29.7 C
Jakarta

Serial Pengakuan Eks Napiter (IV): Mantan Teroris Yusuf Berjihad buat Keluarga Tercinta

Artikel Trending

KhazanahInspiratifSerial Pengakuan Eks Napiter (IV): Mantan Teroris Yusuf Berjihad buat Keluarga Tercinta
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Saya punya kisah masa lalu yang menyedihkan. Semuanya jadi korban, lebih-lebih keluarga saya sendiri. Paling tidak keluarga merasa malu karena saya. Saya telah menjadi seorang teroris.

Saya merasa hepi dengan status teroris. Saya merasa paling muslim. Saya merasa paling benar. Saya merasa paling pantas masuk surga. Bahkan, saya dan ikhwan-ikhwan (sebutan bagi teman laki-laki yang satu afiliasi) yang hanya mendapatkan hidayah. Sementara, orang lain yang bukan ikhwan diklaim kafir.

Saya masih ingat, bagaimana saya dan para ikhwan gemar mengkafirkan orang yang berbeda paham. Mereka yang disebut kafir tentunya halal darahnya untuk dibunuh.

Kafir-mengkafirkan dalam sejarahnya bermula pada masa kepemerintahan Imam Ali Ibn Abi Thalib. Hadirlah kelompok Khawarij yang melihat teks secara literal. Melalui surah al-Ma’idah ayat 44 Khawarij getol mengkafirkan orang yang mengikuti Imam Ali, karena keputusan yang mereka ambil bukanlah keputusan Allah.

Saking kuatnya doktrin kafir-mengkafirkan, saya menyebut negara Indonesia sendiri adalah negara kafir. Sebab, negara merah putih ini tidak menggunakan sistem khilafah berlandaskan manhaj kenabian. Negara yang tidak menggunakan sistem khilafah pasti bukan negara Islam (daulah islamiyyah).

Kafir-mengkafirkan lalu menghalalkan darah orang yang berbeda paham adalah kronologis yang menggiring saya menjadi teroris. Saya pernah terlibat bom di Semarang tahun 2003, sehingga mengakibatkan kaca pos pecah serta pagar sebelah barat rusak dan retak. Selain itu, saya pernah menyimpan 26 bom rakitan yang diperkirakan ledakannya dua kali lipat dari bom Bali.

Akibat kezaliman itu, saya bersama ikhwan-ikhwan ditangkap oleh Densus 88 di sebuah rumah kontrakan di Jalan Taman Sri Rejeki Selatan, Semarang dan divonis hukuman 10 tahun penjara. Saat kondisi tidak dapat melawan, saya pasrah menerima kenyataan pahit tinggal di balik pengapnya jeruji besi.

Di dalam penjara saya melakukan banyak renungan atas perbuatan yang telah saya lakukan. Saya mulai menyadari, hukuman ini adalah cara Allah menghadirkan hidayah sehingga saya bertekad bulat hijrah dari aksi-aksi radikal yang telah merugikan banyak orang. Niat yang kuat terus mendorong saya bangkit dari keterpurukan hingga saya dibebaskan dari penjara.

Setelah bebas saya meninggalkan paham radikal dan berpindah pada paham yang moderat. Selain itu, saya tidak lagi menghabiskan usia yang semakin menua dengan perbuatan yang kurang bermanfaat, apalagi merugikan orang lain, lebih-lebih keluarga sendiri. Saya menyesal telah melakukan banyak kesalahan dan dosa. Saya tidak tahu perbuatan apa yang dapat menghapus segala kesalahan ini.

BACA JUGA  Serial Pengakuan Eks Napiter (C-LI-XXIII): Perjuangan Esel Kembali ke Masyarakat setelah Dijatuhi Kasus Terorisme

Saya coba menyibukkan diri bekerja untuk menafkahi keluarga. Saya diterima bekerja sebagai karyawan warung makan di Semarang. Mungkin lewat ini segala kesalahan akan terampuni dan segala dosa dapat terhapus. Namun, tidak lama saya dipecat oleh bos karena diketahui saya mantan napi terorisme yang masih dikenakan wajib lapor ke polisi sehingga sering absen dari pekerjaan.

Saya bingung setelah pemecatan itu. Saya tidak tahu akan kerja apa. Karena, status mantan teroris dapat memberikan stigma negatif di mata masyarakat sehingga mereka cenderung menolak kehadiran saya. Ada pada titik itu memang berat saya rasakan. Saya tetap optimis, setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Saya coba bertemu seorang teman yang pernah mengunjungi saya saat di penjara Kedung Pane, Semarang. Dialah Noor Huda Ismail, pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP), sebuah yayasan penelitian tentang terorisme. Dia pernah belajar di Pondok Ngruki dan pernah menjadi jurnalis Washington Post. YPP didirikan untuk membantu para mantan teroris kembali berinteraksi dengan ke masyarakat.

Mas Huda menyarankan saya merintis bisnis sendiri, sedang soal modal Mas Huda siap mencarikan. Mulai dari situ, saya menghubungi tiga teman lama yang juga mantan teroris untuk merintis usaha Dapoer Bistik atau rumah makan di Semarang. Setelah berlangsung beberapa bulan, usaha semakin berkembang. Sehingga, saya membuka cabang di Solo. Selain itu, saya juga merintis usaha rental mobil di Semarang.

Tak terasa saya sampai pada titik kecukupan rezeki, sehingga dapat menghidupi keluarga. Mengalirnya pundi-pundi rupiah mengantarkan saya memiliki tiga unit mobil. Pada titik ini, saya semakin yakin, bahwa jihad yang sebenarnya bukan tindakan radikal dan aksi terorisme. Namun, jihad yang sesungguhnya adalah bekerja keras untuk menafkahi keluarga dan menebar manfaat di tengah semesta.[] Shallallah ala Muhammad.

*Tulisan ini diolah dari cerita Yusuf Adirima yang dilansir di media Kumparan dan Tribun News

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru