31.4 C
Jakarta

Manajemen Teror (1): Proyek Panjang Negara Islam Masa Depan

Artikel Trending

Milenial IslamManajemen Teror (1): Proyek Panjang Negara Islam Masa Depan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Terorisme di Indonesia, yang masifnya sudah setua Reformasi, tetap menjadi momok yang teramat menakutkan. Berbagai aksi teror, dengan kekuatan beragam, masif dan fluktuatif, menyita perhatian aparat dengan intensitas yang melelahkan. Kelompok teror, seperti Jemaah Islamiyah (JI), Jemaah Ansharut Daulah  (JAD), dan lainnya, selalu saja menemukan celah infiltrasi. Teroris yang kerap kali selangkah lebih maju seperti tak sporadis, tetapi punya manajemen teror.

Tulisan ini, secara berseri, akan membedah total ‘kitab suci terorisme’ yaitu buku Idarah al-Tawahhusy karya Abu Bakar Naji. Naji, yang oleh Al-Arabiya Institute for Studies diklaim sebagai nama pena Mohammad Hasan Khalil al-Hakim, merupakan orang top Al-Qaeda, ahli strategi yang menjadi pedoman Al-Qaeda dalam sepak terjang terorismenya. Buku Naji ini diboikot di Arab Saudi, namun tetap terbit dan tersebar melalui internet sejak tahun 2004 silam.

Buku berjudul lengkap Idarah al-Tawahhusy; Akhtharu Marhalah Satamurru biha al-Ummah jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti “Manajemen Kebiadaban: Tahap Paling Kritis yang Akan Dilewati Umat”. Kata Idarah al-Tawahhusy, oleh Wikipedia diterjemahkan sebagai manajemen kekejaman (savagery), barbarisme (barbarism), dan kebuasan (beastliness). Beberapa ulasan singkat juga punya istilah lain, yaitu manajemen chaos—kekacauan dan teror.

Dalam tulisan ini sendiri, Idarah al-Tawahhusy diterjemahkan bebas sebagai “manajemen teror”. Naji, sebagai ahli strategi terorisme, ternyata tidak hanya mengilhami Al-Qaeda an sich, melainkan kelompok teror secara umum di seluruh dunia. Jika ditarik pada agenda utama mereka, yakni mendirikan Negara Islam, buku ini juga menjadi rujukan taktik kelompok teror lokal: JI, JAD, dan sejenisnya. Menurut suatu sumber, mereka tengah rutin mengkajinya.

Karena itu, bedah tuntas berseri ini tidak hanya dalam rangka menguraikan keseluruhan isi buku. Akan juga disertakan analisis dan kontekstualisasi, bahwa kelompok teror lokal tidak bisa diremehkan di satu sisi, dan di sisi lainnya bahwa teror-teror sporadis yang selama ini kita anggap tidak penting, adalah bagian dari taktik manajemen teror itu sendiri. Glokalisasi terorisme kemudian menjadi tantangan yang mesti dikonter demi satu misi: menyelamatkan NKRI.

Manajemen Teror; Introduksi

Dalam mukadimah, kita akan disuguhi pernyataan yang cukup diplomatis, bahwa umat Islam akan segera mencapai kemenangan. Persiapan substantif merupakan niscaya bagi segenap umat sebagai jalan keluar dari degradasi yang menimpa, mengarahkan umat ke jalan keselamatan Ilahi. Generasi Muslim yang dilanda kebingungan, satu cita namun mengejawantah ke berbagai aliran, kemudian diklasifikasi Naji menjadi lima arus utama, yaitu:

  1. Arus Salafisme jihadis
  2. Arus Salafisme Sahwa yang dipersonifikasi Syekh Salman al-‘Awda dan Syekh Safar al-Hawali
  3. Arus Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi transnasional
  4. Arus Ikhwan Turabi
  5. Arus jihad populer seperti gerakan Hamas dan Front Pembebasan Moro, dan lainnya.

Dari kelimanya, dengan karakteristik gerakannya masing-masing, Naji kemudian melakukan studi analisis mendalam hingga menemukan keterjeratan antarkelompok, garis besar program tauhid dan jihad yang tersebar di seluruh publikasi dan literatur. Namun demikian, buku Idarah al-Tawahhusy, kata Naji, terdiri dari garis besar yang tidak rinci. Naji hanya menyajikan diskursus yang ia anggap krusial untuk mengasah pikiran umat, tentang apa yang akan mereka hadapi.

Manajemen teror ialah tahap selanjutnya yang akan dilalui umat, dan dianggap sebagai tahap yang paling kritis. Jika manajemen tersebut berhasil para teroris lakukan, maka ia akan menjadi jembatan menuju tegaknya Negara Islam yang mereka tunggu-tunggu sejak jatuhnya khilafah—yakni runtuhnya Turki Utsmani. Namun jika manajemen tersebut gagal dilakukan, itu tidak berarti akhir dari masalah. Sebaliknya, teror-teror akan mereka tingkatkan lagi.

BACA JUGA  Menangani Radikal-Terorisme: Spirit Nasionalisme yang Tak Banyak Diminati

Peningkatan teror yang diakibatkan oleh kegagalan mereka melakukan manajemen, bukanlah hal terburuk yang harus ditempuh. Dalam manajemen teror, sekejam apa pun, sebiadab apa pun, tetap mereka anggap masih lebih ringan daripada harus berada di bawah tatanan kekafiran (nizham al-kufr). Umat mau tidak mau harus menempuh intrik menguntungkan: Negara Islam harus tegak meski melalui chaos, tapi jika gagal, setidaknya orang kafir musnah karena terorisme.

Begitulah yang dimaksud dengan manajemen teror. Dalam prinsipnya, ia meyakini bahwa strategi gesekan jangka panjang akan mengungkapkan kelemahan mendasar dan ketidakmampuan negara adidaya—yang mereka anggap thaghut yang wajib diperangi—untuk mengalahkan para jihadis yang berkomitmen. Manajemen teror merefleksikan rasa berdamai dengan kekejian, bom bunuh diri dan sejenisnya, demi tegaknya Negara Islam melalui proyek terorisme.

Proyek Terorisme

Perjanjian Sykes-Picot, yakni perjanjian rahasia antara Britania Raya, Prancis, yang juga diikuti dan disetujui Rusia, di mana ketiga negara mendiskusikan pengaruh dan kendali di Asia Barat setelah Turki Utsmani runtuh, yang secara efektif membelah daerah-daerah Arab di bawah Utsmani, menjadi titik tolak pembahasan buku ini. Perjanjian Sykes-Picot disinyalir sebagai tatanan yang mengaspirasi manajemen teror sebab dijatuhkannya khilafah.

Jadi setelah Turki Utsmani runtuh, dan teritorinya terpecah menjadi beberapa negara di bawah kendali pihak yang dianggap kolonial, negara-negara eks-Turki Utsmani dianggap memperoleh kendali berdasarkan kemenangan atas pemerintah kolonial atau berdasarkan kerja sama dengan mereka. Sejak saat itu, tatanan negara Islam dianggap kacau, dan Perjanjian Sykes-Picot menjadi titik tolaknya. Proyek terorisme kemudian menjadi alternatif merebut kembali kejayaan.

Secara sederhana, manajemen teror bisa dimaknai sebagai proyek terorisme, pengelolaan teror, untuk merespons keadaan sejak jatuhnya kekhalifahan. Tatanan rezim pasca-Sykes Picot yang dianggap menentang akidah masyarakat yang mereka kuasai, menyia-nyiakan dan menjarah sumber daya negara-negara tersebut, dan menyebarkan kejahatan di antara orang-orang, meniscayakan manajemen teror demi menolak kejahatan yang menyengsarakan umat.

Ada dua kekuatan dalam rangka melawan kezaliman tersebut. Pertama, kekuatan massa (quwwat al-syu‘ub). Kekuatan ini telah terjinakkan melalui ribuan pengalihan, baik melalui hasrat seksual dan perut, atau kehidupan yang bergelimang kekayaan. Polisi-polisi, sebagai aparat keamanan, benar-benar membungkam para kritikus untuk melindungi rezim dan sirkuit kekuasaan mereka. Karena itu, massa harus bangkit. Umat Islam harus sadar, bangun, lalu melawan.

Kedua, kekuatan tentara (quwwat al-juyusy). Para teroris dan jihadis, dan seluruh kelompok militan teror menjadi representasi ketika umat Islam dianggap banyak yang justru berkompromi dengan segala bentuk kebatilan—thaghut. Slogan “La din wa la dunya” dan “La khayr wa la ‘adl wa la dunya” harus dihadapi secara masif dan sistematis. Dan atas semua ini, manajemen teror menemukan momentumnya mengapa ia adalah niscaya.

Manajemen teror adalah proyek panjang untuk tegaknya Negara Islam di masa depan. Dalam konteks Indonesia, buku ini relevan karena struktur subordinat kelompok teror, terlepas dari perbedaan nomenklatur dan klaim ideologi mereka. Dari pengantar ini, sudah terbaca dengan jelas mengapa JI dan JAD mengkajinya, di samping sebab keterkaitannya dengan Al-Qaeda. Juga tersingkap jelas, bahwa proyek terorisme sama sekali tidak sesederhana yang kita kira.

Bersambung…

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru