29 C
Jakarta
Array

Makna Ulama Sesungguhnya

Artikel Trending

Makna Ulama Sesungguhnya
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Posisi ulama dalam kehidupan sehari-hari sangat urgen sekali. Saking urgennya, banyak orang yang berdalih tentang segala sesuatu didasarkan pada fatwa atau hasil keputusan para ulama. Keputusan ulama itu dianggap, oleh sebagian masyarakat, sebagai keputusan yang bijak dan berlandaskan nila-nilai agama, sehingga layak dijadikan sebagai landasan mengerjakan segala sesuatu. Namun yang menjadi persoalan adalah, apakah ulama itu benar-benar ulama? Atau jangan-jangan ulama itu hanya label saja (baca: ulama abal-abal).

Al-Qur’an memberikan definisi ulama secara gamblang dan dapat dijadikan patokan. Secara bahasa, ulama berasal dari bahasa Arab, yaitu  ‘ulama’ bentuk jama dari kata ‘alim, yang memiliki arti mengetahui secara jelas, karena itu semua, kata yang terbentuk oleh huruf ‘ain, lam, dan mim, selalu menunjuk pada kejelasan (Tafsir al-Misbah, Vol. 11: 2005, 466).

Lantas, bagaimana al-Qur’an memaknai ulama? Terkait hal ini dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Fathir ayat 27-28, yang berbunyi: “Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menurunkan air dari langit lalu dengan air itu kami hasilkan buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun”.

Yang dimaksud dengan ulama dalam ayat ini adalah, siapapun yang memiliki pengetahuan, baik dalam bidang politik, sains, ekonomi, agama dan lain sebagainya, maka ia dapat dinamai atau layak menyendang gelar ulama atau alim. Lebih jaih lagi, ayat ini mencerminkan bahwa ulama itu orang yang memiliki pengetahuan tentang fenomena alam dan sosial. Dari konteks ayat ini pun, kita dapat memperoleh kesan bahwa ilmu yang disandang ulama itu adalah ilmu yang berkaitan dengan fenomena alam dan sosial.

Sayyid Quthub, seperti dikutip Quraish Shihab, menulis: “ulama adalah mereka yang memperhatikan kitab yang menakjubkan itu, karena itu mereka mengenal Allah dengan pengenalan yang sebenarnya. Mereka mengenal-Nya melalui hasil ciptaan-Nya, mereka menjangkau-Nya, melalui dampak kuasa-Nya, serta merasakan kebesaran-Nya dengan melihat hakikat ciotaan-Nya, dari sini maka mereka takut kepada-Nya serta bertakwa sebenar-benarnya (Tafsir al-Misbah, Vol. 11: 2005, 467).

Tegasnya, ayat ini menerangkan bahwa mereka ang memiliki pengetahuan tentang fenomena alam, sosial, dan keagamaan, dinamai oleh al-Qur’an ulama. Dan yang perlu digaris bawahi adalah seorang ulama pengetahuannya tersebut menghasilkan khasyat (takut). Pakar bahasa al-Qur’an, ar-Raghib al-Ashfahani, memaknainya dengan rasa takut yang disertai dengan rasa penghormatan, yang lahir akibat pengetahuan tentang objek. Dan yang memiliki sifat inilah yang disebut dengan ulama. Jika tidak mengandung sifat tersebut, maka tidak bisa dikatakan sebagai ulama.

Dengan demikian, pengertian ulama bukanlah orang yang ahli atau mengetahui tentang urusan agama saja, melainkan lebih dari itu, yakni orang-orang yang ahli dalam bidang disiplin ilmu tertentu. Sekali lagi, ini berarti bahwa para ilmuan sosial dan alam, dituntut agar mewarnai keilmuannya dengan balutan spiritual. Ekonom yang pengetahuan tentang perihal ekonomi dan karena keilmuan yang ia miliki menimbulkan rasa takut dan kagum pada Allah, maka itu bisa disebut dengan ulama ekonomi. Ini berlaku sama dengan bidang lainnya seperti ahli biologi, kimia, fisika dan astronomi disebut sebagau ulama sains, dengan ketentuan yang sudah dibahas sebelumnya. Pendek kata, ulama itu tidak melulu yang ahli tentang agama saja. Inilah makna ulama sesungguhnya.

Pembagian Ulama

            Perlu diketahui bahwa ulama tidaklah melulu orang yang baik, diikuti, dan dijamin masuk surga. Terkait hal ini, ulama dibagi menjadi beberapa kelompok. Imam al-Ghazali, ulama klasik yang memiliki sumbangsih besar terhadap kejayaan Islam mengklasifikasi ulama menjadi dua golongan. Pertama, ulama suu’ atau dunia. Ulama jenis ini menggunakan kemampuan atau ilmunya untuk memperoleh kenikmatan dunia. Lebih jauh lagi, ulama semacam ini jika dalam ranah politik akan tergila-gila oleh uang dan kekuasaan. Dengan demikian, para politikus, baik dari kalangan partai nasionalis maupun agamis, jika mereka melakukan korupsi, money politik, dan sejenisnya tergolong dalam kelompok pertama.

Kedua, ulama akhirat. Ulama model seperti ini ilmu yang dimilikit digunakan untuk menyelamatkan banyak orang dan tentunya juga sebagai sarana untuk meningkatkan takwa kepada Allah Swt. Sebagai ilustrasi, ulama semacam ini tidak tergila-gila pada harta dan kekuasaan. Toh kalua diberi kekuasaan, kekuasaan yang diemban akan dijadikan sebagai sarana untuk menolong banyak orang dan menegakkan keadilan (al-Shultan an-Nashira). Sebagai ilustrasi, ulama politik akan menciptakan kebijakan sesuai dengan denyut kebutuhan dan harapan masyarakat secara keseluruhan, dan juga tidak akan melakukan money politics, apalagi korupsi.

Pewaris Para Nabi

             Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham akan tetapi mereka hanya mewariskan ilmu, maka barang siapa yang mengambil ilmu itu sesungguhnya ia telah mengambil bagian yang banyak” (Sunan Tirmidzi 5/48 No. 2682).

Sebagai pewaris para nabi, ulama memiliki beberapa tugas. Pertama, tabligh (menyampaikan). Salah satu kewajiban orang yang berilmu adalah mengamalkan atau menyampaikannya. Perintah semacam ini—amanat menyampaikan ajaran-ajaran atau perintah Allah—terrmaktub dalam surat Al-Maidah: 67.

Kedua, menerangkan al-Qur’an.  Tidak terbatas pada menyampaikan saja, melainkan harus menerangkan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia agar senantiasa berada dalam jalan lurus (as-Shirat Mustaqim). Dengan demikian, diperlukan kapasitas yang mumpuni dalam hal memahani al-Qur’an sebagai acuan dalam hidup. Jadi, tanggung jawab ulama adalah menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka—perintah, larangan, aturan, dan lain-lain yang terdapat dalam al-Qur’an (Qs.  an-Nahl: 44).

Ketiga, menyelesaikan problem solver. (Qs. al-Baqarah, 213). Salah jika ulama tidak dapat dan andil dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi di masyaakat. Selama ini, ulama cenderung mengurusi perihal halal-haram, kafir, sesat dan sejenisnya. Sementara negara di kuasai oleh para mafia, ulama seolah berkata, “itu bukan ranah saya”. Ulama semacam ini biasanya tidak mau terjun dalam ranah politik. Ulama ya ulama, bukan umara. Padahal, ulama itu juga umara. Yang demikian ini tercermin dalam masa khulafaur rasyidin, dimana seorang ulama juga mereka yang menjadi raja dan sejenisnya.

Keempat, teladan yang baik. Seorang ulama tidak cukup berdakwah dengan menyampaikan ilmu pengetahuan dan isi al-Qur’an. Untuk itu, ulama harus menjadi teladan yang baik bagi seluruh umat (Qs. al-Ahzab, 21). Teladan yang mulia dapat tercermin dari dalam diri Nabi Muhammad Saw (uswah khasanah), baik dalam perkataan, perbuatan, dan perilakunya.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru