32.9 C
Jakarta

Manajemen Teror (6): Geopolitik, Strategi Militer, dan Infiltrasi Jihad

Artikel Trending

Milenial IslamManajemen Teror (6): Geopolitik, Strategi Militer, dan Infiltrasi Jihad
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Lima pasal manajemen teror yang telah diuraikan pada tulisan sebelumnya adalah aturan main jihad, atau dalam bahasa kita disebut terorisme. Maka tidak mengherankan jika JI dan JAD juga tengah mengkaji buku ini, sebagai referensi dari strategi-strategi pergerakan mereka. Manajemen teror menjadi balas dendam setimpal kepada AS dan Barat. Dan mengingat musuh sangat kuat, maka keterampilan jihadis menjadi niscaya. Ini masih dalam proyek jangka panjang Negara Islam.

Para Salibis—AS dan Barat—yang dianggap mengeksploitasi Islam, membungkam umat, dan mendiskreditkannya sebagai agama, adalah para thaghut yang meski wajib dilawan, kata Naji, namun manajemen perlawanan harus dikuasai. Dalam kelima pasal yang dibahas sebelumnya, dapat ditarik pemahaman bahwa prinsip manajemen teror adalah sejauh mana dan sekejam apa musuh pada kita, maka kita juga harus melakukan hal yang sama. Tak bisa ditawar.

Maka, pasal Keenam, yang Naji tawarkan, ialah penguasaan geopolitik perang. Ia mendesak agar para jihadis, terutama sang komandan, untuk menguasai strategi medan jihad, juga mendesak mereka menguasai ilmu politik sebagaimana ilmu militer. Naji menegaskan, strategi politik tidak bisa diabaikan, dan bisa jadi lebih urgen dari strategi militer. Naji membenarkan tesis bahwa ‘satu kesalahan strategi politik lebih fatal daripada seratus kesalahan militer’.

Nasib jihad taktis tergantung pada manajemen politik yang terampil. Maka memahami taktik politik musuh, menguasai strategi mereka, dan memfiltrasinya agar tidak melenceng dari syariat itu jauh lebih urgen daripada aksi militer. Di antara yang Naji garisbawahi dalam pasal ini adalah pentingnya kesadaran ihwal kepentingan politik jihad; harus sesuai syariat, bukan kepentingan personal seperti yang lumrah di AS dan Barat yang dengan pongahnya berprinsip,

Tidak ada permusuhan abadi dalam politik dan tidak ada persahabatan abadi. Tetapi yang ada ialah kepentingan abadi.

Beberapa detail penting ihwal dimensi politik pertempuran, ditawarkan Naji, meski ia mengafirmasi perlunya modifikasi sesuai syariat, ialah:

  1. Politik Islam tak cukup hanya diproyeksikan untuk politik tingkat tinggi, melainkan juga harus ikut andil dalam pengambilan keputusan politik—di lapangan
  2. Memahami basis politik reformis seperti Ikhwanul Muslimin dan Salafi sebagai kunci menganalisis posisi mereka ketika terjadi semisal insiden
  3. Tanggap, cermat, dan detail dalam segala perencanaan seperti menyusun target serangan secara teratur sesuai urgensitasnya. Termasuk juga dalam hal ini ialah kepiawaian mengantisipasi intrik politik musuh
  4. Memahami politik syariat untuk menghadapi musuh, sekaligus untuk menghadapi sesama jihadis yang membelot dengan bergabung ke PBB (Al-Umam al-Muttahadah), mabuk-mabukan yang membuatnya harus dihukum, dan segala kemungkinan pembelotan. Pembelotan jenis ini, kata Naji, terbilang sensitif dan rumit, dan tidak dapat diselesaikan dengan dalil-dalil syariah belaka
  5. Menguasai media sebagai jihad daring, mengingat para Salibis menggunakan media sebagai taktik mereka. Gerakan jihad harus merebut peran media demi menggaet para pengikut dan loyalis.

Keterampilan jihadis benar-benar diperhatikan Naji, bahwa umat Islam jelas tidak mungkin cukup menggunakan cara konvensional—bahwa strategi representatif menjadi wajib dan harus dicari legalisasinya secara syariat. Internalisasi geopolitik demikian menyiratkan bahwa jihad tak bisa hanya dipandang sebagai buah ekstremisme, sebagai ideologi an sich. Manajemen teror jauh lebih kompleks dari itu. Ini sekaligus membantah teori konspirasi tentang terorisme.

Polarisasi Politik

Pasal manajemen teror yang Ketujuh ialah polarisasi (al-istiqthab). Penyerangan dan penaklukan musuh mesti ditempuh melalui kaveling komunitas, dan sejauh mungkin memagnetisasi jihad pada seluruh elemen masyarakat. Media, yang ambil peran besar untuk tujuan tersebut, mesti mempropagandakan kemanan, penerapan syariat, solidaritas, dan kemajuan—sehingga orang-orang tertarik gabung bahkan jika harus datang dari negara yang jauh.

Polarisasi, kata Naji, dalam manajemen teror, adalah menguasai administrasi di daerah yang telah para jihadis kuasai, melalui beberapa cara:

  1. Menaikkan tingkat keimanan (raf’u al-halah al-imaniyah). Membingkai keamanan Negara Islam sebagai negaga ideal yang sesuai tuntutan syariat, untuk kemudian menarik orang bergabung ke dalamnya
  2. Eksekusi langsung (al-mukhathabah al-mubasyarah), yakni mengirim utusan kepada pemerintah untuk mengajak mereka berbaiat pada tauhid dan jihad. Ini mungkin tidak bisa ditempuh secara frontal, melainkan gradual—ketakutan dimaklumi, tetapi cara ini harus ditempuh
  3. Pengampunan (al-‘afw). Tidak ada pengampunan bagi seorang murtad kecuali dia masuk Islam, lalu ia punya pilihan antara dimaafkan atau dibunuh, namun Naji memprioritaskan pemaafkan karena hanya dengan itu polarisasi bisa digapai
  4. Pendanaan (al-ta’lif bi al-mal), baik dari pengelolaan amal maupun lembaga keuangan dengan unit-unit kecil namun signifikan.
BACA JUGA  Menguji Konsistensi Etika dan Toleransi Muslim Indonesia

Setelah polarisasi sukses, maka umat Islam yang telah berada dalam panji jihad harus merapatkan barisan sebagai strategi penguatan komunitas. Maka pada pasal Kedelapan, Naji menegaskan aturan afiliasi. Mengetahui aturan afiliasi, lalu mempraktikkannya, ia anggap memudahkan tegaknya sebuah negara (qiyam al-daulah), karena kekuatan yang sporadis tidak akan mencapai tujuan.

Gerakan jihad menurut Naji harus diproyeksikan sebagai satu kesatuan. Agenda utamanya adalah pertempuran, maka pemimpin haruslah ia yang terampil, sementara yang lain harus bergabung dan membantunya. Masalah afiliasi tidak bisa mengendepankan egoisme, misalnya karena senioritas dan semacamnya yang justru akan mengaburkan tujuan utama untuk menegakkan Negara Islam. Kepentingan personal disingkirkan, dan aturan utama afiliasi adalah kemaslahatan jihad.

Naji menyadari bahwa problem afiliasi ialah belum adanya baiat umum di kalangan para jihadis. Dan masing-masing kelompok bahkan bertentangan. Kita dapat melihat maksud Naji ialah seperti yang terjadi pada kelompok teror lokal dan global, yang punya banyak nama dan saling bermusuhan—enggan berafiliasi. Al-Qaeda dan ISIS musuhan, sama dengan JI dan JAD juga demikian. Naji, tegasnya, tengah menyusun strategi untuk itu.

Teknik Infiltrasi

Pasal Kesembilan, menguasai dimensi keamanan, yakni pengawasan dan penyusupan musuh. Operasi intelijen ditegaskan sebagai upaya membangun struktur milisi yang kuat dan aman, untuk menyerang musuh dari dalam lalu mendirikan Negara Islam. Kita, kata Naji, harus menyusup ke kepolisian, tentara, partai politik, surat kabar, kelompok Islam, perusahaan, lembaga sipil. Meski sudah berlangsung sejak lama, ini harus ditingkatkan intensitasnya.

Kesepuluh, menguasai tarbiah gerakan Islam awal. Ini menjadi titik tolak manajemen teror, bahwa penaklukan musuh—selain harus berdasarkan legitimasi syariat—juga harus sesuai dengan historisitas Islam awal. Sebab, cita-cita Negara Islam itu di antara spiritnya ialah era keemasan, di mana Islam mendominasi peradaban dunia melalui strategi yang oleh Naji disebut pasca-manajemen teror. Dalam pasal terakhir ini, Naji mengklasifikasi metode-metode tarbiyah menjadi lima:

  1. Tarbiah dengan Nasihat (Mau’izhah), dengan tiga jenisnya:
  • Tarbiah semacam ini dipraktikkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber utama. Maka metode ini disebut juga dengan pendidikan berdasarkan Al-Qur’an (al-tarbiyah bi al-Qur’an)
  • Masuk juga dalam tarbiah dengan mauizah ini ialah tarbiah melalui kisa, baik dari kisah sejarah maupun kisah yang ada dalam Al-Qur’an
  • Masuk juga dalam tarbiah dengan mauizah ialah tarbiah melalui peribahasa (al-matsal), seperti perumpamaan orang beriman seperti ini, jihad seperti itu, dan lain sebagainya.
  1. Tarbiah dengan Kebiasaan

Ini mirip dengan metode penanaman mindset, yang kata Naji setiap individu dilatih pada perilaku tertentu sampai ia paham dan menjadikannya sebagai sesuatu yang melekat dengan dirinya sendiri

  1. Tarbiah dengan Ketaatan

Seperti shalat, puasa, dan semua ajaran Islam yang dapat memberi tarbiah kepada yang lain

  1. Tarbiyah dengan Contoh

Karena dengan keteladanan, kita bisa memengaruhi perilaku orang lain. Kata Naji, kesederhanaan Rasul telah menginspirasi gaya hidup para tentara Islam di zaman itu. Sehingga tarbiah dengan contoh ini diklaim Naji bisa menjadi sarana terbaik untuk membangun barisan gerakan beriman dalam aktivisme Islam

  1. Tarbiah dengan Peristiwa-peristiwa (al-Ahdats)

Setiap kesalahan yang menyangkut jiwa, uang, atau sejenisnya mempengaruhi dan menyebabkan kesalahan dalam menghadapi musuh. Karena itu, peristiwa hidup yang pernah dialami diri sendiri, atau dalam realitas sosial-masyarakat, bisa menjadi tarbiah dalam rangka mengambil pelajaran dari apa yang telah pernah terjadi.

Selesai sudah sepuluh pasal yang diuraikan Naji dalam rangka penyerangan musuh dan memanajemen teror untuk agenda utama yang telah disinggung pada tulisan sebelumnya, yakni tentang tamkin. Oleh karena detailnya uraian tersebut, maka pertanyaan terpenting yang harus diajukan sekarang ialah, dalam konteks Indonesia geopolitik nasional dan infiltrasi jihad dalam civil society kita telah seberapa besar? Faktanya, iklim keberagamaan di negara ini telah banyak berubah.

Bersambung…

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru