahwa pandemi sudah cukup berhasil dikendalikan. Sebanyak 400 juta vaksin sudah disuntikkan. Vaksin buatan Indonesia, Inavac sudah mendapat izin edar. Sertifikasi PeduliLindungi, bahkan sudah diakui Uni Eropa dan ASEAN, tapi semua itu, bagi mereka sekadar pepesan kosong.
Indonesia pun dipandang tidak siap menghadapi ancaman dan masalah global. Antara lain, karena semua prestasi yang pemerintah Indonesia beberkan atau persentasikan ke publik dianggap hanyalah setingan. Bahkan agenda prioritas pemerintah seperti proyek strategis infrasturktur seperti jalan tol mereka anggap mangkrak. Dan pertumbuhan ekonomi seperti yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) dianggap tambah menyusut.
Bagi mereka, hal tersebut terjadi akibat sistem yang dipakai Indonesia: Pancasila. Dari sistem inilah menurut kelompok garis keras pengusung sistem khilafah, mimpi kesejahteraan makin menjauh saja. Bahkan, tidak bisa dinafikan, pada 2022 banyak peristiwa yang justru membuat rakyat tambah menderita dan jauh dari keberkahan. Itu klaim mereka.
Menakar Narasi Khilafah
Klaim-klaim seperti di atas terus tumbuh. Mereka menyerang sana-sini untuk sekadar pembajakan otak generasi, agar mereka hidup dalam kepungan kecemburuan terhadap realitas apa yang terjadi di Indonesia. Mereka menarget generasi dengan desain rapi yang menampilkan kejelekan-kejelekan Indonesia.
Hal itu yang terus dipompa dan menjadi mesin sebagai bagian politik poros Islam. Maka, apa pun yang terjadi di Indonesia, bagi mereka, semuanya adalah jelek kaffah. Dan Indonesia digambarkan sebagai negara yang mengeksploitatif keekstreman, kejahatan, dan akhirnya berada dalam gurita perpecahan.
Itulah mengapa mereka secara yakin terus-menerus mempromosikan sistem khilafah kepada anak generasi bangsa Indonesia. Bahkan program-program yang niscaya untuk mengentaskan kemiskinan, kebodohan, eksploitatif, kekerasan, patriarkis dianggap jalan menuju sekularisme. Mereka menjelekkan hal-hal apa yang dilakukan KUPI, pesantren tradisional, dan moderasi beragama yang dilakukan Kemenag Indonesia.
Seharusnya di Indonesia
Moderasi dan deradikalisasi dianggapnya program yang sesat dan yang membuat generasi umat kian kehilangan jati diri dan ketahanan ideologi Islam. Beginya, hal tersebut adalah hanya menjalankan proyek Barat yang ingin menghancurkan Islam. Dalam konteks Indonesia, ideologi Pancasila dianggapnya tidak sejalan dengan sosial antropologis bangsa Indonesia. Kendati dianggapnya adalah hasil dari pepesan/perasan ideologi Barat yang dipertahankan hingga sekarang.
Oleh sebab itu, solusinya bagi mereka hanyalah sistem khilafah dan negara Islam. Padahal ideologi tersebut bukan bekal untuk melawan berbagai kemungkaran dan penjajahan, serta bukan menjadi solusi atas kecamuknya umat yang terjadi pada era sekarang.
Sistem khilafah bukan juga yang akan menjadikan Indonesia berada dalam kesejahteraan, keberkahan hakiki. Justru dengan Pancasila Indonesia tampil dengan digdaya dan menjadi umat terbaik, yang bakal memimpin peradaban cemerlang, dan menebar manfaat ke seluruh dunia. Inilah mengapa kita harus terus mempertahankan Pancasila dan menguatkan moderasi agama di Indonesia.