26.9 C
Jakarta

Masalah Khas Radikalisme di Indonesia

Artikel Trending

Milenial IslamMasalah Khas Radikalisme di Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kesalahan menafsirkan agama merupakan masalah khas paham radikal. Secara mendasar, radikalisme berpaham aissez-faire (biarkan berbuat), yakni yang penting orang-orang menjalankan jihad agama tanpa intervensi.

Melalui topangan paham ini, setiap orang berhak menjalankan setiap tabiat jihadnya secara bebas dan tanpa halangan. Menurut mereka, itulah cara bijak untuk menentukan nasib agama dan nasib masalah di dunia, termasuk dirinya.

Masalah Khas Radikalisme

Kesalahan menafsirkan agama akan terjadi sepanjang zaman selama masih menerapkan sistem aissez-faire dan keinginan melakukan jihad. Maskipun ada di antara mereka yang bertobat dan kini menjalankan kontra radikalisme, atau seorang teroris sudah melakukan ikrar setia kepada NKRI, sifatnya sebagai sekadar “pereda nyeri”, yang efeknya hanya temporal (tidak permanen) dan tidak kontinu.

Karena itulah, saya masih bertanya-tanya, seperti apa ideologi teroris yang dijalankan. Mungkinkah ia benar-benar menerapkan keislaman yang sesungguhnya ia percaya sepenuh hati. Atau jalan jihad apa yang sangat mereka bela sampai mati.

Tapi jika itu adalah pilihannya, lalu mengapa sebagian besar para teroris menjalankan kehidupan yang terbalik dari ajaran dan lelaku Islam, seperti mereka menjual narkoba, membohongi orang dengan kotak amal, memerkosa perempuan anak kecil, dewasa hingga ibu-ibu, dan kini menjadi penjual ideologi khilafah yang akhirnya ditangkap oleh Densus 88.

Apa yang terlintas dalam benaknya, dan apa alasan-alasan pilihan baik-buruknya. Jika alasan semua itu dianggap bagian jihad, jihad seperti apa ia lakukan dan impikan? Dengan menjajalkan ajaran khilafah apa pentingnya untuk mereka? Tapi jika hal tersebut menjadi bagian penting dari dirinya, artinya ada lorong pikiran dan aktivitas yang panjang dan mungkin juga basah di mana kawasan-kawasan tertentu sudah menjadi kawasan yang multiekstrem.

Sayangnya, orang-orang berani menjual paham khilafah dan terorisme justru dari kalangan eks napiter yang telah bebas namun kemudian kemabuh kembali. Dari sini, benar-benar tersingkap bagaimana teroris sebenarnya tidak benar-benar jera dan tidak benar-benar mengakui bahwa aksinya selama ini keliru dan salah.

Kembali Ke Akar?

Lalu adakah harapan bahwa amir-amir teroris besar di Indonesia memang benar-benar tobat total dan melepas semua identitas keterorisannya? Meski para amir-amir ini mungkin dalam pengawasan, baik dari segi ideologi atau tempat-tempat rahasia, atau malah bahkan yang diberi fasilitas fantastis atas nama deradikalisasi, tetapi saya masih ragu untuk mengatakan bahwa mereka sudah menjadi orang seperti biasanya, orang yang sama sekali telah merelakan akal, pikiran, dan jalan jihadnya kepada negara secara seutuhnya: setia kepada NKRI.

BACA JUGA  Mengembalikan Identitas dan Karakter Bangsa

Saya belum menemukan alasan masuk akal dari teroris yang menjalankan program atau yang memegang program deradikalisasi sehingga dinyatakan sembuh total. Masih kita sering jumpai teroris liar yang berkeliaran dan mereka di bawah naungan amir-amir itu?

Mereka menggendong tas ke sana ke mari. Mereka juga membawa kitab-kitab atau buku-buku jihad andalannya mengenai bagaimana berjihad sesungguhnya. Dan mereka masih berlatih bagaimana menembak dengan baik dan benar di perbukitan-perbukitan rimbun, sehingga tepat sasaran.

Apa yang terjadi pada mantan teroris yang kini menjadi penadah kotak amal, curanmor, sabu-sabu dan lainnya, adalah masalah kecil belaka di mana ketidaktahuan kita melekat di sana. Paham atau ideologi teroris tak mungkin hilang hanya sekadar karena cinta dan setia pada siapa pun. Pepesan kosong mereka cinta ke NKRI.

Paham teroris akan terus membayanginya hingga akhirnya ia bakal kembali lagi menjalankan fungsinya manakala ia punya kesempatan. Teroris bakal melakukan kerjaannya sebagai teror bilamana keadaan memaksa mereka harus memenuhi itu.

Waspadalah

Jadi, kewaspadaan pemerintah Indonesia, dengan hanya mengandalkan program deradikalisasi, atau yang sekarang membangun padepokan atau Kampung Tangguh Ideologi seperti di depok, Bogor, dan Malang, tak mungkin sepenuhnya akan cukup berhasil. Itu hanya sempalan kecil yang tentunya juga memberikan harapan kecil untuk mencegah penyebaran radikalisme dan apalagi terorisme. Artinya, program tersebut punya tendensi yang mengkhawatirkan.

Namun, ide dan kesediaan untuk memilih alasan-asalan yang terbaik di antara yang buruk patut diapresiasi, ketimbang tidak memilih sama sekali. Namun sekali lagi, kita masih menunggu bagaimana prospek pemerintah (BNPT) ke depan untuk lebih tangkas lagi menghilangkan kekhawatiran masyarakat atas radikalisme dan terorisme di Indonesia.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru