31.8 C
Jakarta

Manajemen Teror (9): Masa Depan Umat Islam Indonesia dalam Genggaman Terorisme

Artikel Trending

Milenial IslamManajemen Teror (9): Masa Depan Umat Islam Indonesia dalam Genggaman Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Ini adalah seri penutup kajian manajemen teror. Kita, pada bagian-bagian sebelumnya, telah mengulas rinci seluruh gagasan Abu Bakar Naji tentang proyek panjang Negara Islam. Mungkin sebagian orang akan menganggap buku ini tidak terlalu urgen, karena merasa bahwa negara kita, Indonesia, aman dari terorisme global. Siapa yang dapat menyangkal, bahwa sebagian masyarakat di Indonesia masih menganggap terorisme sebagai propaganda pemerintah belaka?

Namun, ada yang krusial dibahas pada sesi terakhir ini, yang bertolak dari tesis Naji tentang pasal-pasal manajemen teror yang telah kita ulas dalam bagian kelima, Manajemen Teror (5): Propaganda Jihad dan Taktik Terorisme. Dalam pasal keempat, penggunaan kekerasan (i’timad al-syiddah), Naji mengatakan begini,

وهنا نقطة هامة أن أفضل من يقوم بعمليات دفع الثمن هم المجموعات الأخرى في المناطق الأخرى، والتي لم يقع عليها العدوان، وفي ذلك فوائد عدة سنتوسع فيها في الفصل الخاص بالشوكة من أهمها إشعار العدو أنه محاصر ومصالحه مكشوفة، فلو قام العدو بعمل عدائي على منطقة في جزيرة العرب أو في العراق فتم الرد عليه في المغرب أو نيجيريا أو أندونيسيا سيؤدي ذلك إلى إرباك العدو خاصة إذاكانت المنطقة التي تتم فيها عملية دفع الثمن تخضع لسيطرة أنظمة الكفر أو أنظمة الردة فلن يجد مجالاً جيداً للرد عليها، وستعمل تلك العملية كذلك على رفع معنويات من وقع عليهم العدوان وإيصال رسالة عملية للمسلمين في كل مكان بأننا أمة واحدة وأن واجب النصرة لا ينقطع بحدود

Operasi-operasi bayar harga sebaiknya dilakukan oleh unit-unit lain di wilayah berbeda yang tidak terkena agresi. Hal ini mengandung banyak manfaat yang akan kita bicarakan secara luas di pasal khusus tentang “kekuatan”, yang terpenting di antaranya adalah: menimbulkan perasaan pada musuh bahwa mereka terkepung dan kepentingan-kepentingan mereka telah terdeteksi. Jika musuh melakukan agresi di suatu wilayah di Jazirah Arab atau Irak maka reaksi balasan akan terjadi di Maroko, Nigeria, atau Indonesia. Hal itu akan mengakibatkan musuh kebingungan, terutama apabila wilayah yang terkena operasi ‘bayar harga’ berada di bawah kekuasaan pemerintahan kafir atau murtad, maka ia tidak mendapat sasaran yang strategis untuk melakukan serangan balasan. Operasi itu juga akan berperan menaikkan mental mereka yang menjadi korban agresi dan menyampaikan pesan konkret kepada kaum Muslim di mana pun bahwa kita adalah satu umat dan kewajiban menolong tidak bisa diputus dengan garis perbatasan negara.”

Ia menambahkan,

ولا يقتصر دفع الثمن في الصورة السابقة على العدو الصليبي، فعلى سبيل المثال إذا قام النظام المصري المرتد بعمل قام فيه بقتل وأسر مجموعة من المجاهدين، يمكن أن يقوم شباب الجهاد في الجزيرة أو المغرب بتوجيه ضربة للسفارة المصرية مع بيان تبريري لها أو القيام بخطف دبلوماسيين مصريين كرهائن حتى يتم الإفراج عن مجموعة من المجاهدين مثلاً ونحو ذلك، مع اتباع سياسة الشدة بحيث إذا لم يتم تنفيذ المطالب يتم تصفية الرهائن بصورة مروعة تقذف الرعب في قلوب العدو وأعوانه

Operasi bayar harga sebagaimana ilustrasi terdahulu tidak terbatas terhadap musuh Salibis. Sebagai contoh, jika Rezim Mesir yang murtad membunuh dan menawan sekelompok mujahidin maka para pemuda jihad di Jazirah Arab atau di Maroko melancarkan serangan ke kedutaan Mesir sambil menjelaskan alasan serangan itu atau melakukan penculikan terhadap diplomat Mesir sebagai jaminan pembebasan sekelompok mujahidin, misalnya, dan sebagainya. Politik kekerasan juga harus diikuti sehingga jika tuntutan tidak dipenuhi, para sandera harus dilikuidasi dengan cara yang menakutkan, yang akan menimbulkan ketakutan di hati musuh dan pendukungnya.

Dari statemen tersebut, bukankah telah jelas bahwa Indonesia masuk dari proyek manajemen teror yang Naji rancang? Meski hanya wilayah sekunder, terorisme di Indonesia sangat signifikan dan, yang mungkin tidak banyak orang sadari, mereka bergerak jauh lebih maju dari apa yang masyarakat Indonesia ketahui. Dari segi amaliah, pendanaan, dan strategi teror. Semuanya telah matang, tidak amatiran. Masihkah menganggap itu semua sebagai propaganda pemerintah?

Indonesia dalam Ancaman

Melihat terorisme di Indonesia secara retrospektif mungkin akan menyadarkan seluruh masyarakat, bahwa negara ini benar-benar tengah berada dalam ancaman besar proyek Negara Islam. Di Indonesia memang ada banyak kelompok yang mencita-citakan kekhilafahan, seperti Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir. Islam garis keras seperti FPI, juga, meski masih menerima Pancasila dan NKRI. Tetapi mereka bukan ancaman serius. Gerakan mereka amat tak berarti.

Ancaman serius Indonesia adalah kelompok yang radikalnya tidak abal-abal, kelompok yang benar-benar membenci Indonesia baik dari sistem pemerintahan dan iklim keberislamannya. Mereka punya banyak nama, seperti Jamaah Islamiyah, MMI, MIT, JAD, JAT, dan sejenisnya. Mereka inilah para teroris asli yang sangat berbahaya. Siapa mereka jika ditarik dalam satu garis? Jawabannya adalah Salafi. Merekalah kelompok yang Naji puja-puji di akhir bukunya.

Salafi di Indonesia telah diulas oleh banyak tokoh yang concern dalam diskursus Islam politik. Sayangnya, penerimaan masyarakat terhadap istilah Salafi masih terkotak-kotak: sebagian percaya, dan kebanyakan justru menyangkalnya—menampilkan spirit utama dan penyakit puritanisme akut umat Islam di Indonesia. Dalam apa pun jenisnya, Salafi adalah pondasi ekstremisme. Mereka tidak akan pernah terima dengan sistem Indonesia. Sampai kapan pun.

Yang menarik untuk dipikirkan adalah kemampuan mereka bertahan secara fluktuatif. Di rezim pemerintah yang ofensif terhadap radikalisme-terorisme, seperti dalam pemerintahan Jokowi hari ini, yang berhasil membubarkan HTI dan FPI, para teroris JI cs masih bisa bergerak di bawah tanah hingga berhasil mengumpulkan dana miliaran. Buku Naji ini, juga tengah mereka geluti sebagai persiapan. Dan siapa yang bisa melacak mereka?

BACA JUGA  Politik Dinasti dan Politik Identitas, Bahaya Mana?

Pertanyaannya adalah, bagaimana jika pemerintah nanti tidak lagi ofensif, dan justru lunak bahkan tak peduli dengan persoalan radikalisme-terorisme? Jawabannya bisa dilihat saat Indonesia berada dalam ambang instabilitas ekonomi-politik, di akhir pemerintahan Orde Baru hingga awal Reformasi. Presiden Abdurrahman Wahid hingga Megawati fokus terhadap upaya stabilisasi negara, dan apa yang terjadi di era pemerintahan mereka?

Bom Bali I, Bom Hotel Marriott, dan puluhan aksi teror lainnya menyeruak tak terkontrol oleh pemerintah. Terorisme baru relatif reda di periode kedua pemerintahan SBY, dengan matinya Noordin M. Top dan didirikannya BNPT—membantu Densus 88 yang telah lahir setengah dekade sebelumnya. Saat Jokowi terpilih, dalam dua dekade ia memimpin, para kelompok itu seperti terkikis habis. Namun untuk mengatakan mati, itu adalah kemustahilan.

Sedemikian nyata ancaman terorisme terhadap Indonesia, dengan fenomena concervative turn hari-hari ini. Keganasan Jokowi dalam menghadapi Islam garis keras hingga kelompok teror ternyata melahirkan kegelisahan mendalam bagi sementara kalangan, bahwa rezim ini anti-Islam; meski sebenarnya anggapan tersebut merupakan bagian dari keberhasilan propaganda terorisme.

Pertanyaannya, bagaimana jika pasca-rezim Jokowi, nanti setelah 2024 dan ke depannya, orientasi politik tidak lagi fokus menanggulangi radikalisme-terorisme? Apakah kelompok teror, apa pun namanya, dengan segala persiapannya yang telah mereka lakukan sejak sekarang, tidak akan bangun dari tempat tiarapnya? Harap-harap cemas bukanlah tak berdasar. Indonesia punya rekam jejak buruk tentang terorisme.

Klimaks Manajemen Teror

Manajemen teror—sebagaimana disinggung sebelumnya—adalah panduan terorisme global, yang mungkin tak terimplementasikan secara persis di berbagai negara. Namun, seluruh proyek Negara Islam akan mengacu pada strategi Naji, yang secara bertaut bisa kita amati dalam seluruh aksi teror yang pernah terjadi di Indonesia. Geopolitik Barat menginspirasi umat Islam, membuat para jihadis marah dengan supremasi Salibis AS dan sekutunya.

Dari seluruh gagasan manajemen teror Naji yang telah kita kaji dalam delapan seri tulisan sebelumnya, kita bisa melihat Negara Islam sebagai klimaks optimisme seorang ahli strategi politik. Naji sukses memformulasikan terorisme tidak saja dari aspek argumentasi teologis, menghadirkan strategi aktual yang sering kali non-syariat tapi dianggap bagian darinya. Jamal asy-Syalbi, dosen ilmu politik di Universitas Hasyimiah, Yordania mengkritisi gagasan Naji. Ia mengatakan,

Ada beberapa pertanyaan yang penting untuk dijadikan sebagai bahan pemikiran dan dijawab secara memuaskan, yaitu: parameter apakah yang digunakan penulis (Naji, red.) untuk menilai kejihadan pengikut-pengikutnya dan kemampuan mereka untuk bertahan, berperang, dan melakukan persiapan terus-menerus untuk meraih kesyahidan atau kemenangan? Ketika penulis mengajak kita melihat kepada zaman dan kekuasaan kaum Muslimin generasi awal, apakah ada alasan yang memungkinkan untuk membangkitkan kembali Negara Madinah yang telah didirikan oleh Rasul sejak lebih dari 14 abad yang lalu itu? Apakah diplomasi jihad yang diadopsi oleh gerakan Salafi Jihadi ini merupakan sebuah pemikiran Islam yang orisinal ataukah pemikiran ‘yang datang dari luar’ atau sekadar ‘reaksi’ terhadap peristiwa-peristiwa dalam konteks konflik antara dunia Islam dan dunia lain, terutama Barat? Dalam situasi dan kondisi politik, ekonomi, dan sosial dunia Arab dan Islam sekarang ini, bisakah pemikiran aliran Salafi Jihadi ini menjadi pilihan yang diterima—walaupun bersifat sementara—oleh rakyat yang merasa telah menghadapi jalan buntu setelah kegagalan mereka menjalankan banyak pilihan pemikiran, mulai dari pemikiran kiri, nasionalisme, dan Islam moderat, seperti teori ‘mengisi kekosongan’?

Kritik Asy-Syalbi tersebut bertolak dari realitas umat Islam secara umum di satu sisi dan jihadis di sisi lainnya. Selain merupakan tahap paling kritis yang boleh jadi kebanyakan umat Islam akan menganggap Naji gila dan lebih memilih gagasan nir-kekerasan Gandhi yang Naji kritik tajam, manajemen teror bukanlah perkara mudah juga karena kristalisasi harmoni antarumat: jika bisa hidup damai berdampingan, mengapa harus melakukan teror dan menumpahkan darah sesama?

Buku Idarah al-Tawahhusy juga menyembunyikan fakta lain bahwa pendanaan proyek Negara Islam, betapa pun telah dibingkai sebagai yang syar’i, ternyata dusta belaka. Narko-terorisme, tren pendanaan kaum jihadis dengan menjadi bandar narkotika global, adalah legalisasi cara-cara haram untuk proyek Negara Islam yang utopis. Penipuan kotak amal untuk terorisme juga tetaplah penipuan: apakah Islam mengajarkan penipuan kepada sesama?

Karena itu, sebelum menutup bahasan manajemen teror ini, sang penting untuk melihat klimaksnya. Seluruh umat Islam di dunia, terutama di Indonesia, harus sadar sepenuhnya bahwa Negara Islam itu—selain lemah secara argumentasi teologis dan historis—sangat lemah dari argumentasi ideologisnya. Negara Islam menjadi proyek pragmatis segelintir manipulator Islam: proyek berdarah yang sangat kontradiktif dengan ajaran Islam itu sendiri.

Teror boleh jadi memang anti-klimaks, karena ideologi memang mustahil dibunuh; hanya bisa ditekan serepresif mungkin. Namun manajemen teror biarlah menjadi utopia Naji dan kelompok teror, sementara umat Islam harus kompak melawan mereka.

Tahapan paling kritis umat bukanlah keniscayaan melakukan aksi teror demi Negara Islam seperti yang Naji uraikan panjang lebar. Tahapan paling kritis yang sebenarnya adalah melawan kelompok teror itu sendiri. Mereka mengatasnamakan perjuangan Islam, memecah-belah umat, mengeksploitasi dalil-dalil agama. Sungguh melawan mereka sangatlah sulit. Namun seluruh umat harus melawati tahap kritis itu demi satu proyek jangka panjang: perdamaian umat manusia.

Sekian

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru