25.6 C
Jakarta
Array

Maksimalisasi NU dan Pesantren Sukseskan Pemilukada

Artikel Trending

Maksimalisasi NU dan Pesantren Sukseskan Pemilukada
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dalam beberapa bulan terakhir, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Kudus menggelar serangkaian sosialisasi Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) 2018, yang digelar serentak bersama berbagai provinsi dan ratusan kabupate/ kota di Indonesia.

Sosialisasi yang diharapkan bisa meningkatkan partisipasi pemilih dalam Pemilukada, ini tidak sekadar menggandeng instansi pemerintah saja. Tetapi yang lebih menarik, juga menggandeng organisasi keagamaan dan pesantren.

Selasa (3/4/2018) pagi tadi, misalnya, KPU Kabupaten Kudus melakukan sosialisasi di Pondok Pesantren Al-Yasir, Jekulo, Kudus. Sedang sekitar pukul 11.00 WIB, juga digelar sosialisasi dengan pemilih perempuan di Gedung Muslimat NU Kudus.

Sebelumnya, juga telah digelar serangkaian sosialisasi Pemilukada Kudus 2018 yang bersamaan dengan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Cagub dan Cawagub) Jawa Tengah.

Untuk konteks Kabupaten Kudus dan Jawa Tengah, Pemilukada 2018 ini menjadi menarik untuk disoroti, karena banyak calon yang memiliki kedekatan dengan organisasi keagamaan dan kalangan pesantren.

Untuk Pemilukada Jawa Tengah, misalnya. Pasangan Ganjar Pranowo adalah Taj Yasin, yang tak lain adalah putera dari kiai kharismatik asal Sarang, Rembang; KH. Maimoen Zubair. Sudah barang tentu, sangat memiliki kedekatan dengan pesantren.

Sedang pendamping Sudirman Said dalam Pemilukada Jawa Tengah, yaitu Ida Fauziyah. Ida Fauziyah merupakan salah satu tokoh di PP. Fatayat NU dan PP. Muslimat NU, sehingga sudah barang tentu juga tidak asing dengan dunia pesantren atau punya kedekatan dengan kalangan santri dan kiai.

Di konteks Pemilukada Kabupaten Kudus 2018, pasangan calon yang maju juga rata-rata memiliki kedekatan dengan santri, kiai dan pesantren. Apalagi secara kultur, Kabupaten Kudus merupakan salah satu basis Nahdlatul Ulama (NU) dan dikenal pula sebagai kota santri.

Dengan demikian, maka organisasi keagamaan dan kalangan pesantren, perlu mengambil peran maksimal dalam rangka ikut menyukseskan Pemilukada. Kendati secara organisasi, NU, misalnya, menegaskan tidak berpolitik praktis di tengah banyak kadernya yang maju dalam proses pemilihan kepemimpinan di berbagai daerah.

Peran Maksimal

NU sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, tetap harus mengambil peran dalam ikut menyukseskan Pemilukada, walau pun menyatakan tidak berpolitik praktis. Yakni bersinergi dengan penyelenggara Pemilu/ Pemilukada dalam menyukseskan proses demokrasi itu. Demikian juga dengan pesantren.

Ada beberapa manfaat bagi NU dan pesantren dengan mengambil peran dalam proses demokrasi ini. Pertama, meningkatkan partisipasi. Warga NU memiliki jamaah tahlil, shalawat dan lainnya yang tersebar hingga pelosok-pelosok desa.

Melalui jamaah tahlil yang ada, mulai dari yang digelar remaja musala dan masjid, Fatayat, Muslimat, GP. Ansor, hingga pengurus NU secara langsung, di sela-sela istirahat bisa diberikan sosialisasi untuk para jamaah.

Untuk itu, tentu membutuhkan komunikasi antara penyelenggara Pemilu/ Pemilukada dengan pimpinan NU, yang kemudian diharapkan menyampaikan lebih lanjut kepada jamaah-jamaah yang ada.

Hal sama juga bisa dilakukan dengan kalangan pesantren. Penyelenggara Pemilukada bisa menjalin komunikasi aktif dengan pimpinan pesantren (kiai), yang dalam pengajian-pengajiannya diharapkan menyelipkan informasi terkait Pemilukada yang sebentar lagi digelar.

Kedua, pesan damai dalam Pemilukada. NU dengan kepengurusannya hingga pelosok-pelosok desa, bisa menjadi sarana efektif untuk menyerukan pesan damai kepada publik (masyarakat), agar masyarakat senantiasa menjaga kerukunan di tengah perbedaan pilihan dalam Pemilukada.

Sedang para kiai pesantren yang notobene tokoh yang sangat dihormati masyarakat, tentu nasihat dan pesan kulturalnya terkait menjaga suasana damai dan sejuk dalam Pemilukada, akan sangat penting artinya karena akan lebih didengarkan oleh masyarakat.

Pesan damai yang diserukan oleh NU dan kalangan pesantren tersebut, termasuk di dalamnya adalah seruan agar masyarakat tidak menyebarkan informasi hoax dan melakukan  kampanye hitam melalui media sosial, yang bisa membuat suasana tidak kondusif.

Ketiga, minimalisasi politik uang. Organisasi keagamaan seperti NU, juga Muhammadiyah dan lainnya, perlu mengambil peran juga dalam usaha (ikhtiar) meminimalisasi adanya praktik politik uang. Syukur politik uang ini kemudian bisa hilang.

Salah satu tokoh agama di Kabupaten Kudus dalam kegiatan sosialisasi Pemilukada yang dilakukan KPU Kabupaten Kudus, pernah melontarkan usulan supaya masing-masing calon pemimpin yang maju dalam Pemilukada, dibaiat untuk berkomitmen tidak melakukan politik uang.

Dengan kata lain, politik uang ini menjadi salah satu problem tersendiri yang sangat pelik dihadapi penyelenggara Pemilukada, apalagi untuk membuktikan adanya praktik politik uang, juga menjadi pekerjaan yang tidak mudah.

Semoga organisasi keagamaan yang ada di Indonesia, khususnya NU, juga kalangan pesantren, berperan maksimal dalam menyukseskan Pemilukada agar berjalan dengan lancar, sukses, aman, damai, dan berkualitas tanpa dikotori oleh praktik politik uang dan kampanye hitam.

Dengan begitulah, maka proses demokrasi dalam Pemilukada serentak pada 2018 ini, akan menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan memiliki komitmen untuk mengabdi kepada rakyat dan daerah yang akan dipimpinnya. Dan untuk itu, peran organisasi keagamaan, khususnya NU, juga kalangan pesantren, tentu akan sangat besar artinya. Wallahu a’lam.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru