32.4 C
Jakarta

Mari Berislam dengan Ramah, Bukan Marah

Artikel Trending

KhazanahOpiniMari Berislam dengan Ramah, Bukan Marah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Pagi Minggu kemarin, saya bersama kedua orang sahabat Lukman dan Asep pergi berlibur ke tempat wisata alam yang berada di Kuningan Jawa Barat.  Kami bertiga sengaja berangkat pagi-pagi dari Cirebon, karena perjalanan menuju ke Kuningan ini lumayan jauh, ya kurang lebih menempuh waktu 1 jam.

Kuningan yang berada di kaki Gunung Ciremai, kerap kali menjadi tujuan para wisatawan lokal untuk ngadem atau sekedar berlibur bersama keluarga. Apalagi saat tiba di Kuningan di pagi hari, beerrrr udara dingin dan hangatnya cahaya matahari membuat badan kembali menjadi segar.

Setiba di tempat wisata, sekitar jam 09.00 an, kami bertiga bergegas untuk langsung mencari tempat yang cocok untuk memasang hammock agar segara dipasangkan di antara pohon-pohon pinus.

Sementara saya dan Lukman memasang hammock, si Asep kami perintah untuk membeli kopi dan gorangan.

Setelah hammock terpasang, tidak lama kemudian Asep datang membawa kopi dan gorengan. Beuh, upaya healing dari penatnya kerjaan pagi ini saya rasa sempurna.

Saat kami tengah ngobrol, tiba-tiba ada seseorang menepuk pundakku.

“Hai Kang Arul?,” tanya seorang laki-laki dengan postur tubuh tinggi, wajah mata sipit dan berkalungkan salib.

“Ehhh, Kang Bastian ternyata ada di sini juga, sedang liburan ya kang?, jawabku sambil bersalaman.

“Hehehe, iya kang, tadi setelah ibadah, langsung aja ke sini, sekalian anak-anak ingin liburan juga sih. Oya Kang Arul bagaimana kabar nih? kayaknya makin seger aja nih..hehehe” kata dia.

“Alhamdulillah kang, kabar saya baik-baik saja, ya lumayan lah sejuknya udara di sini buat saya makin seger juga kang, kalau sendirinya sih, bagaimana kabarnya kang? makin subur aja nih… hehehe,” tanyaku.

“Puji Tuhan, kabar saya juga baik kang. Oya maaf kang saya duluan ya, soal anak saya ingin ke tempat yang ada ikan di sana kang,” ucapnya, sambil menjabat tanganku lagi untuk pamitan.

“Oke baik kang, jangan lupa nanti kita kumpul-kumpul lagi,”  ungkapku.

“Siap,” tegasnya.

Bastian adalah salah satu teman dekat saya yang beragama Kristen, yang tinggal di Kuningan. Dulu kita dipertemukan dalam sebuah pelatihan di Seren Taun di Cigugur Kuningan.

Bastian merupakan sosok yang baik, ramah dan santun. Pernah suatu hari, ketika saya terjebak hujan di Kuningan, beliau tidak sungkan, untuk menawari saya untuk mampir di rumahnya, bahkan meminta saya untuk menginap di sana.

Walaupun kami baru kenal dan dipertemukan di pelatihan, namun entah kenapa, kami berdua sudah seperti saudara sendiri. Meskipun kami berbeda agama, kami tidak mempermasalahkannya, karena bagi kami perbedaan adalahi sebuah keniscayaan.

Setelah Bastian dan anak-anaknya pergi, saya tiba-tiba langsung ditegur oleh Lukman dan Asep.

“Lho Rul, kamu punya teman orang Kristen sih? Jujur saya kaget dan baru tahu, bukannya kamu ini alumni pesantren. Kamu pasti ngerti dong tafsir surat al-Kafirun. Di situkan sudah tertulis dengan jelas bahwa agamaku ya agamaku dan agamamu ya agamamu. Kamu ini bagaimana sih. Lulusan pesantren ko ilmunya tidak dipakai ,” kata Lukman, dengan nada cukup tinggi.

Belum juga sempat menjawab, dari samping si Asep langsung nyambar.

“Ya betul itu Man. Ilmumu luntur semua tah? Ko kamu senekat itu berteman dengan orang Kristen. Awas lho kamu mesti hati-hati. Mereka itu bahaya. Jangan sampai kamu terbawa-bawa sama golongan mereka. Mending kamu banyakin syahadat deh, biar salatmu diterima,” tambah si Asep memberikan komentar.

“Hai bro, biasa saja sih, liat dia (Bastian) seperti yang liat hantu saja, sampai disuruh baca syahadat pula…hehehe. Eh mana ada ding, hantu yang takut dengan syahadat.”

“Sekarang saya mau tanya, apa sih yang salah dari dia, sebagai orang berbeda agama dengan kita? Apakah tadi saya ditusuk-tusuk, dipukul, atau dicubit sama si Bastian, atau tiba-tiba gara-gara berteman dengan dia, saya jadi murtad gitu? Kan jelas tidak. Sekarang coba pikir secara jernih, bukankah dia juga sama dengan kita sebagai manusia yang hidup di bumi Indonesia,” kataku, coba mengajaknya untuk berdialog.

“Iya, sama lah,” jawab mereka berdua.

“Oke, kalau sama sebagai manusia, kenapa kalian berdua membencinya? apakah Bastian punya salah kepada kalian berdua,” ucapku, coba menanyakan kepada mereka.

“Ya tidak sih, saya juga boro-boro kenal denganya, tapi bagaimana dengan ilmu yang kamu dapatkan dari pesantren. Kalau prilaku kamu jadi begini, ilmumu sia-sia dong,” kata Lukman, mencoba menanyakan kembali tentang pesantren.

Oke, jadi begini ya teman-teman. Memang saya merupakan alumni dari sebuah pesantren. Tetapi selama saya hidup di pesantren, saya tidak hanya diajarkan untuk belajar ilmu agama saja. Melainkan secara tidak langsung, pesantren juga mengajarkan bagaimana mengelola keberagaman dan perbedaan.

BACA JUGA  Kebinekaan dan Langkah Mendesak Meredam Panasnya Konflik Elektoral

Dalam mengelola keberagaman dan perbedaan, pesantren mengajarkan banyak hal baru yang tidak bisa ditemui di rumah, sebagai contoh kecilnya, kalau pesantren dalam masa pembangunan apalagi saat ngecor, maka moment itulah, keberagaman dan perbedaan itu benar-benar bisa dirasakan dan dirayakan dengan indah.

Para santri dari berbagai daerah, suku, bahasa, tradisi kumpul menjadi satu untuk saling bekerjasama untuk ngaduk dan saling estapet membawa ember adukan yang kemudian dituangkan ke atas kerangka bangunan.

Moment itu juga sebagai cara di mana pak kiai dan para santrinya bisa roan bersama untuk sama-sama mengerjakannya. Ditambah lagi kalau setelah ngecor makan bersama. Maka nikmat mana lagi yang kau dustakan… hehehe

Dari sisi kecil ini saja saya sudah bisa belajar bekerjasama dengan orang yang berbeda latar belakang suku, ras, bahasa, sosial, ekonomi, budaya, dan tradisi. Apalagi kalau sisi lainnya. Pasti akan lebih banyak lagi ilmunya.

Maka dengan modal ilmu dan pengalaman tersebutlah membuat diri saya semakin yakin untuk lebih terbuka kepada siapapun dan dengan orang yang beragama apapun. Bagi saya pesantren adalah lembaga pendidikan agama yang memberikan banyak keuntungan termasuk menjadi tempat yang pas untuk belajar mengelola berbagai keberagaman dan perbedaan.

Selanjutnya, terkait soal tafsir surat al-Kafirun, memang betul juga di pesantren saya pernah diajarkan tafsirnya. Tapi sebelum membahas tafsirnya, saya ingin menanyakan kembali, apakah betul, al-Qur’an yang mulia itu, mengajarkan kita untuk menyekat, membatasi tali persaudaraan kepada makhluk-Nya? kan tidak. Kemudian apakah betul, al-Qur’an yang agung itu mengajurkan kita untuk membenci, menghina atau bahkan merendahkan kepada mereka yang berbeda? Kan tidak juga.

Justru al-Qur’an hadir ke muka bumi ini adalah sebagai pentunjuk kepada jalan kebenaran. Al-Qur’an memerintah dan mengajarkan kita untuk banyak sekali melakukan kebaikan, kita dituntut untuk saling menjaga tali persaudaraan, saling kenal mengenal, bertoleransi, menciptakan kedamaian, menebar kasih sayang, berbuat keadilan dan menghormati seluruh makhluk hidup.

Misalnya, salah satu perintah tersebut tertulis dalam al-Qur’an surat al-Hujurat Ayat 13 yang artinya, hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Sesunggguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Perintah Allah SWT dalam ayat 13 surat al-Hujurat menurut saya sudah cukup jelas. Dalam ayat ini menjelaskan bahwa pada dasarnya Allah memerintahkan kita untuk saling menjaga tali persaudaraan dengan siapapun dan dengan orang yang beragama apapun. Bahkan, selain disuruh saling menjaga tali persaudaraan, Allah sendiri yang meminta kita semua hambanya untuk saling kenal mengenal kepada mereka yang berbeda baik, suku, ras, bahasa, bahkan agamanya.

Sebetulnya, saya sedih juga sih mendengarnya, di zaman yang sudah modern ini, kita masih mempermasalahkan “kita berteman dengan orang yang beragama apa”.

Masalah kita mau berteman dengan siapapun, itu terserah kita dong. Selagi tidak membahayakan dan tidak membawa keburukan, menurut saya itu sah-sah saja.

Saya berteman dengan Bastian, justru saling mendatangkan banyak kebaikan, dan kebahagiaan. Bastian bisa belajar tentang Islam ke saya, begitupun sebaliknya, saya bisa mengetahui banyak hal tentang agama Kristen.

Maka menurut saya, dari hal ini penting untuk terus dirawat dan dijaga. Sebab dari sisi inilah membuat wawasan kita lebih terbuka, dan membuat kita sadar bahwa Indonesia itu sangat kaya dengan segala perbedan dan keberagaman.

Saya sebagai muslim, agama saya mengajarkan untuk memberikan penghormatan kepada seluruh manusia. Dalam artian, saya diperintah untuk bersikap menghormati, menghargai, menyayangi, mencintai, menjaga, dan melarang untuk berbuat kezaliman, termasuk menghina, merendahkan, membenci, mendiskriminasi, atau bahkan berbuat kekerasan kepada seluruh manusia, baik kepada siapa pun dan dengan latar belakang apapun.

Lebih lanjut, saya jadi teringat pada perkataan yang sering disampaikan oleh KH. Husein Muhammad. Beliau mengatakan bahwa Islam adalah agama yang hadir untuk menciptakan kedamaian, kasih sayang, keadilan, keselamatan dan mengembalikan eksistensi manusia serta mengatur relasi manusia dengan manusia yang lain.

Maka, kita yang sama-sama sebagai manusia Indonesia sudah sepatutnya untuk menghormati mereka yang berbeda dengan kita, sebab Indonesia dengan segala perbedaan dan keberagaman agama yang dimilikinya adalah sebuah keniscayaan. Kita tentu saja tidak dapat menghilangkannya, yang bisa kita lakukan adalah bagaimana membuat keberagaman yang kita miliki menjadi kekuatan untuk menjaga keutuhan bangsa ini. []

Fachrul Misbahudin
Fachrul Misbahudin
Pendaki Gunung yang Rajin Masak

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru