28.9 C
Jakarta

Manajemen Teror (4): Tamkin Menuju Tegaknya Negara Islam Global

Artikel Trending

Milenial IslamManajemen Teror (4): Tamkin Menuju Tegaknya Negara Islam Global
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sebelum masuk ke pembahasan, ada poin penting yang mesti digarisbawahi. Kata ‘kebiadaban’, pada bagian sebelum ini, maksudnya adalah chaos—kendati Naji menjelaskan ia lebih daripada sekadar chaos. Dan sesuai penegasan di bagian pertama, tulisan ini menggunakan istilah teror, yang dimanajemen untuk menaklukkan musuh. Musuh dimaksud dalam keseluruhan buku ini, sekali lagi, adalah AS dan sekutunya, juga Barat-Salibis secara umum.

Kondisi kacau-balau yang menjalar ke seluruh sendi negara tertentu ketika ia lepas dari kendali kekuasaan pemerintah, itulah chaos, alias kebiadaban, yang dibicarakan buku ini dari awal. Lalu chaos tersebut dimanajemen melalui penyerangan dan penaklukan (syaukah al-nikayah wa al-inhak), berwujud teror-teror yang dilakukan kaum jihadis, dengan semangat mendirikan negara Islam. Baru bagian terakhir adalah cita ideal mereka: tegaknya Negara Islam global.

Maka di situ sudah jelas, manajemen teror merupakan alur kedua: setelah syaukah al-nikayah wa al-inhak dan sebelum tamkin, yakni penegakan Negara Islam. Pada bab ini, Naji membagi jalan tamkin melalui dua wilayah, yaitu wilayah primer (al-majmu’ah al-ra’isiyyah) dan wilayah sekunder (baqiyyah al-daul). Berikut uraian Naji:

  • Tahapan mendirikan Negara Islam di wilayah primer:

Penyerangan dan penaklukan → Manajemen teror → Tamkin

  • Tahapan mendirikan negara Islam di wilayah sekunder:

Penyerangan dan penaklukan → Tamkin

Pada bagian ini, secara implisit Naji hendak menjawab dua pertanyaan: mengapa kelompok teror selama ini berada di wilayah-wilayah tertentu yang sangat familiar, seperti Afghanistan dan Pakistan? Mengapa terorisme di negara-negara lain, Indonesia misalnya, terkesan sporadis dan sangat jauh dari kata menguasai medan? Bab ini menjelaskan bahwa semua itu sudah by design, sebagai bagian inheren dari manajemen teror itu sendiri.

Klasifikasi wilayah dalam thariqah al-tamkin ini menjadi strategi bahwa sekelompok negara harus menjadi fokus mujahid, sehingga kekuatan serangan tidak akan hilang misalkan teror-teror mereka tidak berhasil secara signifikan. Tindakan terfokus tersebut kemudian menentukan beberapa negara, yaitu Yordania, negara-negara Maghrib (Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya, Mauritania), Nigeria, Pakistan, Haramayn, dan Yaman.

Namun demikian, wilayah-wilayah primer dalam manajemen teror tersebut bersifat fleksibel, bisa dimodifikasi sesuai dinamika politik global. Pasca peristiwa 9/11, jihadis mengumumkan revisi yang mengeliminasi sebagian wilayah primer ke wilayah sekunder dan sebaliknya. Klasifikasi tersebut murni diproyeksikan sebagai pengarahan fokus gerakan, agar kekuatan mereka tidak terpecah-pecah di berbagai negara yang tidak memberikan respons baik terhadap operasi jihad.

Naji menguraikan lima kriteria pembagian wilayah, yaitu:

  1. Adanya kedalaman geografis, atau bahkan wilayah terisolasi, yang memungkinkan terbentuknya pengendalian sistem manajemen teror secara serentak dan masif
  2. Kelemahan rezim yang sedang berkuasa dan militernya, terutama di wilayah perbatasan
  3. Adanya pertumbuhan jihad langsung di wilayah-wilayah tersebut, dilihat dari iklim keberagamaan masyarakat yang bersimpati pada terorisme
  4. Karakter masyarakat di wilayah tersebut, apakah mudah diindoktrinasi dan terpengaruh propaganda, atau sebaliknya
  5. Peredaran senjata secara luas di tengah masyarakat, dengan ketentuan bahwa negara yang terpisah-pisah jauh—yang menyulitkan akses sebaran kekuatan internasional—akan dimasukkan ke wilayah sekunder.

Lalu apa tujuan dari semua wilayah, primer dan sekunder tersebut? Tidak lain adalah memasifkan chaos dan teror secara global. Wilayah primer akan menegakkan Negara Islam (tamkin) dengan memanajemen kekecauan melalui teror para jihadis, sementara wilayah sekunder bergerak melalui dukungan logistik hingga kemenangan datang dari luar. Dengan kata lain, di wilayah sekunder, manajemen teror adalah pendukung penuh jihad transnasional.

Militerisasi; Sebuah Tujuan

Tamkin merupakan tahap final. Sementara itu, tahap pertama manajemen teror, yakni penyerangan dan penaklukan (syaukah al-nikayah wa al-inhak), diuraikan Naji memiliki beberapa tujuan:

  1. Mengalahkan kekuatan militer musuh dan sistem yang bekerja untuknya, memecah konsentrasinya, dan upaya agar kekuatan militer tersebut tidak bisa bernafas, melalui operasi-operasi super masif, kendati berskala dan berdampak kecil seperti memukulkan tongkat ke kepala tentara Salibis. Yang terpenting bahwa penyebaran dan peningkatan operasi-operasi tersebut memiliki dampak jangka panjang untuk membuyarkan kekuatan mereka
  2. Merekrut kader-kader baru untuk menjalankan operasi jihad kontinu dari waktu ke waktu (kull fatrah zamaniyyah munasibah) dengan operasi-operasi spesifik yang menarik perhatian masyarakat, yakni operasi skala sedang seperti teror Bom Bali Indonesia, teror di Kompleks Al-Muhaya Riyadh, dan teror di Djerba Tunisia, beberapa teror di Turki, dan teror besar di Irak, dan sebagainya. Maksud operasi skala sedang tersebut ialah tidak membutuhkan pemikiran besar yang berakibat tertundanya operasi spesifik berskala kecil
  3. Melepas wilayah-wilayah terpilih––primer maupun sekunder––dari kekuasaan rezim setempat, menguasai mereka melalui manajemen teror. Ini dilakukan dengan tujuan melepaskan dominasi thaghut atas mereka, dan bukan dalam rangka menciptakan di wilayah tersebut
  4. Meningkatkan kemampuan unit serangan melalui pelatihan (al-tadrib) dan praktik lapangan (al-mumarasah al-‘amaliyyah), supaya para jihadis memiliki kesiapan mental dan praktis untuk menghadapi fase manajemen teror.
BACA JUGA  Mega Korupsi: Penghalang Indonesia Maju, Pemantik Terorisme

Adapun tujuan-tujuan prioritas manajemen teror, dalam bentuk idealnya yang Naji kemukakan, sebagaimana juga sebagiannya telah disebutkan dalam tulisan sebelumnya, ialah sebagai berikut:

  • Menyebarkan keamanan internal dan melestarikannya
  • Akomodasi logistik berupa makanan dan perawatan medis
  • Mengamankan wilayah teror dari invasi musuh dengan mendirikan benteng pertahanan dan mengembangkan kapasitas pertempuran
  • Menegakkan keadilan syariat di antara masyarakat di daerah yang dimanajemen tersebut
  • Meningkatkan integritas dan efisiensi tempur selama pelatihan (tadrib), dan membangun masyarakat pejuang (insya’ al-mujtami’ al-muqatil) dari semua lini, yang militan dan berani mati, dengan menjelaskan bahwa itu semua adalah kewajiban. Namun tidak berarti setiap individu harus berlatih perang, hanya sebagian dari mereka yang harus maju ikut wajib militer
  • Melakukan penyerangan sebanyak mungkin sehingga membuat musuh kelelahan dan tereksploitasi kekuatannya, kemudian hancur sama sekali
  • Membangun jaringan dukungan logistik seperti pelatihan dari Indonesia ke Afghanistan dan lain sebagainya.

Militerisasi dalam dua tujuan di atas dilakukan dengan dua agenda besar, yang sekaligus menjadi ideal-moral manajemen teror itu sendiri. Penyerangan terhadap AS secara sangat masif dan brutal, seperti pada peristiwa 9/11 yang dianggap Naji telah berhasil menjatuhkan integritas AS di mata negara-negara dan elit dunia kafir. AS pasti balas dendam, tetapi milisi teror akan semakin banyak juga. AS telah jatuh dalam jebakan yang jelas merugikannya.

Pukulan yang masif terhadap AS da sekutunya di Timur dan Barat itu, dalam pandangan Naji, akan menjadi propaganda jangka panjang hingga tujuan tamkin, mendirikan Negara Islam, terealisasi. Propaganda dimaksud memiliki dua rencana. Pertama, menciptakan variasi eskalasi serangan pada kekuatan militer Salibis dan Zionis di dalam dan luar dunia Islam, hingga kekuatan koalisi musuh pecah dan terekspolitasi  sebesar yang bisa dilakukan.

Semisal ada sebuah destinasi wisata Salibis di Indonesia menerima teror, maka negara global akan mengetatkan penjagaan mereka atas sektor wisata—fokus di situ. Jika terjadi teror terhadap sebuah bank riba Salibis di Turki, maka akan dilakukan pengamanan terhadap seluruh bank terafiliasi. Juga apabila sebuah perusahaan minyak di dekat Pelabuhan Aden diteror, maka perusahaan dan armadanya di semua negara akan dijaga berkali lipat. Ini semua adalah eksploitasi—pengalihan.

Variasi dan eskalasi penyerangan semacam itu, disertai pengulangan jenis sasaran, dua atau tiga kali, adalah intrik berdarah dari upaya meyakinkan musuh bahwa aset mereka tidak aman. Lalu musuh mengerahkan militer untuk menjaga, dan lupa bahwa sebenarnya semua itu adalah jebakan belaka.

Kedua, memecah kekuatan militer rezim di dunia Arab, memaksanya mendistribusikan kekuatan keamanan prioritas pada keluarga kerajaan dan fasilitas kepresidenan, orang asing, ekonomi terutama minyak, dan tempat pariwisata. Dengan demikian, daerah-daerah pinggiran akan longgar dan kosong dari kekuatan militer, atau ada tapi lemah dan tak memadai, karena militer yang ahli telah dikerahkan ke titik-titik tadi. Jebakan pun berhasil.

Uraian Naji di bab ini, yang sebagiannya akan dilanjutkan pada seri selanjutnya, menyiratkan kompleksitas tamkin, sebagai tahap paling ujung dari manajemen teror.

Strategi militer yang mampu memecah kekuatan musuh, melemahkan dan mengeksploitasi kemampuan ekonomi, dapat dirasakan di negara kita, Indonesia, dalam kasus-kasus terorisme yang di antaranya telah berhasil diungkap oleh kepolisian. Sipil dan militer adalah elemen utama. Eksploitasi pada keduanya adalah jalan menuju tamkin—seberapa pun terjal dan berdarah-darah.

Bersambung…

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru